Pagi hari ini mungkin bisa ia jadikan hari bahagia karena tepat setelah dirinya memasuki gerbang sekolah, Hadrian menghampirinya. Bukan itu saja, lelaki itu juga ikut membantu membawakan kue-kuenya menuju kantin. Di tengah-tengah mereka berjalan bersama pun Hadrian mengajaknya bicara. Bagaimana dia tak senang ketika sosok yang ia kagumi mendekat dengan cara seperti itu. Namun, beberapa menit yang indah itu berganti suasana kala Sara dan gengnya datang.
"Ekhemm ...." Perempuan itu berdeham dengan keras ke arah Hadrian dan Kani, sengaja supaya mendapat perhatian. "Ada apa nih? Kalian ... pacaran?" tebaknya.
Kani tak menduga sama sekali jika Sara akan mengatakan itu. Bagaimana pertanyaan itu bisa dilontarkan padanya yang memang menyukai Hadrian.
Saat Kani sibuk dengan keterkejutannya, Hadrian dengan santai membalas, "Kenapa kamu bisa mikir gitu?"
"Ya ... habisnya kamu selalu belain Kani kalau ada apa-apa dan sekarang bantuin dia juga. Iyo, 'kan, Rek?" Sara memandang dua temannya yang mengangguk menyetujui ucapannya.
"Aku cuma membantu supaya Kani ndak keberatan bawanya. Sesama manusia 'kan memang harus saling tolong menolong," terang laki-laki itu.
"Padahal Kani sudah biasa bawa-bawa itu setiap hari." Kali ini Tara yang berujar.
"Nah, iya tuh. Kalau dia ndak minta bantuan berarti bisa sendiri dong. Ngapain repot-repot. Bikin capek aja," timpal Wita.
"Kalau kalian ndak mau bantu, yo terserah. Tapi jangan nyuruh-nyuruh orang buat ndak boleh menolong," pungkas Hadrian yang langsung membuat ketiga perempuan itu bungkam. Lalu mengajak Kani untuk segera melanjutkan langkah ke kantin.
Setelah mengantarkan dagangannya, mereka berdua berjalan beriringan lagi untuk masuk kelas.
"Hadrian, makasih yo, sudah dibantuin."
Lelaki itu tersenyum singkat sembari mengangguk. Saking singkatnya membuat Kani seperti merasa bahwa itu hanya mimpi. Senyum yang berdurasi pendek itu nyatanya mampu membuat degup jantungnya bergerak lebih cepat. Teringat dengan perkataan Sara dan dua temannya, Kani berusaha santai untuk berbicara lagi.
"Yang mereka katakan itu ada benarnya juga." Gadis itu memulai topik obrolan.
"Hadrian mengernyitkan dahi sejenak. "Maksud kamu kata-kata Sara, Tara dan Wita tadi?"
"Iya. Daripada kamu ikut diejek mereka, lebih baik ndak usah dibantuin, ndakpapa. Maaf, ini bukan berarti aku ndak suka dibantuin kamu, tapi supaya kamu ndak jadi bahan bully-an mereka juga."
"Kamu ndak usah terlalu mikirin mereka. Kamu juga kan tahu kalau mereka itu suka gangguin orang." Hadrian berbicara dengan bijaknya.
Ucapan laki-laki itu juga benar adanya, tapi dia tak ingin jika orang-orang yang berada di dekatnya ikut merasakan penghinaan yang didapatnya dari Sara dan gengnya. "Tapi mereka sampai bilang kalau kita pacaran karena kamu sering nolong aku." Hati-hati sekali Kani mengucapkannya. Karena walaupun dia sempat senang ketika ada yang mengira dirinya dan Hadrian punya hubungan, tapi dia tetap tidak tahu bagaimana perasaan lelaki itu padanya.
"Kalau ada yang bilang begitu lagi, tinggal dijawab kalau kita ndak pacaran, 'kan? Toh, memang kita ndak ada hubungan juga."
Hadrian berkata sambil terus berjalan tanpa menghiraukan Kani yang seketika berhenti setelah mendengar ucapan lelaki itu. Entah kenapa keadaan hatinya yang semula berdebar bahagia kini berubah sesak seperti habis ditimpa batu besar. Seharusnya dia juga biasa saja sebagaimana laki-laki itu berucap, bukan seperti orang patah hati yang menunjukkan bahwa sebenarnya dia ingin mempunyai hubungan lebih dekat dengan lelaki bernama Hadrian itu. Walaupun memang benar begitu.