Pada saat perjalanan pulang dari pasar, kebetulan mereka bertemu dengan orang sekampung yang jarak rumahnya tak terlalu jauh.
"Ning." Begitu sapaan akrab orang desa situ ke Wening yang dibalasnya juga pada tetangga bernama ibu Wati tersebut.
"Oalah saiki (sekarang) anakmu ikut ke pasar juga, tho?" tanya bu Wati.
"Lagi pengen anaknya, mumpung libur jarene (katanya).
Ibu Wati tersenyum ramah memandang Kani. Kani tentu membalasnya tak kalah ramah. Dirinya memang sering berjumpa dengan ibu Wati saat menjajakan kue di sore hari. Ya, setiap sore Kani membantu ibunya berjualan keliling di sekitar kampungnya. Ibu Wati termasuk salah satu pelanggan setia dari beberapa ibu-ibu lainnya yang sering membeli dagangannya di kala senja.
Merasa sang ibu yang terlihat masih ingin mengobrol dengan tetangganya itu, Kani akhirnya memutuskan untuk pulang duluan sambil membawakan barang-barang yang dibawa ibu awalnya. Tak lupa berpamitan pada ibu Wati juga.
"Rajin banget yo anakmu itu." Bu Wati berucap dengan masih menilik Kani yang berjalan menjauh.
Wening mengangguk sebelum menyahut. "Iyo. Dari kecil wis koyok ngunu."
"Disyukuri yo Ning, punya anak perempuan iso bantu ibune."
Tanpa perlu disuruh bersyukur pun, dirinya sudah lama mensyukurinya. Siapa yang tak senang jika punya anak berbakti seperti Kani. Dari usia belia saja sudah sangat membanggakan orang tua.
***
"Nduk, minggu depan itu sudah waktunya ujian untuk kenaikan kelas, 'kan?" tanya Wening saat memasuki kamar anak semata wayangnya yang ternyata tengah belajar.
Kani mengangguk membenarkan pertanyaan sang ibu. Lalu menatapnya dengan hati-hati karena ragu untuk mengatakan hal selanjutnya. Sesuatu yang membuatnya takut akan membebani ibu.
"Bu."
Wening tak menjawab tapi terus memperhatikan Kani yang ingin bicara padanya. Sementara sang anak mulai membuka tasnya dan mengeluarkan secarik kertas yang kemudian disodorkan untuknya.
Tertulis di atasnya biaya kekurangan uang sekolah yang harus dibayarkan dengan batas waktu sebelum ujian dilaksanakan.
Melihat raut wajah anak gadisnya yang berubah sedih membuatnya tersenyum. "Kamu ndak usah khawatir, ibu pasti bayar."
"Tapi, Bu ...."
"Sudah. Tugas kamu itu cuma belajar." Wening mengangkat kertas itu, "Ini biar jadi urusan ibu."
"Ibu sudah punya tabungan untuk biaya sekolah kamu. Ibu memang sudah menyiapkannya," sambungnya untuk meyakinkan Kani.
Terlihat Kani yang mulai tersenyum lega. "Maturnuwun nggih, Bu. Pokoknya Kani akan belajar lebih giat supaya nanti bisa dapat beasiswa dan Ibu ndak kesusahan ngumpulin uangnya."
Lihat, jiwa penolongnya seketika keluar. Walau ibu tak mengeluhkan tentang biaya tersebut, Kani tetap ingin meringankan bebannya. Sungguh mulia hatinya ini. Wening pun mengiyakan saja apa yang ingin anaknya lakukan, selama itu baik dan tidak mengganggu sekolahnya. Semoga saja dengan sifat baiknya ini bisa mengantarkannya pada hal-hal baik yang turut membahagiakannya juga. Sepercik harapan dari ibu untuk anak yang sangat bernilai harganya.