Jika ada perhargaan untuk orang paling payah dalam hal berbohong, maka predikat penghargaan itu akan Sultan berikan pada Kinan.
Sudah lebih dari sepuluh kali Sultan memutar rekaman cctv rumahnya yang yang menayangkan Kinan diantar pulang oleh seorang pria seminggu yang lalu.
Salahkan Sultan yang begitu telat membongkar kedok kebohongan Kinan tersebut. Jika saja tadi sore sepulang sekolah Sultan tidak mengajak mengobrol pada Pak Adi yang sedang mencuci mogenya, mungkin dia tidak akan mengetahui cerita yang sebenarnya terjadi seminggu yang lalu dari sopir keluarganya itu.
Sultan kini tahu jika seminggu yang lalu seorang Kinan menjadikan dirinya seorang gadis yang penuh dengan intrik kebohongan di depan Sultan.
Kinan berbohong jika dia pulang menaiki taksi online. Sultan kini tahu jika seminggu yang lalu Kinan diantar oleh seorang pria yang Sultan tahu adalah Gusti, ketua osis SMA Aditama. Tidak mungkin Sultan tidak mengenal ketua osis di sekolah milik keluarganya sendiri.
Sultan tahu Kinan dan Gusti bertemu di bengkel. Mengobrol berdua dikala hujan deras saat itu. Membeli teh matcha berdua di perjalanan. Bahkan Kinan memakai jaket hoodie pria itu. Dan Sultan tahu Kinan belum mengembalikannya.
Entah hal lain apa yang Kinan dan Gusti lakukan kemarin sepanjang perjalanan pulang. Sultan tidak sudi menebak-nebak atau bahkan memikirkannya.
Kinan, adik angkatnya yang selalu merasa rendah diri berteman dengan siapa pun, kini berani mendekatkan diri dengan seorang pria setelah sekian lama. Itu artinya ada hal spesial dari seorang Gusti yang membuat pacar Sultan itu merasa aman. Tapi apa? Siapa sebenarnya Gusti bagi kinan? Apa hal spesial hal spesial dari pria itu sehingga membuat Kinan berani membuka diri pada pria lain selain Sultan.
Salahkan Sultan tidak membuat publik hubungannya dengan Kinan, membuat Gusti menjadi merasa sombong dan mengira dia memiliki kesempatan untuk merebut Kinan.
Sultan yakin adik angkat sekaligus gadis yang sudah menjadi pacarnya itu tidak akan mungkin berbuat curang dibelakangnya. Mustahil! Sultan sudah mengenal Kinan luar dalam. Pacarnya itu terlalu baik hati untuk melakukan hal seperti itu.
Namun, Sultan hanyalah manusia biasa. Sama hal seperti pria lain yang tidak suka jika gadisnya dekat dengan pria lain. Sultan cemburu. Rasa kesalnya pada Kinan sangat menumpuk sekarang. Ingin dia lampiaskan.
Dan kebetulan sekali, besok paginya Sultan yang hendak berangkat sekolah langsung dihadang oleh Kinan. Gadis itu menatap horor pada benda yang dipegang Sultan pagi ini.
"Mas Sultan. Jaket itu? Mas Sultan akan bawa ke mana?"
"Akan aku kembalikan kepada selingkuhanmu," balas Sultan dingin.
Kinan langsung memberikan tatapan menyesal pada Sultan. Sepertinya perempuan itu sudah bisa menebak jika Sultan telah membongkar kedok kebohongannya seminggu yang lalu.
"Mas, aku bisa jelas_____"
"Bagaimana kencannya minggu lalu. Pasti seru yah? Mengobrol berdua saat hujan. Dipakaikan jaket karena dingin. Sampai membeli teh matcha segala di perjalanan. Romantis sekali."
"Dia dulu teman panti aku, Mas. Kami hanya_____"
"Oh. Jadi dia mantan pacar di panti dulu yang kamu sering ceritakan ke aku. Cinta lama bersemi kembali? Oke oke. Dalam rangka rindu mantan ternyata."
"Mas, dengarkan aku dulu. Jangan memotong terus omongan aku."
Sultan mengibaskan tangannya bersikap tidak peduli. Memberi tatapan kecewa pada Kinan. "Aku tidak masalah, Ki. Dia pun sepertinya berniat baik menolong kamu waktu itu. Tapi aku kecewa karena sikap berbohong kamu terhadap aku. Jangan diulangi. Itu akan menjadi sebuah kebiasaan buruk kedepannya."
"Maaf, Mas. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi."
Kinan menunduk malu. Jelas sekali pacar Sultan itu merasa malu dan bersalah. Dia bahkan menangis saat ini.
"Biar aku saja yang mengembalikan jaket ini. Aku ingin mencoba akrab dengan ketua osis sekolah kita sendiri."
Sultan menaiki mogenya. "Oh iya, aku akan menjemput Ambar dulu. Dia mantan aku. Siapa tau aku sama Ambar bisa clbk seperti kamu."
Sultan menancap gas motornya setelah mengatakan kalimat itu. Meninggalkan kediaman Aditama. Meninggalkan Kinan yang terus menangis dan menatap kecewa padanya. Sultan bisa dengan sangat jelas melihat wajahnya di kaca spion tadi.
Sultan tahu dia kejam ketika mengatakan kalimat terakhirnya tadi. Namun Sultan mencoba tidak peduli. Sepertinya dia terlalu lunak selama ini pada Kinan sehingga pacarnya itu mulai berani berbohong padanya. Sultan akan sedikit keras padanya mulai saat ini. Kinan harus sedikit dia hukum. Dan sepertinya, memberi jarak pada Kinan untuk beberapa waktu akan membantu pacarnya itu sadar jika Sultan lah yang dia cintai dan dia butuhkan.
Waktu pun berjalan cepat. Berakhirlah Sultan saat ini di lapangan basket indoor sekolahnya. Hendak menyelesaikan urusannya bersama seorang pria yang menjadi alasan Sultan bertengkar bersama Kinan tadi pagi. Sultan dan pria itu kini sudah berdiri berhadapan di tengah-tengah lapangan.
"Kak Sultan, ketua geng motor sekaligus anak dari pemilik SMA Aditama ini. Sungguh sebuah kehormatan kakak kelas terpopuler seperti Kak Sultan menyempatkan waktunya untuk menemui ketua osis biasa seperti gue."
Gusti menyambut Sultan. Tersenyum santai dengan ekspresi wajah tanpa merasa berdosa.
"Terima kasih atas sambutan lo, adik kelas. Tidak usah formal seperti itu. Gue tidak akan tidak akan lama kok. Lo juga akan segera bisa melanjutkan pertandingan basket lo yang tertunda saat ini." Sultan melemparkan secara kasar jaket yang dia bawa sejak tadi pagi kepada pemiliknya itu.
"Jaket lo sudah pembantu rumah gue cucikan. Dan terima kasih atas tumpangan yang lo berikan terhadap Kinan Minggu lalu. Mulai sekarang, gue meminta dengan baik-baik kepada lo untuk berhenti menganggu adik gue."
"Menganggu? Kinan terlihat merasa nyaman kok dengan gue minggu lalu. Dia terlihat ceria dan banyak tersenyum. Kami berdua bahkan sempat bernostalgia masa-masa di panti dulu. Jadi sebenarnya siapa yang merasa terganggu di sini? Kinan atau Kak Sultan sendiri?"
Gusti tertawa kecil setelah bertanya seperti itu. Seakan meremehkan Sultan. Sultan menahan dirinya untuk tidak menampar mulut pria itu saat ini juga. Gara-gara pria itu, hubungan Sultan dengan Kinan menjadi retak.
"Apa tujuan lo mendekati Kinan?"
"Hanya ingin berteman, kalaupun sampai menjadi lebih dari sekadar teman. Anggap saja bonus. Gue akan sangat menyukainya."
Dugaan Sultan benar. Pria di hadapannya saat ini menyukai Kinan. Dia mengincar pacarnya itu.
"Jangan bermimpi! Kinan sudah menjadi milik gue sejak kami memutuskan untuk hidup bersama."
"Sebagai kakak dan adik angkat, kan?"
"Bukan, lebih dari itu. Kami saling mencintai."
"Wow, sayangnya gue tidak peduli. Sebelum kalian mengumumkan secara publik hubungan kalian kepada orang-orang, gue masih akan terus mendekati Kinan. Berbeda jika Kinan sendirilah yang meminta gue untuk mundur."
Bug! Sultan merebut bola basket yang sejak tadi dipegang oleh Gusti lalu Sultan pantulkan bola itu dengan keras ke lantai lapang. Sultan marah. Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras. Sultan menatap tajam pada Gusti. Tatapannya sangat menusuk. Ada yang sedang menantangnya saat ini.
"Lo sudah tahu hubungan gue dengan Kinan? Apakah Kinan menceritakannya? Wah hebat sekali. Sudah tau kami berpacaran, namun lo dengan sombongnya berkata masih ingin mengejar Kinan. Lo mau merebut Kinan dari gue? Tidak akan gue biarkan itu terjadi."
Gusti dengan santainya mengedikkan bahu sembari menyunggingkan senyumnya yang memuakkan di mata Sultan.
"Tidak ada yang bisa menebak masa depan, Kak Sultan. Kita masih muda. Masa depan kita masih panjang." Gusti mengecek jam tangannya. Lalu memberikan tatapan menyesal pada Sultan.
"Sayang sekali, Kak Sultan. Setelah pertandingan basket gue sekarang, gue akan ada jadwal rapat osis. Mungkin di lain hari kita bisa melanjutkan obrolan penuh nafsu ini. Ngomong-ngomong, titipkan salam gue pada Kak Ambar. Semoga kalian segera clbk, yah. Seperti gue dan Kinan minggu lalu."
Gusti beruntung lapangan basket yang Sultan dan pria itu pijakki saat ini sangat ramai sekali orang. Jika saja tidak , mungkin Gusti sudah habis babak belur oleh Sultan saat ini.
Instagram : @sourthesweett dan @andwyansyah
itu tuh sudah jelas bgt sultan kalau kamu cinta kinan.
Comment on chapter 2. Denial