Sinar matahari sudah lama menampakkan sinarnya. Sinarnya bukan menampakkan sinar di pagi. Melainkan menampakkan sinar nan terik yang menandakan hari bercampur langit yang ikut berubah oranye, menandakan hari sudah sore. Matahari dengan percaya diri menampakkan sinarnya yang panas. Sinarnya menyinari seluruh dunia. Salah satunya di kota, yang masing termasuk Kota Cyborc, tepatnya kota yang sering dikunjungi para pelajar yang mana ingin menempa ilmu di sana. Di sana pula, salah satu kawasan perumahan yang sekian banyaknya kawasan kompleks perumahan elit dan mewah. Di salah satu rumah, bertingkat dua, di antara tiga jendela yang di sampingnya ada balkon khusus tempat menjemur pakaian, di kamar yang jendelanya masih tertutup beserta gordennya, di dalam kamar, disertai nyalanya AC yang dingin, ada sosok cowok ganteng masih terbuai dalam mimpi. Dengan mengenakan kaos polos, ia terbaring sembari memeluk guling. Dengan posisi kebanyakan para cowok kalau sedang tidur pulas. Selimut berantakan di sisinya. Biarpun tidurnya pulas begitu, jangan tanya kamarnya selalu bersih. Tak seperti kamar cowok pada umumnya. Ya, sebut saja cowok ganteng kayak oppa boyband korea tersebut bernama Erza Alzaki. Biasanya, sebelum ia beranjak tidur, seperti biasa, menyetel alarm untuk bangun. Namun, kali ini, ia tak menyalakannya karena hari ini adalah hari bebasnya atau hari di mana hari terakhirnya ia bersekolah. Matanya terbuka, masih dalam keadaan terbaring, mencoba mengumpulkan nyawa.
"Uuh... Sekarang jam berapa?" katanya, mengusap mukanya. Tangannya meraba meja di samping kasurnya, meraih handpone. Melihat layar yang menunjukkan pukul 04.30. "Masih ada waktu untuk berangkat-hoaam!" Meletakkan handpone-nya kembali ke meja. Setelah cukup mengumpulkan nyawa, ia bangkit dari kasur, berjalan menuju kamar mandi. Melakukan aktivitas pembersihan diri. Beberapa menit, keluar dengan handuk melilit di pinggangnya. Menghampiri lemari dan mengganti pakaiannya. Soal penampilan, Alzaki memiliki gaya sendiri. Ia lebih suka dengan tampilan kesederhanaan namun terkesan sopan. Selesai mengganti baju, yang baju itu baju kelas jurusannya, dan celana jeans berwarna biru tua, menyisiri rambutnya yang tak basah. Ia beranjak keluar dari kamar dengan mencangklong tas, menuruni tangga menuju ruang makan. Ruang makan di rumah mewah tersebut terpisah dengan dapur. Melihat sekelilingnya sepi termasuk ruang makan itu. Seorang wanita tua dengan pakaian sederhana keluar dari dapur sehabis membuang sampah dari luar rumah. Mengetahui tuan mudanya sudah terbangun dan berpakaian rapi sudah akan duduk di kursi.
"Eh, Mas Erza sudah bangun."
"Sudah, Mbok." Alzaki kembali menatap sekeliling."Pada ke mana yang lain?" tanyanya.
"Ibu, bapak sama adik Mas Erza sudah keluar dari tadi siamg," jawab Mbok Inah, pembantunya.
"Tante Anna sama Om Albert?"
"Ibu Anna sama Pak Albert juga keluar."
Alzaki tidak menjawab lagi. Ia sudah hapal, setiap hari Sabtu, yang akan menginjak hari libur, orangtuanya seperti biasa, mereka akan sibuk bekerja. Keduanya adalah seorang pembisnis yang terkenal sukses. Setiap ada hari libur, menyempatkan waktu luang di rumah. Dan, adik laki-lakinya, Aldo, yang empat tahun masih di bawahnya ikut keduanya. Karena terbiasa hidup mewah, dirinya sudah terbiasa. Apalagi ditinggal pergi bekerja oleh kedua orangtuanya. Mereka berdua di rumah hanya ditemani Mbok Inah dan Mas Jaka, sang supir pribadi.
"Saya siapin dulu, ya, makanan buat Mas Erza," ujar Mbok Inah, beranjak ke arah dapur, menyiapkan makanan untuknya.
Alzaki duduk. Menunggu sarapannya bukan, makanan siangnya disiapkan. Bi Inah kembali dengan membawa nampan di atasnya ada sepiring nasi goreng dan segelas susu. Menghampiri meja, meletakknya satu per satu di atas meja."Silakan dimakan, Mas. Maaf, hanya ini Mbok Inah masak. Tapi, kalau Mas Erza mau makan yang lain, nanti bilang, ya. Nanti Mbok Inah bikinin."
"Oh, ya, Mbok. Ini saja sudah cukup." Alzaki menyiduk nasi sesendok, melahapnya.
Mbok Inah kembali ke dapur. Kembali mengerjakan pekerjaannya. Hanya ia sendirian di ruang makan itu. Melahap nasi goreng yang sudah dingin. Di sela santapannya, handpone-nya berdering. Alzaki menghentikan acara makannya. Merogoh tas, meraih benda pipih itu. Ada panggilan dari teman sekampusnya.
"Ya, apa?"
"Kamu jadi ke kampus, kan?"
"Jadi."
"Anak-anak sudah pada ngumpul nih. Tinggal kamu yang belum hadir. Eh, kamu molor, ya?"
"Hmm. Nanti aku berangkat." Mematikan sambungannya. Melanjutkan makannya.
**
"Mas Erza enggak mau dianterin, nih?" tanya Mas Jaka padanya saat ia keluar menghampiri garasi. Di mana semua kendaraan mewah berkumpul di situ.
Alzaki menggeleng.
"Enggak usah, Mas. Saya berangkat sendiri. Sudah ditungguin soalnya."
"Ditungguin sama pacarnya Den Erza, ya?" goda Kang Jaka, yang mengelap kaca mobil depan menggunakan lap bersih. Menyemprotkan cairan pembersih khusus kaca mobil berulang kali.
Alzaki tersenyum."Mas Jaka bisa aja. Enggaklah," katanya.
"Siapa tahu, Mas. Kan, Mas Erza ganteng. Pasti banyak cewek kesengsem sama Mas Erza."
Kesengsem katanya? Wow, memang, jika dipikir lebih dalam, ia mengakui jika dirinya memiliki wajah tampan. Memang keturunan dari gen sang ibu, karena ibunya sudah cantik dari kecil. Yang membedakannya hanya sifatnya yang selalu loyal. Apalagi terhadap kedua pembantunya yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Bi Inah, seorang wanita paruh baya yang hidupnya tinggal di desa. Memiliki anak yang seumuran dengannya namun sudah menikah dan memiliki keluarga sementara Kang Jaka, seorang pria yang umurnya di atasnya, masih bujang dan hidupnya senderhana.
Alzaki meraih helm, memakaikannya di kepalanya. Setelahnya, menaiki sepeda melayang-nya, menyalakannya suara deru mesin tercipta."Saya pergi dulu, ya, Mas!" pamitnya, mengegas pelan keluar dari garasi.
"Iya, Mas. Hati-hati!"
Ia berbelok keluar dari pagar ke arah jalan. Melewati rumah-rumah elit, dan keluar tepat robot satpam akan bersiap memeriksanya. Berhenti di depan robot satpam. Robot satpam mirip telur itu memeriksanya dari atas ke bawah. Memastikan dirinya membawa semacam barang aneh dan mencurigakan. Selanjutnya mendeteksi menggunakan sensor wajah, memastikan dirinya penghuni perumahan.
"Selesai," kata robot satpam."Silakan melanjutkan aktivitas Anda."
"Terima kasih." Alzaki kembali melajukan sepeda melayang-nya keluar dari wilayah kompleks perumahan. Melesat menuju arah kampus yang setengah jam dari arah rumah. Dengan santai, karena dirinya yang sudah menyelesaikan skripsi yang membuatnya harus berperang, ternyata, skripsinya sudah diterima dan selanjutnya berperang melawan sidang. Dua perang sudah dikalahkanya, akhirnya membuahkan hasil. Sekarang hanya menunggu wisuda. Karena Alzaki termasuk mahasiswa rajin dan tidak pernah membolos. Dulu, sewaktu pertama kali masuk universitas, yang universitas itu dikatakan berstatus swasta, saat sang dosen memberikan tugas, ia secepat mungkin mengerjakannya. Waktu luangnya dipergunakan untuk mencicil tugas. Walau ia pernah gagal dalam tes masuk ke universitas negeri di kotanya karena perintah sang ayah yang sangat getol menginginkan anaknya bisa masuk ke universitas bergengsi. Alzaki, termasuk pemuda yang cerdas dan tidak pernah macam-macam. Apa itu hal meminta hal macam-macam. Ia didik dengan cara mandiri. Seperti anak diajarkan oleh orangtuanya mandiri. Alhasil, lihatlah sekarang. Menyusuri setiap jalanan. Berhenti di pertigaan, seperti biasa, menunggu lampu lalu lintas awalnya merah berubah menjadi hijau. Berhenti di samping mobil melayang berwarna putih. Di balik kaca, ada seorang gadis tampak menyetir menoleh ke arahnya tersenyum.
Di balik helm, ia dengan tampang datar hanya membalas dengan anggukan.
Lampu yang awalnya berwarna merah, berubah menjadi warna hijau. Menandakan semua kendaraan dapat melaju kembali. Alzaki mengegas kembali sepeda melayang-nya. Melaju dengan pelan. Tanpa terasa, setengah jam, gedung bertingkat empat terlihat. Tampak Membelokkan sepeda melayang-nya ke arah belakang kampus. Di sana terhubung area parkir dalam. Tampak banyaknya mahasiswa maupun mahasiswi yang hadir. Alzaki memakirkan di area parkir khusus sepeda melayang. Masih ada tempat kosong untuknya, berbelok, menghentikan sepeda melayang-nya. Melepas helm, mencabut kunci dari lubangnya. Dari arah aula kampus, terdengar suara seperti acara penyambutan. Yah, di kampusnya, Universitas Elit, universitas yang didirikan di Kota Cyborc. Sedang mengadakan acara yang memperingati acara ulang tahun kampusnya yang ke 21 tahun. Sebagai mahasiswa senior dan mahasiswa akhir, mau tak mau ia wajib turut hadir. Sebelum menuju acara, ia bergegas menuju kelasnya di jurusan khusus jurusan Komputer Teknologi. Sambil mencari kelasnya, mahasiswa dan mahasiswi duduk seraya bersantai di pinggir kelas. Bahkan, ada yang yang sempat-sempatnya berpacaran. Alzaki melihatnya hanya cuek. Setelah menemukan kelasnya yang berada di ujung, masuk. Di dalam ruangan, teman-teman jurusannya yang kebanyakan diisi kaum hawa, melihat kehadirannya.
"Kamu baru datang, Za?"
"Ya. Kalian enggak lihat ke panggung?"
"Males. Masih acara penyambutan. Mungkin sebentar lagi."
"Absen dulu, gih!" ujar temannya."Kalau enggak absen, wali dosen kita nanyain lho."
Alzaki menurut, menghampiri meja dosen. Tampak beberapa temannya sedang mengisi absensi di buku beralaskan map putih. Gantian ia mengisi absen.
"Tinggal menunggu acaranya, deh."
"Memang acaranya sampai kapan?"
"Mungkin sampai malam. Katanya, pihak kampus mengundang salah satu band rock terkenal di sini. Eklusif! Entar nonton, ah..."
Alzaki tidak menanggapi, menghampiri kursinya. Duduk, membuka tasnya. Muncul di handpone-nya seperti notifikasi masuk.
Ting!
Ia membukanya, membaca notifikasinya.
Za, nanti mama pulang sampai malam. Nanti kamu cepat pulang, ya.
Alzaki akan membalas, tidak jadi karena di sela temannya yang menggeser kursi, duduk di sampingnya seraya menyantap roti yang dibawanya."Hayo, Erza, chat-chatan sama siapa itu?"
Erza mliriknya."Bukan sama siapa-siapa, kok."
"Kalau bukan sama siapa-siapa? Sama siapa, dong? Sama dhemit?"
"Chat dari mama."
"Oh," kata teman yang menjadi teman sebangkunya itu."Masa Zra, kamu dari masuk sama lulus di kampus ini enggak ada cewek yang kamu taksir?"
"Enggak ada."
"Padahal kamu itu lho banyak yang naksir."
"Aku mana peduli yang begituan, Don, aku mah fokus sama kuliah. Itu saja aku sudah janji sama mama. Kalau di sini tuh aku belajar, bukan pacaran," kata Alzaki, mengetikan balasan."Apa ada cewek yang kamu taksir." Bertanya balik.
"Boro-boro ada, aku sih ada yang naksir. Tapi cewek di jurusan lain."
"Oh, ya? Siapa?"
"Itu si Lila yang mukanya kayak si Lissa Black Pink..."
"Lila? Lila yang mana?"
"Adeh, masa kagak tahu kamu? Ada pokoknya. Dia mah capek, banyak yang naksir."
"Kamu sudah nyatain perasaan ke dia?"
"Belumlah. Aku mah mana berani!"
"Tapi kok kamu tahu dia cakep?"
"Tahulah dari anak-anak jurusan Ekonomi sama jurusan Pertanian. Tuh, banyak yang tahu siapa si Lila... Eh, ngomong-ngomong kamu juga suka sama dia?"
"Aku enggak tahu mana si Lila itu. Baru tahu sekarang."
"Yee, kamu mah ketinggalan berita. Makanya, jangan ngurek di dalam kelas aja. Keluar gih. Ke kantin atau nongkrong ke taman bareng anak-anak."
"Males aku," kata Alzaki, menutup chat-nya. Membuka Twitter. Bukan untuk bersapa ria, melainkan membaca berita.