"Janji tidak akan bandel lagi?" tanya Sultan yang sedang menyetir.
"Janji. Gue kapok, Tan," balas Ambar.
Satu minggu lamanya Ambar tidak masuk sekolah sejak tragedi pingsannya di lapangan. Dan pagi ini adalah hari dia kembali masuk. Dijemput oleh Sultan seperti biasa. Namun ada yang berbeda kali ini, Sultan menjemputnya menggunakan mobil jeep, bukan dengan moge yang biasa dia pakai ke sekolah.
"Kapok kenapa, Mbar?"
"Kapok dimarahi dokter gue. Kapok menyusahkan lo. Dan kapok dikatai beban oleh Kinan."
Sultan memberikan tatapan menyesal pada Ambar.
"Maafkan perkataan Kinan waktu itu yah, Mbar. Gue yakin dia tidak bermaksud jahat kok. Dia mengaku menyesal kemarin. Kinan bilang dia takut lo drop waktu itu. Dia juga takut jika gue marah pada dia gara-gara tidak menjaga lo dengan baik. Dan benar saja, salah satu ketakutan dia benar-benar terjadi. Lo benar-benar drop sampai tidak masuk sekolah selama seminggu. Gue yang salah, Mbar. Seharusnya gue tidak menitipkan lo pada Kinan waktu itu."
"Tidak apa-apa kok, Tan. Gue paham kok. Kalaupun harus ada yang disalahkan, orang itu adalah gue. Semua yang terjadi tiga hari yang lalu itu tidak akan terjadi jika gue tidak keras kepala dan mendengarkan kalian."
Sultan memberi senyum pada Ambar. "Terima kasih, Mbar. Karena sudah mau mengerti."
Ambar terpaksa berbohong dan berpura-pura baik-baik saja. Sebenarnya dia sangat tersinggung dengan ucapan Kinan waktu itu. Kata beban yang diucapkan oleh adik mantan pacarnya itu benar-benar menyayat hati Ambar. Kinan seakan menegaskan jika Ambar adalah gadis penyakitan yang selalu menjadi beban untuk orang lain. Termasuk beban untuk Kinan dan Sultan.
Namun Ambar tidak punya hak untuk marah. Perkataan Kinan memang ada benarnya. Namun entah kenapa, Ambar ingin sekali mendengar maaf dari Kinan untuknya. Bahkan dia ingin gadis itu bersujud-sujud padanya kalau perlu. Ada perasaan kesal yang menumpuk di diri Ambar untuk Kinan.
Ambar merasa Kinan adalah penghalang. Terutama penghalang antara hubungan Ambar dan Sultan. Satu minggu selama Sultan menjaga dan memperhatikan Ambar bukanlah waktu yang sedikit. Namun tidak ada kemajuan antara Ambar dan Sultan. Kaku dan seperti terpaksa. Itulah kesan yang Ambar rasakan setiap Sultan menjaga dan memperhatikannya.
Raga Sultan bersama Ambar, namun hati dan pikirannya terpaku pada orang lain. Yang Ambar tebak adalah Kinan.
Sering sekali Ambar menangkap Sultan mengecek-ngecek ponselnya yang selalu menampilkan riwayat chat pesannya bersama Kinan. Sultan seperti takut jika Kinan mengirimnya pesan, namun tidak dia segera baca atau balas.
Sultan juga kerap kali mengungkit-ungkit Kinan ketika mengobrol dengan Ambar. Mantan pacarnya itu selalu punya cara untuk memasukkan nama Kinan ke dalam obrolan mereka.
Ambar kurang menyukai kebiasaan Sultan itu. Ambar hanya ingin Sultan fokus pada Ambar. Menjauhkan segala hal tentang Kinan ketika Sultan bersama dirinya. Bisakah Sultan melakukan itu?
Namun sepertinya itu akan sulit. Ada ikatan aneh antara Sultan dan Kinan yang Ambar yakin merupakan ikatan yang lebih dari sekedar ikatan Kakak Adik. Namun Ambar belum bisa memastikan bernama apa ikatan itu. Sultan dan Kinan terlalu pandai menyembunyikannya.
Hening. Saat ini tidak ada lagi obrolan antara Ambar dan Sultan di mobil. Sultan juga tidak kunjung bicara sepatah katapun. Ambar tidak menyukai keadaan seperti ini. Dia ingin terus membicarakan banyak hal bersama Sultan. Ambar pun berinisiatif mencari bahan obrolan.
"Ngomong-ngomong, seminggu yang lalu lo habis jalan bersama Kinan di mall pusat kota yah, Tan? Gue lihat di postingan story soalnya. Kalian sepertinya have fun sekali."
Ambar mengutuk dirinya sendiri karena malah menjadikan kegiatan bermain Sultan dan Kinan sebagai bahan obrolan mereka saat ini. Padahal hal itulah yang membuat dia terbakar api cemburu selama dua hari kemarin.
"Story siapa, Mbar?"
"Tentu saja story instagram kalian berdua."
"Lo saling memfollow instagram dengan Kinan, Mbar? Wah, kalian akur yah ternyata."
"Gue yang follow Kinan duluan. Hampir semua postingan dan storynya tentang lo. Dia sepertinya sangat menyayangi lo, Tan."
"Iya, Mbar. Gue dan Kinan sejak dulu suka memposting satu sama lain. Sudah menjadi kebiasaan yang susah diberhentikan."
Lagi-lagi obrolan Ambar dan Sultan sekarang adalah tentang Kinan. Dan lagi-lagi Sultan terlihat bersemangat ketika dia membicarakan Kinan. Salahkan Ambar yang mengungkit obrolan ini dari awal.
Sebuah pesan grup di ponsel mengalihkan perhatian Ambar.
"Sultan, barusan gue mendapat info dari grup kelas kita jika hanya guru jam terakhir saja yang masuk hari ini," beritahu Ambar.
"Oh ya, bagus dong."
"Bagaimana jika kita berdua tidak usah ke sekolah dulu, Tan. Kita masuknya saat jam terakhir saja."
Dahi Sultan mengernyit."Memangnya kita mau kemana, Mbar?"
"Ajak gue jalan kemana kek gitu, Tan. Kaya lo mengajak Kinan jalan minggu lalu."
Ada rasa ragu di diri Ambar jika Sultan akan menyanggupi ajakannya. Namun jawaban Sultan setelahnya ternyata tidak mengecewakan. Dia menyanggupi ajakan Ambar.
"Oh lo ingin main? Boleh. Lo suka kemana biasanya kalau main, Mbar?"
"Kalau kita ke timezone yang lo dan Kinan kunjungi. Boleh tidak?"
Sultan terlihat terkejut. "Lo benar-benar mau kesana?"
"Iya, Tan. Tidak apa-apa, Kan?"
"Boleh."
Butuh waktu satu menit lamanya sampai akhirnya Sultan bisa mengatakan kata boleh itu. Ada nada ragu di saat Sultan mengucapkannya. Namun Ambar yang kelewat senang tidak mengambil pusing hal itu. Dia sangat bersemangat karena akan menghabiskan banyak waktu seharian bersama Sultan hari ini.
"Yes! Gue tidak sabar banget bermain di timezone sama lo, Tan. Pasti seru sekali."
Sultan tersenyum sambil memberi rambut sebahu Ambar sebuah elusan lembut.
"Lo lucu sekali kalau lagi semangat, Mbar. Sering kayak gitu yah, Mbar. Jangan sedih terus."
"Siap, mantan pacar." Keduanya pun tertawa lepas di dalam mobil.
Elusan tangan Sultan pada rambut Ambar tadi. Siapa gadis yang tidak akan terbawa perasaan dengan perlakuan lembut seperti itu.
Ambar tidak salah kan jika berharap Sultan menjadi miliknya lagi? Putus hubungannya Ambar dan Sultan dulu memang tidak terkesan baik. Namun Ambar yakin dia masih mempunyai kesempatan untuk berpacaran dan mengulang dari awal semuanya dengan Sultan lagi. Ambar akan berusaha keras membuat Sultan jatuh cinta padanya lagi mulai saat ini.
Waktu pun berjalan begitu cepat. Kegiatan bermain Ambar dan Sultan di mall pusat kota sudah selesai. Ambar dan Sultan pun sudah berada di SMA Aditama saat ini. Mobil jeep yang mereka tumpangi sudah memasuki area parkiran.
"Mbar, lo jangan bilang-bilang ke Kinan yah kalau kita habis mengunjungi timezone tadi."
Deg. Gerakan tangan Ambar yang sedang melepaskan sabuk pengaman mobil terhenti. Dia tidak salah dengar kan barusan? Sultan baru saja meminta Ambar untuk tidak memberitahu Kinan tentang kegiatan kencan mereka tadi. Kenapa harus seperti itu? Apakah seperlu itu merahasiakan semua ini dari Kinan?
Ambar merasa sulit menyanggupi permintaan itu. Jika Kinan bisa memamerkan kegiatan bermainnya dengan Sultan di timezone seminggu yang lalu kepada orang-orang, kenapa Ambar tidak bisa? Apa perbedaan antara Ambar dan Kinan bagi Sultan?
"Telat, Tan. Satu jam yang lalu gue sudah memposting foto selfi kita berdua di timezone ke story instagram. Kinan sepertinya sudah melihat story gue."
"Apa?! Kenapa lo tidak izin dulu sama gue, Mbar!"
Marah. Sultan terlihat marah sekarang. Dia langsung keluar mobil. Membanting pintu mobil jeepnya keras. Lalu lari kencang entah kemana.
Ambar pun mengejar Sultan hendak meminta maaf. Ambar menemukan Sultan di sebuah koridor kelas yang cukup sepi. Ada Kinan bersamanya.
Sultan memeluk Kinan di sana. Kinan terlihat menangis di pelukan Sultan. Sultan beberapa kali mengecup dahi dan puncak kepala Kinan seperti sedang merayu gadis itu untuk berhenti menangis. Mereka begitu intim.
Semua itu terekam jelas oleh Ambar saat ini. Tanpa sadar Ambar juga menangis. Orang bodoh pasti bisa menyimpulkan jika Sultan dan Kinan saling mencintai hanya dengan melihat itu semua.
Apakah Ambar harus mundur setelah semua ini?
*****
Instagram : @sourthensweett dan @andwyansyah
itu tuh sudah jelas bgt sultan kalau kamu cinta kinan.
Comment on chapter 2. Denial