“Aku bawa minuman enak.”
Mendengar teguran Jun Su yang baru pulang, Seol Hee pun tersenyum riang dengan perut yang cukup besar. Dengan susah payah ia bangun dari duduknya dan segera Jun Su membantunya. Usai duduk nyaman di meja makan, Jun Su mengeluarkan dua gelas cokelat hangat dan sepaket ayam karamel pedas hingga membuat kedua bola mata Seol Hee membesar karena kesenangan.
“Karena belum boleh minum jadi, aku beli cokelat hangat di kafe kesukaanmu. Dan ini ayam favoritmu.”
Lagi, Seol Hee tersenyum dan mulai menikmati ayamya bersama Jun Su.
“Sudah sebesar itu kenapa masih harus bekerja?”
“Aku harus menghasilkan uang,” sahut Seol Hee disela kunyahannya, “aku telah menghancurkan pernikahanmu dan merebut kebahagiaanmu dengan Yu Mi. Gara-gara aku, kau tidak bisa hidup diam. Tapi, tenang, setelah kau yakin ini anakmu, kau bisa daftarkan namamu di aktanya dan tinggalkan saja aku sendiri. Aku baik-baik saja, aku menahanmu hanya untuk akta itu jadi, jangan terlalu khawa…”
“Bagaimana kau bisa berbicara dengan ringan sementara kau membiarkanku melihat kesulitanmu selama mengandung?” tanya Junsu.
"Oh! Aku… akh!"
“Kenapa?”
Jun Su yang panik pun langsung beranjak dan menyentuh perut besar Seol Hee yang membuatnya tiba-tiba memekik.
“Tidak. Hehe…terkadang dia bergerak dan aku terkejut.”
Diam, Jun Su hanya terpaku berjongkok di sisi Seol Hee dengan tangan di atas perutnya. Dengan kening berkerut Seol Hee menatap Jun Su yang tiba-tiba terdiam.
“Dia…bergerak. Dia hidup dengan baik,” bisik pelan Jun Su.
Sebulir air mata yang tiba-tiba jatuh membasahi punggung tangannya membuat Jun Su menatap Seol Hee yang tersenyum dengan air mata berlinang.
“Aku…tidak boleh meminta lebih. Karena kau pun memiliki kehidupan sendiri. Mungkin mereka nanti akan iri melihat teman yang di jemput Ayahnya sepulang sekolah tapi, aku sudah berjanji tidak akan meminta lebih karena ini murni kecelakaan. Dan akan lebih sedih karena aku tahu kau sepupu Chang Yi, kekasihku. Aku tidak tahu harus bagaimana jika kelak tidak ada lagi kehidupan di dunia untukku. Aku tidak bisa menahan malu jika Chang Yi nanti menemuiku. Dan, aku juga tidak mau kau terpaksa menerima mereka dan merasa tidak nyaman karena harus bertanggung jawab ja…”
“Mereka? Apa ada dua anak di dalam tempat ini?”
Hanya senyum yang ditunjukkan Seol Hee dan bagi Jun Su itu sebuah jawaban yang membuat hatinya terasa sakit. Dia tertunduk dengan tangan kiri yang mengepal di belakang kursi yang Seol Hee duduki bersama dengan isak pelan wanita yang tengah ia pegang perutnya.
“Bisa, Kak. Terima kasih,” ucap Seol Hee tulus.
Sung Hyun hanya tersenyum karena senang membantu Seol Hee yang selalu tampak kesulitan sepulang bekerja.
“Jadi, kau benar-benar tidak akan menikah dengannya?”
“Hmm,” jawab Seol Hee sambil mengangguk pelan lalu menyeruput tehnya, “kakak sudah tahu semua ceritanya dan semuanya sudah jelas.”
“Sulit merawat dua anak sekaligus apalagi kau harus bekerja.”
“Ya, sangat sulit.”
“Orangtuamu sudah tahu?”
“Sudah. Mereka menyuruhku pulang tapi, aku tidak yakin bisa pulang dengan waktu mendekati hari kelahiran. Akan sangat sulit untukku. Dan aku juga tidak ingin menyusahkan Jun Su lebih jauh lagi. Dia mau menunggu dengan sabar sampai mereka lahir pun saya sangat bersyukur.”
“Kurasa kalian harus menikah. Tidak mungkin tidak ada rasa setelah semua yang kalian lewati bersama selama tujuh bulan terakhir.”
“Aku benar-benar tidak ingin menyusahkannya, Kak.”
“Tapi, dia Ayah anak-anak ini. Sangat tidak bertanggung jawab jika dia tidak menikahimu.”
“Aku yang tidak mau, Kak.”
“Jangan egois. Pikirkan untuk kebahagiaan anak-anakmu.”
“Mereka mungkin bahagia memiliki Ayah. Dan aku bahagia memiliki mereka. Tapi, apa Jun Su bahagia memiliki kami?”
“Kalau tidak mencoba mana ada yang ta…”
“ Kak Sunghyun !”
Seruan gadis dari kejauhan dan lambaiannya membuat mereka harus memutuskan pembicaraan. Sung Hyun pun mengkode untuk pergi lebih dulu dan Seol Hee yang kini sendiri hanya menghela nafas pelan sambil menatap langit tanpa bintang.
“Bintangnya tidak ada tapi, bulannya terlihat begitu cantik bulat sempurna walaupun sedikit awan menutupinya.”
Tersentak, Seol Hee pun menatap Jun Su yang telah duduk di sisinya dengan senyum riang.
“Apa? Aku datang menjemputmu.”
"Chi San?" tanya Seol Hee bingung.
“Sudah pulang. Mulai malam ini aku yang akan menjemputmu.”
“Kenapa tiba-tiba?” tanya Seol Hee dengan tatapan curiga.
“Kalau kau ingin jujur, untuk sekarang hanya ingin,” sahut Jun Su sambil berdiri, “ayo, kita pulang,” sambil menyodorkan tangan.
Seol Hee hanya tersenyum geli dan meraih tangan Jun Su yang kemudian menggenggam erat tangannya.
“Jalan pelan saja. Aku parkir agak jauh tadi. Tidak apa?” tanya Jun Su tak nyaman.
“Tidak apa. Tadi sudah duduk cukup lama.”
“Hari ini banyak pasien? Apa ada mual?”
Lagi, Seol Hee tersenyum sambil menggeleng pelan.
“Tidak, aku baik-baik saja, hanya sedikit nyeri di bagian kaki. Mungkin karena berat badanku juga naik banyak.”
“Haaa…”
Jun Su hanya menghela nafas pelan dan menaikkan tangan Seol Hee agar menggandeng lengannya.
“Kalau seperti ini, seperti orang yang berjalan di altar, kan?”
Untuk kesekian kali Seol Hee tersenyum geli mendengar celoteh Jun Su.
“Aku… tidak sama dengan Chang Yi yang selalu berceloteh asal sesukanya. Bukan juga orang yang berani mengungkapkan perasaannya. Bukan orang yang bisa memanjakan. Bukan orang yang pintar berteman. Sejak kecil aku suka menyendiri. Makanya orang selalu bilang kalau aku, ' Ho Jun Chan ',” jelas Jun Su seraya tersenyum geli.
“ Chan ? Dingin?”
"Eung."
“Karena kau dingin dan jarang berbicara?”
"Ya."
“Tapi, aku tidak melihatnya seperti itu. Bukan dingin tapi, lebih malas untuk berbasa-basi.”
“Aku bisa terlihat sangat menyenangkan bersama orang yang kusukai,” sahut Jun Su sambil menatap Seol Hee yang sudah tersenyum penuh tanya.
"Hmm?"
“Hmm. Hmm. Haha…” jawab Jun Su sambil mengangguk pelan dan kemudian tertawa kecil.
“Haha…kau menyukai Chang Yi?” tanya Seol Hee riang.
“Iya. Dan saya menyukai semua orang yang menyukainya.”
“Termasuk aku?”
"Apa?" tanya Junsu.
“Kau menyukaiku sebagai temanmu?”
Seketika Jun Su tersenyum dan hampir tertawa karena mendengar pertanyaan Seol Hee namun, dia menahannya. Dia membukakan pintu mobil lalu, masuk ke kursi kemudi. Dia memasangkan sabuk pengaman Seol Hee sebelum merawat dirinya sendiri dan melaju pelan.
“Pasti Yu Mi merasa sangat sakit karena ditinggal pria baik sepertimu,” ujar Seol Hee sambil memandangi ke luar jendela.
“Dia merasa beruntung karena lepas dariku.”
Seketika Seol Hee melihatnya tapi, dia hanya tersenyum dan membuat Seol Hee merengut sebelum akhirnya kembali memandangi suasana malam.
“Saya melihat beberapa kali dia menginap bersama berbagai macam pria. Setelah aku selidiki dia bukan orang yang kekurangan uang atau kasih sayang. Dia hanya ingin bersenang-senang bersama mereka sebelum menikah. Aku hampir gila karena berusaha menerimanya. Karena hal itu aku terus mabuk-mabukan sepulang kerja dan kalau aku dalam keadaan seperti itu kau tidak mungkin menolakku, kan?”
Sekali lagi, Seol Hee melihatnya dan kali ini begitu dalam. Raut Seol Hee datar mencoba mencerna setiap ucapan Jun Su yang terdengar ringan menceritakan masalahnya.
“Jadi, aku pelampiasanmu?” tanya Seol Hee pelemah.
Segera, Jun Su menepikan mobilnya dan melepas sabuk pengamannya. Ia mengatur duduk dan menatap Seol Hee yang masih melihatnya tanpa ekspresi.
“Kau ingin aku jujur atau bohong?”
“Bohong. Aku harus waras. Setidaknya sampai mereka lahir,” sahut Seol Hee.
“Iya. Kau pelampiasanku. Ayo, pulang. Aku lapar. Kau yang masak atau aku?” goda Junsu.
“Terserah. Aku hanya mau tidur sekarang.”
“Mau aku pijat?” tanya Jun Su sambil mengenakan kembali sabuk pengamannya.
“Sejak kapan kita sekamar?” omel Seol Hee setelah Jun Susu menjalankan mobilnya lagi.
“Mulai malam ini.”
“Tidaaak…”
"Ha ha ha…"
Dan setelah kesedihan , selalu ada kebahagiaan . Bagaimana semua kejadian itu terlewati setelah dua tahun belakangan ini …
“Tenanglah. Dia akan baik-baik saja,” ujar Seol Hyuk menenangkan Sang Ibu, Seo Mi Hi.
“Bagaimana Ibu bisa tenang? Kakakmu sudah hampir satu jam lebih, apa yang mereka lakukan?”
“Tenanglah dan doakan saja dia,” kata Sang Kepala Keluarga, Cha Hong Suk.
“Bibi, silahkan minum,” kata Sae Rin sambil menyerahkan segelas teh hangat.
“Terima kasih,” sahut Mi Hi ramah, “tapi, di mana Jun Su?”
“Dia masuk ke dalam ruang operasi, Bi.”
“Sae Rin, kenapa mereka begitu lama? Ibu juga khawatir?” tanya Song Ye Rim.
“Tenanglah, Bu. Semua akan baik. Saya yakin mereka akan ba…”
“Mereka keluar!” seru Jun Ho riang.
Ada hal yang selalu membuat manusia khawatir . Pertama , dilupakan . Kedua , kalah . Dan ketiga , ditinggalkan …
“Sudah gelap di luar?” bisik Seol Hee yang tengah memandangi langit malam dari balik tirai tipis ruang perawatannya.
Jun Su yang baru keluar dari kamar mandi pun tampak terkejut saat mendapati Seol Hee yang terlihat sedang berusaha untuk duduk. Bergegas ia menghampiri dan membantunya yang masih begitu kesakitan karena bekas jahitan di perutnya.
“Hei, minta tolong kalau mau apa-apa,” omel Jun Su.
Mendengar omelannya, Seol Hee hanya melirik sinis dan membuat Jun Su tersenyum penuh rasa bersalah.
“Aku takut kamu kenapa-kenapa,” ujar Jun Su melemah.
“Jadi, di mana yang lain?” tanya Seol Hee usai melihat sekeliling.
“Sudah pulang ke apartemenku bersama anak-anak. Kau mau makan?” tanya Junsu.
“Kau sudah makan?”
“Belum. Tapi, aku sudah memesan makanan dan sudah tiba saat kau tidur. Kenapa?”
“Aku tidak mau makan sendirian.”
Segera, Jun Su menata meja di atas tempat tidur Seol Hee dan mulai makan santai setelah mengatur duduk dengan nyaman di tempat tidur.
“Hasil DNA-nya sudah ada?” tanya Seol Hee disela kunyahannya.
“Hmm, sudah,” sahut Jun Su usai menelan makanannya.
“Apa mereka bermarga Ho?”
“Iya. Sudah pasti.”
“Kalau begitu ini makan malam terakhir kita,” ucap Seol Hee.
Jun Su yang baru akan menyuapkan supnya pun langsung terhenti dan perlahan meletakkan sendoknya. Dia pergi dari sisinya dan meraih tasnya. Dikeluarkannya sebuah amplop cokelat dan seberkas kertas yang terlipat rapi di dalamnya. Dia kembali duduk dan menyerahkan kertas tersebut pada Seol Hee yang langsung menyambutnya.
“Di sana tertulis 99,9% mereka anakku. Dan kau Ibunya. Dan sekarang kau mengatakan kalau ini makan malam terakhir kita. Bagaimana kau bisa memikirkan hal seberat itu DENGAN GAMPANG?!!”
Seketika Seol Hee terbelalak usai mendengar Jun Su berteriak di akhir kalimatnya. Kedua mata Jun Su yang kini tampak tajam memerah dan perlahan menampung begitu banyak air mata di pelupuknya. Namun, sedetik kemudian Seol Hee bergerak biasa dan melanjutkan makannya hingga membuat Jun Su mengalihkan pandangan. Hanya sekali kedipan dan sebulir air mata jatuh membasahi kedua pipinya.
“Lanjutkan makanmu. Saya lelah. Aku ingin istirahat sekarang,” ujar Jun Su usai mengusap air matanya dan langsung membereskan makanannya.
Sementara itu, Seol Hee tetap diam dan mengunyah makanannya dengan santai tapi, sedikitpun dia tidak ingin pandangan mereka bertemu. Dan jam berlalu, malam semakin larut, Jun Su tampak terlelap di sofa dan meringkuk di balik selimutnya yang sedikit terbuka. Seol Hee hanya menghela nafas pelan sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi. Dia duduk di atas meja dan memandangi sisi wajah Jun Su yang tertidur membelakanginya.
“Apa bisa bersama dengan orang yang bahkan tidak bisa kau anggap sebagai apapun?” bisik Seol Hee sembari membetulkan selimut Jun Su.
“Bisa.”
Sahutan itu membuat Seol Hee terbelalak dan Jun Su pun langsung bangun dari tidurnya. Dia duduk menghadap Seol Hee yang masih sangat kaget dan hanya bisa mengerjap dengan cepat sejenak.
“Apa boleh saya bertanya?” tanya Junsu.
"Apa?" ucap Seol Hee sambil menunduk.
“Sedikit saja, apa ada ruang di hatimu untuk mengukir namaku?”
Terdengar Seol Hee mendesah pelan sebelum kemudian melihatnya kembali. Dia mengarahkan telunjuk kanannya ke dada Jun Su yang membuat keningnya berkerut.
“Di sini, apa ada ruang hatimu untuk mengukir namaku? Karena, kata orang membesarkan anak tidak bisa hanya dengan satu cinta, satu sayang, dan satu rindu,” ujar Seol Hee yang kemudian menurunkan telunjuknya, “apa kau bisa tetap mencintaiku di saat aku lelah? Apa kau bisa tetap membayangkanku di saat aku terlihat sangat buruk? Apa kau bisa tetap merindukanku saat jarak membatasi? Sebab dari sekian laki-laki yang pernah kutemui, baru Chang Yi yang mampu melakukannya dan menjaganya dengan baik. Apa bisa?”
“Kau ingin aku bohong atau jujur?” bisik Jun Su.
“Bohong,” sahut Seol Hee ragu.
“Aku akan jujur kali ini.”
“Untuk apa kau bertanya kalau kau sendiri yang memilih?” omel Seol Hee.
“Karena aku ingin kau selalu sehat dan bahagia.”
“Jadi…kau akan tetap jujur?”
“Iya, aku akan jujur dan menjadi egois kali ini.”
“Ba, baik. Lakukan,” sahut Seol Hee.
“Hari di mana Chang Yi berpura-pura memutuskan hubungan kalian, Kak Sae Rin mengirimiku foto rambutmu yang diwarnainya. Dan untuk pertama kali, aku yang begitu menghindari wanita, merasa kecewa hanya karena melihat warna rambut dan terbayang kulit putihmu. Debaran itu semakin terasa saat kau tiba di depan pintu apartemenku, bahkan Chang Yi pun tak sempat melihat betapa keindahannya benar-benar ada di depan mataku. Pikiranku kacau, bagaimana mungkin gadis yang sangat tidak tahu bagaimana berdandan bisa berubah sangat bersinar hanya dengan warna rambut yang mencolok. Dan setiap hari aku berusaha menjagamu agar tidak tersakiti.”
“Kau bohong,” sahut Seol Hee.
“Hatiku sakit saat mengetahui aku gagal menjaga Chang Yi namun, aku lebih sakit saat Chang Yi mengatakan pesan terakhirnya.”
"Apa?"
“Dia memaksaku untuk mengganti posisi di sisimu. Berat, karena antara terpaksa dan aku benci seolah aku hanya benda yang dibuat untuk menyenangkan mereka. Tapi, melihatmu membenciku dan sangat, sangat menghindariku, ternyata lebih menyakitkan dari yang kurasa. Melihatmu menangis tanpa henti, aku pun melakukannya tanpa henti. Aku mengambil cuti untuk tugas akhir selama satu semester untuk menyembuhkan mataku.”
“Kenapa?” tanya Seol Hee dengan kening berkerut, “oh! Kacamata…”
“Hmm,” jawab Jun Su sambil mengangguk pelan, “aku hampir kehilangan penglihatanku karena menangis tanpa henti. Saya menyesali bagaimana saya menyetujui ide Chang Yi yang tidak ingin keluarganya tahu tentang rencana operasinya meskipun saya tahu, kemungkinan berhasilnya hanya sedikit. Saya mohon maaf karena tidak bisa sepenuhnya menjelaskan kepada Anda yang juga merasa sakit tentang hal ini. Dan Yu Mi…”
“Yu Mi yang telah mendampingimu?” tanya Seol Hee lemah.
“Iya, dia datang dan mendampingiku selama tiga bulan pertama. Dia teman yang kukenal sejak di bangku kuliah. Dia baik, perhatian dan penuh kasih. Namun, di balik itu dia memiliki kebiasaan yang membuatku mungkin harus belajar menerimanya karena cinta,” jelas Jun Su yang kemudian tersenyum sinis, “bodoh? ya. Karena aku benar-benar menolak untuk menjalankan amanat terakhir Chang Yi. Aku tetap bersikeras ingin menikahinya tapi, aku juga ragu pernikahan kami akan berjalan sehat. Makanya, saya yang sudah tahu tempat tinggalmu sengaja datang dalam kondisi mabuk untuk melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan.”
“Apa yang Anda rasakan nyaman saat melakukannya?”
“Munafik jika aku mengatakan kalau itu tidak nyaman di saat kau sendiri tidak melawanku,” sahut Jun Su yang kembali tersenyum sinis, “kau selalu menerimaku. Seakan hal itu untuk menyenangkanku dan jadi kebiasaan pada akhirnya.”
“Kau tidak pernah bertanya kenapa aku tidak pernah melawan saat kau melakukannya?”
“Kenapa?” tanya Jun Su yang berusaha menyembunyikan rasa penasaran.
“Detik di mana untuk pertama kalinya kita bertemu sejak empat tahun kalian tinggal di Seoul. Ada debaran tak wajar yang seharusnya tidak saya selipkan sebab, saya tahu, saya milik Chang Yi.”
Dan ada masa di mana bahkan sedikit sentuhan pun bisa merasakan sebuah efek kupu - kupu di dalam perut . Rasa itu , takdir itu , Tuhanlah yang menciptakan . Waktu , tempat dan makhluk yang singgah itu hanya perantara …
Berproses itu Langkah yang Tuhan ciptakan untuk manusia agar bisa mencapai keinginannya dengan benar …
“Kau sudah mengantar anak-anak ke sekolah dengan selamat?”
Tampak Jun Su kelelahan dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa sementara, Seol He masih terlihat sangat sibuk dengan semua piring cucian serta baju yang menumpuk. Sejenak, Jun Su menghela napas lalu beranjak membantu Seol Hee sebelum kemudian melangkah keluar membuang sampah dan kembali dalam beberapa menit. Datang di mana Seol Hee bisa menikmati waktunya sebelum benar-benar membersihkan diri.
“Saya sudah tampungkan air panasnya. Kau bisa berendam setelah ini,” ujar Jun Su usai keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah.
“Iya. Terima kasih,” sahut Seol Hee malas-malasan.
“Berbaliklah, biar aku pijat sebentar.”
Tanpa perlawanan keras, Seol Hee pun memunggungi Jun Su yang sudah duduk di belakangnya. Dia memejam menikmati pijatan Jun Su yang memberikan pelayanan yang sangat nyaman.
“Kau benar-benar tidak perlu orang untuk membantumu?” tanya Jun Su disela pijatannya.
“Tidak. Mungkin saya terlalu banyak menonton drama tapi, saya tidak ingin rumah ini hancur hanya karena masalah puber keduamu. Biarkan anak-anak tumbuh besar dengan baik dulu. Setelah itu kau bisa pergi.”
“Kenapa kau selalu berusaha mengusirku, bahkan setelah tujuh tahun kita bersama? Apa kau masih tidak yakin padaku?”
“Aku hanya ingin kau bebas. Yang penting kau pulang ke rumah demi Min Gyu dan Min Hee. Sampai detik ini pun aku masih tidak berani meminta lebih padamu.”
“Itu alasan kau masih bekerja sampai sekarang walaupun kita sudah memiliki rumah sendiri?”
“Aku mau mandi,” ujar Seol Hee yang kemudian beranjak.
“Hei, berhentilah menyetop pembicaraan tanpa solusi seperti ini,” omel Jun Su yang dibayai bantingan pintu kamar mandi dari Seol Hee yang tidak peduli.
Itu kenapa orang bilang , pertengkaran adalah bumbu dalam rumah tangga …
“Ayah tidak tidur bersama Ibu lagi?” tanya Min Gyu dengan suara kecilnya.
“Ayah ada sedikit pekerjaan, Sayang. Tidurlah duluan. Nanti selesai bekerja Ayah akan masuk ke kamar. Selamat malam.”
“Setiap malam alasan Ayah selalu sama,” kata Min Hee menimpali.
Jun Su hanya tersenyum melihat sepasang malaikat kecilnya dan membetulkan selimut mereka dengan baik usai mengecup kening keduanya sebelum mematikan lampu lalu keluar dari kamar.
“YA TUHAN!”
Pekikan Jun Su yang baru menutup rapat pintu kamar anaknya pun tidak sama sekali mengubah ekspresi datar Seol Hee yang sudah berdiri dengan tangan terlipat di atas dada.
“Ikut aku,” perintahnya kemudian berlalu tanpa peduli akan keadaan Jun Su yang masih berdebar.
“Apa lagi yang akan kita debatkan tanpa solusi kali ini,” keluh Jun Su tibanya mereka di kamar utama.
Seol Hee tetap diam sampai mereka duduk berhadapan di atas terbungkus bersama berkas berkas.
“Kau benar-benar tidak akan berkhianat?” tanya Seol Hee ragu.
“Kita sudah menikah dan berjanji di depan Tuhan. Ayah bahkan membantu mengurus akta anak-anak agar mereka tetap bisa sekolah dengan lancar walaupun kau belum ingin pernikahan ini di daftarkan ke negara. Sudah sampai detik ini dan kau…”
“Karena berkurangnya cinta bukan di tahun ke tujuh. Namun, di saat anak-anak beranjak dewasa dan kita tidak punya waktu untuk lebih merasakan sayang. Kesibukanmu dan kesibukanku serta kegiatan anak-anak yang semakin banyak membuat kita lelah hingga kehilangan keinginan untuk melakukan hal yang seharusnya.”
“Haaa…kita bahkan belum pernah pacaran. Saya tahu ke mana arah pembicaraan ini.”
“Ya sudah, tidak ja…”
Hampir beranjak dan Jun Su pun langsung menarik tangannya hingga membuat ia kembali duduk, kali ini di pangkuan Jun Su.
“Kemarikan berkasnya aku akan tanda tangan. Kau benar-benar ingin pisah? Saya turuti.”
Kening Seol Hee berkerut mendengar omelan suaminya dan saat Jun Su berhasil membaca berkas yang telah dia bantah, dia hanya melirik Seol Hee yang terlihat tajam.
“Jadi, kamu benar-benar tidak ingin hidup bersamaku karena ma…kyaaa…”
“Ayo, buat adik untuk Min Gyu dan Min Hee.”
“Hei, kau bahkan belum tanda tangan,” teriak Seol Hee dibalik selimut yang ditarik Jun Su.
“Aku lakukan setelah ini.”
“Dasar psiko. Hei…hahaha…aku tidak mau. Tanda tangan du…kyaaa…”
Bahkan ingatan tentang masa lalu pun akan hilang saat kau bersama orang yang Tuhan pilihkan …
Dalam perjalanan ini , saya tidak pernah mengira kami akan bergandengan tangan di depan makam orang yang sama - sama kami cintai … 4 April 2034
“Duduklah di sini,” ujar Jun Su sambil memukul tikar kosong di sisinya.
"Apa?" tanya Seol Hee usai melakukan doanya.
“Berapa umur kita sekarang?”
“Kenapa kau sangat menyebalkan setiap kali kita mengunjungi Chang Yi?” omel Seol Hee.
“Jawab saja,” sahut Jun Su.
“42 tahun.”
“Sudah berapa tahun kita bersama?”
“Sejak kejadian itu…kurang lebih 18 tahun. Kenapa?”
“Kata orang, 20 tahun pernikahan itu masa puber seorang pria.”
“Haaa… sesukamu.”
Ada rasa geli yang tertahan setelah Jun Su melihat reaksi istrinya namun, dia tahan tawanya dengan berusaha memasang wajah datar.
“Aku belum menceritakan hal ini karena selalu lupa.”
“Kau selingkuh,” ujar Seol Hee yang langsung melihat dengan tatap menyelidik.
“Apa kau bisa melihat waktuku untuk mendampingi dan anak-anak saja kurang selama ini. Kalau ditambah selingkuh, apa tidak bikin bingung,” omel Jun Su.
“Jadi, apa?”
“Sebulan yang lalu aku bertemu Koo Moon Hye, Ibu Choi Yu Mi.”
Ada rasa tidak nyaman di dalam hati Seol Hee setelah Jun Su menyebut nama wanita yang selalu dia pikir sebagai saingannya. Namun, Jun Su yang peka langsung menggenggam erat tangan istrinya yang masih berusaha mengalihkan pandangan dan hanya fokus pada pemandangan sekitar makam yang tenang.
“Sekarang kita impas dan tidak ada yang perlu kau khawatirkan tentang Choi Yu Mi. Aku tahu sejak kekacauan yang dia buat sepulang kau dari rumah sakit, kau hampir ingin menghabisi nyawaku. Aku juga marah, aku murka. Tapi, mampukah kita berdua memaafkannya karena semalam aku melihatnya yang ingin segera kembali dengan benar.”
Kening Seol Hee berkerut dan wajahnya tampak memerah saat menatap lagi wajah Jun Su yang sudah tersenyum lembut penuh arti padanya.
“Dia mungkin menyakitimu dan juga aku tapi, setidaknya sedikit tentang kita yang tidak sempurna ini bisa membantunya beristirahat dengan nyaman.”
“Apa maksudmu?” tanya Seol Hee menahan amarahnya, “kau tahu dia hampir membunuh Min Gyu dan Min Hee dengan tas tangan yang dia lemparkan ke arahku.”
“Saya tahu, dan saya tidak memiliki maksud untuk membelanya. Tapi, aku hanya ingin kau memaafkan semua yang telah menyakitimu agar kita juga bisa hidup dengan nyaman.”
“Kau berselingkuh dengannya? Sudah kukakatakan kau boleh selingkuh tapi, jangan de…”
Segera Jun Su menarik Seol Hee ke dalam pelukannya saat air mata jatuh membasahi kedua pipi Sang Istri yang tiba-tiba mengamuk. Ada rasa sakit yang kembali ia rasakan setelah menyaksikan reaksi Seol Hee yang masih belum bisa menerima tentang apa yang akan ia jelaskan.
“Ya Tuhan, terima kasih. Terima kasih karena sudah membujuknya kemari. Aku mohon bantu aku, Nak. Setidaknya aku sudah ikhlas tentang hal ini.”
Sejenak, Seol Hee melirik Jun Su yang mengangguk pelan dan mengiringi Seol Hee yang sudah di gandeng wanita tua yang sudah menangis sejak mereka tiba di rumah mewah itu. Wanita itu membawa mereka ke lantai dua dan membawa mereka masuk ke ruangan yang sangat tenang lengkap dengan peralatan medis serta perawat pribadi. Dan pandangan tanpa ekspresi Seol Hee terfokus dengan sosok yang ia kenal sedang berbaring tanpa bisa melakukan apapun di hadapannya.
“Saya tidak tahu apa yang dia tunggu. Padahal aku sudah bilang padanya, tidak apa jika dia ingin ikut bersama Ayahnya yang sudah menunggu di sana. Tapi, detaknya yang lemah selama ini masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Sejak kecelakaan itu, dia selalu berbaring seperti ini dan bulan ini adalah bulan kesembilan dia tertidur tenang. Saya sampai memilih untuk mengeluarkannya dari rumah sakit karena dokter pun sudah menyerah.”
Isak Ibu dari sosok Choi Yu Mi yang kini terbaring tak sadarkan diri itu membuat Seol Hee merasa lemas dan membuat Jun Su langsung menyangganya. Jun Su memberi isyarat agar Ibu dari Yu Mi keluar dan memberi mereka tempat sebentar untuk menenangkan diri bersama Yu Mi.
“Duduklah,” ujar Jun Su setelah meletakkan kursi di sisi tambahan.
“Dia…”
Jun Su hanya mengangguk setelah melihat tatap Seol Hee yang telah duduk.
“Dia koma. Saat liburan bersama kekasihnya, rem mobil mereka tidak bekerja dengan baik dan gasnya tidak bisa diturunkan. Mereka menabrak pagar pembatas, terguling ke jurang. Kekasihnya meninggal di tempat dan Yu Mi, dia menderita patah tulang sangat parah, retak tengkorak kepala serta pendarahan otak. Dokter mengatakan kalau Yu Mi akan hidup seperti ini selamanya, hidup seperti putri tidur. Bahkan detik di mana kita tiba sekarang, belum ada tanda-tanda kehidupan darinya.”
“Lalu apa hubungannya dengan kita?” tanya Seol Hee yang hampir meninggikan suaranya.
Jun Su yang berdiri di belakangnya hanya mengusap pelan kedua pundak istrinya.
“Berikan ampunanmu padanya. Dia mungkin merasa berdosa tentang apa yang telah dia lakukan padaku selama pacaran dan juga padamu yang dia ketahui sangat berarti untukku.”
Segera, Seol Hee menoleh dan melihat Jun Su yang telah tersenyum tulus.
“Kita bantu dia kembali. Tidakkah kau selalu mengatakan pada Min Gyu dan Min Hee untuk memberikan hal baik kepada siapapun yang menyakiti mereka agar kelak di masa depan karma baik selalu menyertai langkah mereka. Jadi, inilah kesempatan kita untuk memberikan karma baik pada mereka walaupun rasa ikhlasnya hanya sedikit. Saya tahu ini sulit tapi…”
Penjelasan Jun Su terhenti saat menyaksikan Seol Hee genggaman erat tangan Yu Mi.
“Aku mungkin membencimu. Aku mungkin tidak ingin menemuimu karena aku selalu berpikir kau akan merebut kembali apa yang aku ambil. Walaupun aku tahu ini tidak sepenuhnya salahmu ataupun salahku. Ini Salah Jun Su yang sembarangan meniduriku untuk membalasmu.”
Sejenak, Jun Su melirik Sang Istri tak nyaman walau ada senyum geli yang ia tahan.
“Masalah itu sudah berlalu dan sekarang anak-anak itu telah tumbuh menjadi remaja yang hampir tidak bisa saya kendalikan. Mungkin dulu ada rasa sayang tulus yang sempat kau simpan di balik kebiasaan burukmu. Tapi, mendengarmu mendapatkan hal ini bersama kekasihmu, aku tahu, kau telah sepenuhnya melupakan kami walaupun aku juga tahu, masa lalu dan kaitan kita tidak mungkin kau lupakan begitu saja. Sama sepertiku yang sebelum ini pun masih mengingat bagaimana kau melempar tas itu ke anak-anakku.”
Ada perubahan suara di kalimat terakhir Seol Hee dan Jun Su pun langsung berjongkok di sisinya seraya mengusap pelan punggungnya.
“Aku…Cha Seol Hee meminta maaf untuk hal di masa lalu yang telah menyakitimu di hari bahagiamu. Jika karena menunggu hal ini kau jadi tidak bisa pulang. Saya meminta maaf untuk keegoisanku yang hampir membuatmu menderita.”
Isak Seol Hee yang perlahan terdengar pun membuat Jun Su ikut menggenggam tangan istrinya yang masih memegang tangan Yu Mi.
“Aku, Ho Jun Su. Choi Yu Mi, maaf atas tindakan bodohku yang membalasmu di masa lalu. Namun, kita berdua mungkin tidak berhasil menjadi kekasih, saya sangat berterima kasih atas pendampinganmu selama masa sedihku sebagai teman yang baik. Aku dengan tulus meminta maaf padamu. Jika mungkin ada yang benar-benar ingin Anda sampaikan, Anda tidak mampu. Tolong sampaikan saja dengan menjaga kami dari tempat terbaikmu setelah ini. Maaf dan terima kasih telah hidup dengan baik serta mengingat kami sebagai orang terakhir yang kau sayang.”
Dan detik di mana Jun Su memeluk Seol Hee yang semakin terisak, elektrokardiogram yang sempat berdetak itu pun menunjukkan garis lurus yang menandakan akhir dari pertarungan seorang Choi Yu Mi.
Rasa itu terulang kembali , rasa takut kehilangan yang dulu aku rasakan saat menghadapi keputusan dokter yang menyatakan tentang Ho Chang Yi . Rasa hancur tentang tingginya harapan dan tanggung jawab setelahnya . Untuk berdiri pun sulit saat itu namun , kini aku harus menjadi lebih kuat karena Seol Hee pun tidak mampu berdiri dengan kedua kakinya …