Angkot melayang berhenti saat Alzaki menyahut di pinggir dekat mini market. Keluar seraya membayar sang sopir. Melangkah berbelok menuju kost pria. Masih dengan langkah santai dan merasa bahagia. Menyusuri setiap rumah. Bahkan melewati anak-anak kecil yang sedang asyik bermain egrang. Anak-anak kecil itu terpana akan dirinya. Namun di antaranya memangilnya."Eh, eh! Mas, Mas!" Salah satu di antara anak-anak kecil.
"Ya?"
"Sampeyan ngideg gambare!" peringatnya.
Alzaki menunduk ke bawah. Melihat ada gambar mirip papan beberapa kotak di aspal. Meringis."Eh, sepurane ya, Dhik... Ora weruh..." beranjak dari situ.
"Sampeyan isa dulinan ta?"
"Dulinan iki?" tunjuknya.
"Iya."
"Isa, seh. Ya wis, nak ngono aku takmelu dulinan. Dhilut wae, ya."
Sontak anak-anak kecil itu girang. Ada abang-abang tampan yang ikut bermain bersama mereka. Alzaki meraih batu, melemparnya. Sekarang gilirannya ia bermain. Dengan lihai, melompati setiap papan-papan yang digambar di jalan beraspal. Setelahnya bergantian dengan anak-anak yang lainnya. Tak terasa, merasa kelelahan.
"Wis, ya, Mas, takmulih," pamit Alzaki pada anak-anak kecil itu.
Mereka serempak mengangguk.
"Kapan-kapan dulinan maneh, ya, Mas!"
"Ya." Alzaki beranjak. Meneruskan langkahnya. Walau masih tampak terik matahari, ia tidak peduli. Langkahnya akan berbelok ke satu jalan menuju kost pria. Menelusuri rumah-rumah. Tampak bangunan di antaranya yang ada papan gantungnya yang bertuliskan "Kost Pria." Membuka pagar dan masuk seraya menutupnya. Di tempat itu sangat sepi. Teman-teman sesama kost-nya semua sibuk bekerja. Mungkin pulang pada sore hari. Ia menuju kamarnya, membuka tas kembali, merogoh kunci. Kunci kamar yang ditempatinya. Memasukkannya ke lubang kunci, membukanya lalu menutupnya kembali. Menyalakan lampu serta kipas angin yang tergantung di dinding. Jendela dibiarkannya terbuka saat dirinya pergi. Hawa panas matahari menyengat masuk. Memang hari yang siang bolong ini memasuki musim panas. Saking panasnya, melepas kemeja bermotif kotak hijau tua-hitam. Memperlihatkan tubuhnya putih mulusnya juga gagah yang mengenakan kaos putih. Peluh membasahi dahinya. Menggantung kemeja dengan gantungan di balik pintu. Mengibas-ngibaskan kaosnya."Panase, panase..." Berlanjut melepas celana jeans birunya dan menggantinya dengan celana pendek selutut berwarna kuning. Selesai mengganti celana, ia memakai kaos kuning bertuliskan di tengahnya "GREAT OF TRIO." Merebahkan diri ke kasur. Hatinya dipenuhi kelegaan. Akhirnya, ia mempunyai pekerjaan sekarang. Memejamkan kedua mata, dan tanpa sadar dirinya tertidur pulas dengan diiringi hawa dari kipas angin yang menyala. Ia butuh istirahat karena menempuh mencari pekerjaan hingga jauhnya. Hingga langit yang awalnya cerah dan panas yang menyengat dengan tanpa sungkan dengan cepat mengganti langit orange bercampur biru keunguan yang indah. Jam menunjukkan tepat jam hampir 05.30. Waktu yang menunjukkan hampir setengahnya menjelang malam. Walau begitu, hawa masih saja panas. Beberapa suara sepeda melayang pun berhenti diiringi suara geser dari pagar besi yang tertutup. Beberapa sepeda melayang melesat memasuki garasi yang ada di samping kost. Garasi itu menghubungkan dapur tatkala garasi itu bergeser menjeblak. Semua masuk satu per satu. Menghentikan masing-masung dari sepeda melayang. Semuanya mencopot helm. Meletakkanya di kemudi.
"Jian panase!" David mencopot helm bergambar tengkorang dengan mengenakan topi jerami di belakangnya. Meletakkannya di atas kemudi."Panase pol!"
"Nanging kan masia panas, sampeyan isih isa ngadhem," ujar Zaki, temannya yang turun dari sepeda melayang.
"Maksudmu?"
"Ya isa ngadhemlah! Saka AC! Ing omah sakit nak ana AC-ne."
David meringis."Nanging nak metu ora meneh. Dengaren panase pol ngene."
"Aku maeng teka arah lor nyawang kost sebelah berlomba mepe kumbahan," celetuk Nurin.
"Aku ya pisan," kali ini Gusti.
David turun dari sepeda melayang-nya."Ya elah, rek, rek... Sampeyan kuwi malah kesempatan."
"Iya, ta. Isa nyawang cewek-cewek ayu tur manis! Sing mepe maeng ayune kayak Hermione jeh!"
"Hermione?"
"Sapa kuwi, Gus?"
"Hermione Jane Granger. Kancane sak asrama karo Harry Potter," ujar Gusti.
"Ya Allah! Takkira sapa! Dudu Hermione, Emma, Emma sapa seh artise kae?"
"Emma Watson," ujar Gusti lagi."Masa ora weruh?"
"Aku weruh uwonge nanging ora ngerti jenenge. Dasar Potterhead!"
Gusti tidak menghiraukan.
David melewatinya, melangkah masuk, menuju kamarnya sendiri. Di antara kamar, kamar yang tepat bersebelahan dengan kamar Alzaki. Teman-temannya di belakang menyusul, menuju kamar masing-masing.
"Erza apa wis mulih, ya?"
Teman-temannya menoleh."Emange areke nandi, Vid?"
"Isuk maeng kandha, nggolek penggawean, maksude nggolek lowongan pekerjaan," katanya.
"Durung mulih paling areke. Mengko nak mulih."
"Areke kan dhuweni sikil."
"Tenang wae."
Teman-temannya membuka pintu memasuki kamar masing-masing. David masih menatap kamar Alzaki, dia pun membuka pintu dan masuk ke kamarnya sendiri. Di kamarnya, Alzaki masih terlelap tidur. Ia benar-benar kelelahan. Membaringkan badannya ke kiri, merengkuh guling erat. Ada nyamuk memasuki jendela. Kipas yang berputar menyala dengan setia, terbang ke arahnya berputar-putar riang di atasnya. Dengungan suaranya mengusik tidur tampannya. Ia mengerang, tangannya mengibas-ngibaskan agar si nyamuk enyah darinya. Nyamuk seakan senang, berputar-putar riang kembali.
"Aah, mengganggu!" pekiknya langsung terbangun. Keringat membasahi leher dan punggungnya. Mengedip-ngedipkan matanya. Menguap lebar dengan setengah mengantuk. Ia tidak tahu, suasana di luar telah berubah gelap."Hoaam...! Huh?" Menoleh ke arah jendela."Sudah maghrib, toh?" Menggaruk tengkuknya yang berkeringat. Terdengar adzan berkumandang.Tampak suara sang bilal bersemangat. Akan kembali tidur, terdengar suara ketukan pintu dari luar.
"Erza, Erza...," panggil seseorang.
"Ee, dalem!" sahutnya parau.
"Oh, sampeyan wis mulih, ta?"
"Wis, ngapa a?"
"Ora, takkirane sampeyan durung mulih. Iki arek-arek mangan bareng. Sampeyan wis mangan?"
"Durung..."
"Ya, wis. Ndang, nyusul, ya. Takenteni ning pawon."
"Ya!" sahut Alzaki lagi, beringsut turun dari ranjang. Keluar, menaiki tangga ke balkon. Meraih handuk yang berjejer rapi di rak khusus handuk yang di jemur. Berbalik turun, bergegas masuk ke dalam kamar, untuk membersihkan badan. Setelah satu menit kemudian ia selesai mandi dan mengganti pakaian. Kembali menjemur handuknya kembali ke balkon. Menuruni tangga menuju dapur. Terlihat teman-temannya berkumpul untuk makan bersama. Semuanya menatapnya.
"Ayo, mangan bareng kene!"
"Lawuhe padha, Za. Lawuhe maeng isuk. Hehehe," Gusti meringis.
"Ora papa," Alzaki menghampiri teman-temannya ikut makan bersama.
"Sampeyan maeng isih lapo?"
"Aku? Aku maeng tangi turu." Meraih piring dan nasi di wakul kecil.
"Sampeyan wis nggolek lowongan pekerjaan?" tanya David meraih oseng-oseng udang.
Alzaki tersenyum.
"Uwis."
"Alhamdulillah! Kerja dadi apa?"
"Helper," jawab Alzaki.
"Apa helper kuwi?"
"Helper kuwi padha karo waiters ngono lho," jelas Alzaki, meraih oseng-oseng udang dan telur goreng dicampuri cabai diiris kecil-kecil.
"Ooh," jawab teman-temannya serempak.
"Sampeyan kan, ya nggantheng, Za, masa ora kepingin dadi modhel?"
"Modhel?"
"Modhel," kata Nurin."Cocok kan kanggo sampeyan. Sampeyan kuwi taksawang selaen nggantheng, postur tubuhmu ya apik, dhuwur sisan."
Alzaki mengunyah makanannya."Aku ora mikir tekan semono."
"Sapa ngerti sampeyan isa dadi modhel. Kayak sapa ta sing modhel nggantheng, rupane kayak bule, nak mlaku tegap saka Prancis kuwi?"
"Leon Dame," tanggap Alzaki.
"Iya, kuwi jenenge."
"Kapan sampeyan mlebu kerja, Za?"
"Sesuk jarene bose."
"Mudah-mudahan barokah."
"Amin. Oh, iya sampeyan kan perawat. Nah, sampeyan liyane nyambut gawe apa?"
Selain David, teman-temannya yang satu per satu menjawab. Gusti, bekerja sebagai pegawai Negeri di salah satu kantor cabang BUMN di Kota Cyborc. Dia nge-kost dan menetap di sini karena jauh dari rumah sementara Zaki bekerja sebagai petugas di bank di kota yang sama dan Nurin, bekerja sebagai asisten editor di sebuah penerbit besar. Mereka bertiga mencari tempat kost yang sesuai dengan harganya yang murah. Mereka berempat mengetahui tempat ini dari pencarian di internet dan tetangga mereka. Beda dengan dirinya. Ia mencari tempat kost yang murah dan karena Maria berbaik hati padanya, ia bisa menemukan tempat murah untuk dijadikan tempat sementara. Dalam insiden minggat-nya itu dirinya bersyukur bisa dipertemukan dengan wanita itu juga teman-teman baru, ibu kos yang sudah menerimanya di sini.
"Aku woleh takon?"
"Woleh."
"Sampeyan nge-kost ing kene selaen nunggu kelulusan apa uga nggolek penggaweyan?"
Alzaki menghentikan suapannya. Telur yang akan disantapnya jatuh ke piring. Terdiam sementara,"Aku sinambi nunggu kelulusan uga nggolek penggaweyan uga seteruse..."
"Keluargamu wis sampeyan kabari?"
Ah, ini dia. Sebenarnya dalam hatinya ia sangat enggan mengakuinya. Harus menjawab apa ia? Antara jujur dan bohong?
"Durung," katanya lirih.
"Durung ta? Ndang, dikabari keluargamu. Karo sampeyan wis entuk penggaweyan."
"Eem."
Lauk yang mereka semua santap hari ludes tanpa sisa. Semuanya merasakan kenyang. Alzaki yang kebagian mencuci piring, meletakkan piring terakhir di rak khusus piring. Selesai mencuci, ia beranjak ke kamarnya kembali. Di kamar, menyalakan kembali kipas angin dan menutup jendela serta gorden. Perkataan David barusan masih teringang di kepalanya.
Durung ta? Ndang, dikabari keluargamu. Karo sampeyan wis entuk penggaweyan.
Ia menghela napas berat. Bagaimana ia mengabari keluarganya? Keluarga sudah tidak punya. Dirinya malah diusir setelah sepeninggal ayah, ibu, dan adiknya. Setelah rentetan kejadian yang dialaminya, ia sudah tidak peduli dengan tante maupun omnya yang bisa-bisanya tega mengusirnya. Sekarang, hidupnya serba baru. Memikirkannya membuatnya teringat akan ayah, ibu dan adiknya. Bila saja mereka masih hidup sampai sekarang dan melihat dirinya sudah memiliki pekerjaan, alangkah senangnya mereka melihat bahwa anak sulung mereka bisa mencukupi hidupnya sendiri.
**
Cuaca hari ini masih dengan kemarin. Sama-sama panas. Teriknya matahari menyorotkan sinar tanpa pandang bulu. Walau masih pagi. Di kost sebelah—kost cewek, dengan suka ria ber-loundry. Kebanyakan dari mereka pada libur bekerja, mereka berbondong-bondong menjemur di atas balkon. Alzaki selesai dengan runititas membersihkan badan dan telah mengganti pakaian siap akan berangkat bekerja. Ya, hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Sebagai pegawai baru menghampiri dapur. Melihat ibu kost-nya yang ternyata membuat makanan untuk mereka. Melihat sang pemilik kost baik hati itu mengingatkannya pada Mbok Inah. Ibu itu melihatnya datang.
"Ayo, Le, kene sarapan bareng. Ibu maeng nggawe sega goreng," katanya."Iki wau takmasakne akeh kanggo bocah-bocah ing kost sebelah sisan."
"Inggih, Bu," Alzaki masuk ke dalam dapur. Ikut makan bersama dengan yang lainnya.
Lauknya hari ini adalah nasi goreng, telur goreng, oseng-oseng buncis, capcay dan sebagai pelengkapnya adalah sambal mentahan.
"Ya, wis, ibu tinggal, ya," pamitnya.
"Inggih, Bu. Piringe kula mbalekaken rampung mulih nyambut dhamel," kata Nurin.
"Ora papa, Le. Ben ibu wae sing njupuk." Menghampiri dandang yang telah dicuci bersih dan sudah disusun kembali dengan rapi."Ya, wis, ibu takbalik."
"Oh, nggih," sahut Alzaki dan lainnya.
Alzaki keluar dari dapur. Teman-temannya yang lain menaiki sepeda melayang masing-masing. David berhenti saat Alzaki keluar dari pagar.
"Bareng pora?"
"Iya, wis." Alzaki naik ke bangku belakang. Mereka bersama yang lain berangkat bersama lalu berpencar sendiri-sendiri.
"Sampeyan nyambut gawe ing Miami Japanese Resto?"
"Iya, ngapa a?"
"Arahe padha. Sampeyan mengko mlakune adoh," ujar David.
"Ora papa. Sesuk taknumpak
angkot."
Mereka melewati halte bus. Terus menelusuri jalan raya. Berbelok lagi, Hingga sampai di belakang tempat bekerja Alzaki."Oala, iki saka mburine ta?"
"Sampeyan ora weruh, ya?"
"Ora. Ket weruh saiki. Kan, aku isih arek anyar ing kost-an."
"Oh, ya, lali aku," kata David.
"Sampeyan asring ngeliwati dalan iki?"
"Asring, Za."
David menghentikan sepeda melayang-nya tepat di belakang resto. Ia mengucapkan terima kasih. David melesat pergi. Ia segera masuk ke dalam. Dalam ruang belakang yang terhubung oleh dapur. Teman-temannya sudah pada datang. Terutama pegawai perempuan.
"Kamu ya pegawai baru itu?"
Alzaki meringis."Iya, Mbak."
"Sudah dapat seragam?"
"Belum."
Dia mengambil seragam khusus karyawan. Seragam itu sudah bersih karena dicuci."Nih, cepat pakai. Dua menit kita buka," ujarnya mengelungkan seragam padanya.
Alzaki menerimanya. Pergi menuju toilet khusus karyawan yang ada di belakang. Ada tiga toilet. Tiga toilet yang terdapat biliknya yang terbuka. Ada gambar dan tulisannya masing-masing di pintu. Masuk ke toilet khusus karyawan. Selesai mengganti baju dengan seragam, keluar dan mulai bekerja.
"Eh, kamu tolong lap meja, kursi sama lantainya, ya," pinta temannya.
Alzaki segera meraih dua lap bersih dan sapu. Segera membersihkan meja dan kursi. Berlanjut membersihkan lantainya yang beralaskan anyaman—Tatami.
Sang bos yang berada di dapur, tampak menyiapkan bahan-bahan untuk membuat Sushi dan Ramen. Dibantu dengan karyawannya."Erza sudah datang?" tanyanya.
"Erza?"
"Erza sapa, Mas?"
"Erza pegawai anyar," kata bos.
"Oh, namanya Erza?"
"Bocahe nggantheng ya, kayak maknae-ku."
"Siapa maknae-mu?"
"Jungkooklah," kata Ella, diiringi senyuman."Mirip rupane."
"Yah, masih ganteng saya," aku si bos tidak kalah.
Fajar, pegawai laki-laki yang membantunya menahan tawa.
Dua menit resto pun dibuka. Hari masih dikatakan pagi. Hawa segar menyerbak masuk ke dalam. Jendela-jendela dibuka lebar. Menuggu pelanggan yang datang, si bos membalik papan yang tergantung di pintu "Open".
"Jenengmu Erza, ya?"
"Oh, inggih."
"Aja nganggo Krama. Awake dhewe kan, seumuran," kata Ella, seraya memperbaiki kacamata bulatnya.
"Inggih."
"Kerja di sini enak kok, Za," sahut Dita senionya."Santai tapi serius. Eh, ada pelanggan datang," melihat di balik kain yang digantung sebagai pembatas."Ayo, bergegas."
Ada dua-tiga pelanggan yang datang. Semua pegawai tampak sibuk. Ada yang makanan. Alzaki yang menyaksikan si bos beserta temannya sibuk membuat Sushi dan Ramen. Dengan lihai dan cekatan mereka memasak. Aroma enak langsung terhidu di hidungnya. Membayangkan keduanya seperti pegawai Ramen di serial anime Naruto yang pernah ditontonnya. Dua teman ceweknya segera melayani pesanan dan mengantar pesanan ke pelanggan. Alzaki, melanjutkan tugasnya. Kali ini membersihkan toilet. pelanggan pun berdatangan lagi. Alzaki melihat pelanggan yang masuk. Tersenyum karena hari pertama bekerja tampak ramai. Walau cuma beberapa.
"Fiuh," Alzaki mengusap peluh di dahinya. Sudah tiga toilet yang bersihkan. Memandangi ketiga toilet bersih. Dua dari pelanggan berjalan ke arah toilet. Tidak lupa memamerkan senyumnya. Dua cewek itu balas tersenyum. Di tiga kamar mandi itu ada westafel untuk mencuci tangan seperti toilet yang ada di kampusnya. Berbisik."Abang tadi ganteng banget!"
"Iya," bisik temannya.
Alzaki melanjutkan menyapu mendengar percakapan mereka hanya menggeleng. Apakah ia seganteng itu? Walau ia ganteng, tapi toh tidak populer di kampus. Ia lebih suka menutupi dirinya atau tidak pernah menonjolkan diri.
"Tapi dia boleh juga. Mukanya mirip banget sama maknae Jungkook."
"Oala, Jungkook, toh? Iya, abang itu memang mirip. Apa kita foto bareng sama dia?"
"Boleh. Tapi, orangnya mau enggak?"
"Pasti mau, kok."
Dua cewek itu memperbaiki make up-ya dan merapikan pakaian. Menyudahinya dan keluar dari toilet. Mendekati Alzaki yang membuang sampah di tempatnya.
"Bang, anu..."
Alzaki menoleh ke belakang,"Inggih, Mbak?"
"Kami boleh foto bareng sama Abangnya?"
Alzaki tampak menimbang. Setahunya, ia jarang berfoto bersama seorang gadis. Itupun teman kampusnya.
"Bagaimana, Bang?"
"Woleh wae," akhirnya ia mau.
Dua cewek itu merasa senang. Mereka segera merapat mendekat. Suara jepretan kamera handpone diaktifkan, mereka bertiga berfoto. Berulang kali. Selesai berfoto bersama, mereka mengucapkan terima kasih meninggalkannya. Mereka kembali ke meja makan karena Sushi pesanan mereka sudah datang. Memberitahu ke teman-temannya, memperlihatkan foto Alzaki.
"Beneran mirip!"
"Mana abangnya sekarang?"
"Itu ada di belakang, di toilet."
"Nanti saja ke sana. Kita makan ini dulu."
Bergantian pelanggan yang lain masuk ke dalam toilet saat melihat Alzaki yang mulai mengepel lantai. Ia mendongak tersenyum. Mereka seakan terpana.
Ganteng banget! Batin mereka.
Selain makanan di resto jepang yang ia bekerja enak dan terjamin kebersihannya, ia sendiri tambah laris manis dikerubungi gadis-gadis. Sang bos hanya bisa melongo. Dia akui memang karyawan barunya itu memang tampan.
"Ah, meri aku..." ujar Fajar, iri melihat Alzaki dikerubungi para gadis.
"Yah, enggak apa-apa toh? Dia memang ganteng. Tapi, dengan ini, resto kita tambah ramai," ujar sang bos lagi.
"Iya, resto kita tambah laris manis," tambah Dita.