Jika boleh mengulang waktu , aku ingin lebih sering bersama dan memelukmu lebih erat … 01 April 2015
“Kau tidak ingin menikah?”
Tawa Seol Hee pun meledak mendengar pertanyaan Sung Hyun.
“Kenapa tertawa?” tanya Sung Hyun heran.
“Kak, kita masih sangat muda. Untuk apa memikirkan hal bodoh seperti itu,” sahut Seol Hee.
“Tapi, kau sudah 23 tahun. Eh…”
Seakan salah bicara, Seol Hee pun tersenyum dan mengusapi pundak Sung Hyun yang masih fokus pada jalan di depannya.
“Sudah kubilang kita masih muda. Banyak hal yang bisa kita coba. Saya baru saja akan lulus tahun ini. Bagaimana mungkin memikirkan hal bodoh seperti menikah. Sangat jauh. Kakak sendiri masih 26 tahun. Masih banyak yang perlu Kakak lakukan.”
Sung Hyun diam sewaktu-waktu dan sempat melirik Seol Hee yang tengah memandangi jalan yang dipenuhi pohon sakura.
“Bunganya tahun ini bermekaran lebih banyak dari biasanya,” ucap Seol Hee pelan.
“Kau suka sakura?”
“Tidak. Saya suka Bunga Tulip Kuning Tangkai Ganda. Bunga yang hanya mati bersama dan tidak meniggalkan salah satunya.”
Ada nada tidak nyaman dari kalimat terakhir yang diucapkan Seol Hee, seolah ada dendam yang belum terselesaikan.
“Tapi, mau lihat Bunga Sakura dulu?” tawar Sung Hyun yang berusaha mencairkan suasana yang sempat terasa dingin.
“Boleh. Aku tidak apa kalau Kakak mau,” ujarnya sambil tersenyum tipis.
Diam, sampai mereka tiba di Taman Namsan dan berjalan berdampingan menikmati Bunga Sakura.
“Aku tidak ingin membahas ini tapi, apa kau sudah bertemu Kakakmu sepeninggal pacarmu?” tanya Sung Hyun hati-hati.
“Belum. Dan mungkin tidak akan pernah,” sahut Seol Hee usai menggeleng pelan.
“Apa penyebab kematiannya?”
“Entah. Di hari kejadian, dia meneleponku dini hari dan aku sama sekali tidak menerima penjelasan apapun bahkan dari keluarga mereka tampak tidak ingin membahasnya. Entah karena Kakakku atau karena mereka menyalahkanku. Mungkin aku membawa sial,” jelas Seol Hee sambil tersenyum getir.
“Apa ini alasan kamu melanjutkan profesimu di sini?”
“Tidak ada alasan lain.”
“Ingin menghindari Kakakmu?”
“Tidak. Kakakku bekerja sekaligus kuliah di kampus yang sama denganku sekarang. Dan satu hal, aku belum pernah cerita kan? Ho Jun Su itu bukan kakakku. Dia Kakak sepupu dari Ho Chang Yi, pacarku yang meninggal. Untuk menghindari hal yang tidak nyaman dan gunjingan, makanya dia mengatakan kalau aku adiknya.”
Sontak, bola mata Sung Hyun membesar. Dia menghentikan langkahnya dan menatap Seol Hee yang hanya tersenyum lalu mengangguk meyakinkan.
“Waaah…kalian benar-benar berakting dengan sangat baik sampai aku benar-benar percaya. Tapi, bagaimana dengan pria yang menjemputmu saat itu?”
"Oh! Bukan sombong atau apa tapi, walaupun mereka mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah di sini. Mereka mendapatkan dari sebuah perusahaan arsitektur ternama di sini dan dengan otak serta pengetahuan yang sempurna di jurusan masing-masing, tahun ketiga mereka dengan mudah menjadi anak kuliahan yang mendapat posisi CEO. Dan makhluk yang menjemputku waktu itu tidak lain adalah asisten pribadi Ho Jun Su.”
“Jadi, maksudmu selama ini mereka sudah dibiayai perusahaan itu?”
“Iya. Bahkan mereka akan membeli perusahaan farmasi tempat Kakak bekerja sekarang.”
Kening Sung Hyun pun berkerut.
“Apa karenamu?”
“Entah. Karena sejak kejadian itu aku memblokir semua hal yang berhubungan dengan Ho Jun Su dan keluarganya. Mungkin itu salah satu cara dia mendekatiku. Dengan memperluas jaringannya ke bagian kesehatan.”
“Kenapa begitu menakutkan?”
“Kakak takut?”
“Tidak. Tapi, cara mereka. Apa tidak ada cara lain untuk mendekatimu? Apa jangan-jangan mereka menguntitku?” tanya Sung Hyun penasaran.
“Mungkin. Tetapi, saya tidak peduli apapun yang mereka lakukan. Aku masih tidak sanggup melihat wajah Jun Su. Saya merasa dia sudah terlalu banyak berbohong.”
“Tapi, penyakitnya tidak ada salahnya menemui dia daripada harus bersusah payah menghindar bertahun-tahun?”
“Baru satu tahun, Kak. Biarkan saja selama dia tidak mencelakai orang lain dan saya yakin dia tidak akan melakukannya. Saya mengenal cukup baik Ho Jun Su.”
“Benar tidak ingin menemuinya?” tanya Sung Hyun hati-hati.
“Kakak berharap aku bertemu dengannya dan jatuh cinta?” goda Seol Hee.
Segera Sung Hyun mengalihkan pandangan dan melanjutkan langkahnya. Ada rasa tidak nyaman usai mendengar pertanyaan Seol Hee yang kemudian tersenyum dan mengikuti langkahnya.
TOK! TOK! TOK!
"Hmm."
Sae Rin hanya tersenyum getir usai menerima jawaban dari dalam kamar dan masuk perlahan. Dia menutup pintu dengan hati-hati saat melihat Sang Adik memunggunginya menatap ke luar balkon.
“Kau belum memutuskan akan melakukan apa? Ini sudah satu tahun,” tanya Sae Rin setelah berdiri di sisinya.
“Belum. Aku masih ingin sendiri. Saya tidak ingin mengontak siapa pun dan melakukan apa pun, ”jawab data Jun Su.
“Kak Jun Ho sangat marah karena tindakanmu,” ucap Sae Rin melemah.
“Dia tidak benar-benar marah. Hanya sedih melihatku seperti orang depresi. Makanya dia selalu mengirim berlembar-lembar kertas referensi ke ahli kejiwaan.”
"Kau pergi?"
“Untuk apa? Saya sehat. Saya masih bisa kuliah dan kerja dengan baik.”
“Tapi, kenapa bulan ini kau pulang?”
“Tidak apa. Aku hanya ingin pulang. Aku ingin bertemu orangtuaku dan mengunjungi Chang Yi.”
Diam sewaktu-waktu, Sae Rin tampak bingung dan beberapa kali melirik Sang Adik yang tingginya lebih dari 20 sentimeter darinya.
“Kak, mau ikut aku ke Pantai Haeundae?”
Bahkan belum sempat Sae Rin menjawab, Jun Su sudah lebih dulu melangkah pergi hingga membuatnya panik. Dan dalam sekejap, keduanya telah mengayuh sepeda masing-masing di malam yang cerah.
“Untukmu,” ujar Jun Su sambil menyerahkan sekaleng air soda yang telah ia buka.
“Terima kasih,” sahut Sae Rin riang sambil memandangi laut malam yang membiaskan cahaya bulan.
“Aku…belum mengatakan apapun tentang kematian dan alasan Chang Yi atas hubungan mereka,” kata Jun Su usai menyeruput minumannya.
Segera, kening Sae Rin berkerut dan menatap Adiknya dengan kedua bola mata membesar. Namun, seolah mengerti dengan keterkejutan Sang Kakak, Jun Su hanya mengangguk pelan meyakinkan hingga membuat Sae Rin kembali mengalihkan pandangan dan menggeleng tak percaya.
“Aku tahu kau akan sangat terkejut. Saya juga sudah mengatakan ini pada Kak Chang Mi, Chang Eun serta Paman dan Bibi.”
“Lalu, bagaimana reaksi mereka?”
“Sama sepertimu.”
“Kapan kau menceritakannya?”
“Kemarin lusa saat aku tiba. Aku ke rumah mereka dulu sebelum pulang. Kemarin saya cerita kepada Ayah dan Ibu. Siang tadi aku cerita pada Kak Jun Ho.”
“Ya Tuhan, lalu?” seru Sae Rin yang merasa tidak percaya, “saat kau ceritakan aku bersama tangisan yang bahkan membuatmu benar-benar hancur, aku merasa hampir gila. Lalu bagaimana dengan mereka?”
“Ibu hampir pingsan dan Ayah hampir memukulku. Paman juga hampir memukulku saat aku bersimpuh di hadapannya. Saya hampir mati dipukul dua pria yang kuhormati.”
“Kak Junho? Bagaimana reaksinya?”
“Dia bersimpuh meminta maaf padaku saat aku bilang, kalau Kak Chang Mi melemparku dengan vas bunga. Dia menangis,” sahut Jun Su seraya tersenyum sinis.
“A, apa itu sebab dahimu…”
Jun Su hanya mengangguk dan tersenyum tatkala Sae Rin baru mendapat jawaban atas plester jumbo yang menutupi dahi kiri Adiknya.
“Bagaimana mungkin dia melemparmu seperti itu? Hei, bukan hanya mereka yang sakit!” bentak Sae Rin yang tiba-tiba murka.
"Kak?"
Kalimat lemah itu menghentikan gerakan Sae Rin yang akan berbalik. Jun Su tersenyum menggenggam tangannya dan perlahan memeluk Sang Kakak dengan erat.
“Kakakku ternyata lebih pendek dari yang aku kira,” ejek Jun Su yang kemudian melebarkan sedikit kakinya.
“Hei, kau…apa yang kau la…”
“Kak, hanya dengan Kakak, aku bisa seperti ini. Di dalam keluarga kita, pria itu harus kuat. Bahkan saat Kak Jun Ho bersimpuh meminta maaf atas rasa bersalahnya tidak bisa melindungiku dan Chang Yi dengan baik, Ayah yang tiba-tiba datang diantara kami langsung membentaknya agar tidak menangis. Jadi, bagaimana mungkin aku menangis hanya karena dilempar vas bunga kecil. Dan bagaimana mungkin semua orang tidak murka sementara, saya yang mengetahui semuanya nekat menuruti permintaan Chang Yi yang ingin memberi kejutan pada semua orang akan kesembuhan penyakitnya.”
“Tapi, semua orang tahu kalau dia sakit jantung sedari kecil. Mereka tidak ada hak menyalahkanmu secara sepihak,” kata Omel Sae Rin.
“Aku juga salah karena menuruti keinginan Chang Yi secara sepihak, aku tahu kalau operasi jantung itu memiliki resiko kematian yang tinggi akibat tekanan darah Chang Yi yang selama ini tidak pernah stabil. Dan harusnya, aku tahu, darahku saja tidak akan cukup membantu semuanya berjalan lancar. Harusnya aku tahu, walau darahku bisa menyelamatkan setidaknya tiga nyawa tapi, berbeda dengan kasus Chang Yi yang memang memerlukan lebih dari satu kantung untuk bertahan. Harusnya…aku memberitahu Kak Chang Mi dan Kak Chang Eun tentang ini, setidaknya sampai keadaan stabil.”
Ada suara lemah diakhir kalimat Jun Su yang membuat Sae Rin akhirnya mengalah. Dia mengusap lembut puncak kepala adiknya yang tiba-tiba terdiam. Sayup ada isak kecil yang menemani mereka. Ya, Ho Jun Su kembali menangis malam itu usai setahun berlalu.
“ Dubidudu Raffa . Dubidubidu Raffa . Dubidubidu Dubidubidu Dubidubidu Raffa … [1] ”
“Kau ingin memakan jantungku?”
“YA TUHAN!!!”
Kedua bola mata Seol Hee membesar saat ia memasuki kontrakan kecilnya, terlihat sosok Jun Su telah duduk di bantalan busanya. Dia mengerjap cepat dengan hati yang masih merasa gelisah setelah berdendang perlahan saat memasuki rumah dan menyalakan lampu.
“Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau bisa masuk?” tanya Seol Hee dengan nada tinggi.
“Kau lupa kalau nama belakangku ' Ho '. Aku hacker terbaik selama sekolah. Kode rumah, kontak telepon dan segala hal tentangmu sangat mudah didapatkan.”
“Kenapa tidak menemui di tempat magang saja? Apakah Anda sudah membeli tempat itu?”
“Tidak. Untuk apa saya membeli rumah sakit? Itu pasti kantor lain. Aku tidak tertarik dengan kesehatan,” ujar Jun Su yang masih santai di tempatnya, “bantalan busamu nyaman. Apa ini tempatmu menangis setiap malam?”
Ada senyum manis yang terukir di wajah Jun Su namun, juga tampak menyebalkan di waktu yang sama. Seakan ada hal yang ingin dia ungkapkan tapi, melihat wajah Seol Hee yang menahan emosi membuatnya segan untuk bicara dan memilih menikmati kekesalan gadis di hadapannya.
“Pulanglah. Saya lelah setelah kuliah dan magang hari ini.”
Segera, Seol Hee melangkah menuju kamarnya tapi, belum sampai langkahnya, Jun Su pun menahan dan menggengam erat tangannya.
“Lepas,” ujar Seol Hee yang berusaha menyentak tangannya.
“Tidak. Aku ingin kau mendengarkanku, dan aku ingin mendengarkanmu. Kita perlu bicara. Ini sudah lebih dari cukup.”
“Tidak ada yang perlu kita obrolkan.”
Mendengar ucapan Seol Hee dengan suara bergetar dan begitu menolak ajakannya, ia pun melepas genggamannya dan pergi.
“Kalau begitu, aku pulang.”
Usai melepas genggamannya dan mengusap puncak kepala Seol Hee yang dipenuhi amarah, dia melangkah santai keluar dari kontrakan itu.
Kata orang , jika ingin dia mendengarkanmu . Jika ingin dia tetap di sisimu . Jangan genggam dia terlalu kuat . Sebab , butiran pasir pun akan keluar dari sela genggamanmu saat kau memegangnya terlalu erat .
“Sudah selesai merapal doa?”
Kening Seol Hee berkerut, ada rasa kesal yang ia tahan dari pejaman matanya sebelum akhirnya menghela napas berat. Dan tanpa sedikitpun melihat sosok di sisinya, dia langsung melangkah pergi.
Tidak ada sedikitpun celah yang ia berikan pada Ho Jun Su yang sempat linglung akibat sikapnya. Namun, pada akhirnya dia berhasil membayai Seol Hee yang semakin mempercepat langkahnya.
“Tinggi 160 sentimeter lawan kaki panjangku dengan tinggi 185 senti. Kau terlihat jelas bekerja keras hanya untuk berlari kecil. Kau gunakan kakimu untuk melangkah dua kali dan aku hanya cukup melakukan satu kali. Kau gunakan kakimu untuk melangkah empat kali dan aku ha…”
“Aaaaaaaaaaaaa……….”
Langkah Seol Hee yang tiba-tiba berhenti dan teriakannya yang langsung menggema ke penjuru makam yang sepi membuat Jun Su seketika terbelalak. Tapi, sedetik kemudian dia hanya tersenyum sinis melihat tatapan penuh amarah dari balik kacamata hitamnya.
“Kau benar-benar gadis yang sulit ditebak. Semenit yang lalu kau diam, tenang berdoa dalam damai. Dan beberapa saat kemudian kau kesal. Lalu detik ini kau berteriak di pemakaman yang suci. Apa kau benar-benar ingin membangunkan Chang Yi dengan teriakanmu?”
Diam seribu bahasa, Seol Hee sama sekali tidak ada niatan untuk berkomunikasi dengan Jun Su yang terlihat jelas tersenyum mengejeknya. Dia hanya menghela napas keras dan mengalihkan pandangan untuk menghindari tatapannya.
“Sebenarnya apa yang kau benci dariku? Kau bahkan tidak memberiku kesempatan menjelaskan semuanya sejak aku ikut menurunkan jenazahnya ke bandara. Aku saksi hidupnya sejak awal ini terjadi tapi, sedikit pun kau tidak ingin mendengar…”
Seketika Jun Su menghentikan kalimatnya tatkala menyaksikan Seol Hee yang tiba-tiba menatap tajam ke arahnya. Dan detik berikutnya, sebuah tamparan yang cukup keras membuat Jun Su begitu kaget dan hampir berteriak namun, dia hanya memejam sesekali lalu menghela napas keras.
“Sudah puas seka…”
“Aaa….Aaaa….Kyaaaaaaaa…….”
Teriakan demi teriakan dan akhirnya, pijakan Seol Hee pun melemah. Ada rasa iba yang tiba-tiba menjalari Jun Su menyaksikan gadis di hadapannya menangis terduduk dengan menutup kedua telinganya. Seakan ada sesuatu yang benar-benar mengganggunya, tangannya mengepal dengan kuat menatap gadis di bawah kakinya. Tangis yang sama sekali tidak pernah menunjukkan Seol Hee, yang bahkan selama tujuh tahun tidak pernah sekalipun dia melihat Seol Hee menangis dengan rasa sakit yang sampai dirinya pun ikut merasakan.
Lagi, ia menghela nafas keras dan perlahan berjongkok. Dengan hati-hati dijauhkannya kedua tangan Seol Hee dari telinga dan dengan perasaan tak nyaman ia mengusap pelan punggung Seol Hee yang masih menangis.
“ Bahkan airmataku sudah habis sejak hari itu . Terima kasih untuk semua emosimu hari ini ,” batin Jun Su.
Bahkan ketika langit cerah menemani isakmu , Tuhan pun masih tetap tersenyum karena akan ada bahagia yang Dia hadirkan nanti...
“Minum ini.”
Seraya menerima segelas teh hangat yang dibawa Jun Su, Seol Hee tetap memandang kosong Sungai Han.
“Tidak bingung, kan?” tanya Jun Su usai menyeruput tehnya.
Namun, Seol Hee hanya menggeleng dengan pandangan kosong dan menikmati minumannya.
“Sudah merasa nyaman?” tanya Junsu lagi.
“Apa yang nyaman dari ditinggal orang yang baru saja kau sayang? Apa yang nyaman dari ditinggal orang yang baru Anda sadari tentang kehadirannya? Apa yang nyaman dari ditinggal orang yang kubaru tahu tentangnya? Apa yang nyaman dari semua penerimaan tanpa balasan? Aku… selama ini terus menerima apapun darinya. Aku menerima sayang, cintanya, pengorbanannya dan yang dia terima dariku hanya ketidakpercayaan tentang hadirnya yang hanya untukku.”
Diam, sewaktu-waktu Jun Su hanya mengangguk pelan usai mendengar semua celoteh Seol Hee.
“Setidaknya sekarang sudah tahu alasan dia melakukannya bukan hanya karenamu tapi, juga karena keluar…”
“Karena alasan itulah yang membuatku paling merasa sakit!”
Ada rasa bersalah yang tiba-tiba menghampiri Jun Su usai mendengar teriakan Seol Hee di akhir kalimatnya. Dia tertunduk saat Seol Hee yang menatap kembali menangis.
“Aku…”balas Jun Su menatap Seol Hee yang telah menunggunya, “…aku…bahkan tidak pernah membayangkan jika hal ini akan menyakiti semuanya. Sepertinya saya percaya begitu saja dengan seluruh ucapannya yang terdengar sangat percaya diri. Paman, Bibi, Ayah, Ibu, Kak Jun Ho, Kak Chang Mi serta Kak Chang Eun, mereka semua menimpakan salah ini kepadaku.”
Ada perubahan suara saat Jun Su menjelaskan semua namun, tak sedikitpun Seol Hee merubah tatapan amarahnya dan membuat Jun Su hanya tersenyum sinis.
“Aku…bersujud di hadapan mereka semua. Tapi, yang kuterima adalah tamparan di wajahku. Lemparan vas bunga dan Ayah serta Kak Jun Ho hampir membunuhku. Seolah apa yang dia lakukan adalah salahku dan aku yang membunuhnya. Apa diantara kalian ada yang bertanya, bagaimana kabarku? Apa aku juga merasakan sakit? Apa aku sedih? Sampai detik ini yang saya lihat hanya tatapan kebencian tanpa belas kasihan. Sampai detik ini yang saya terima hanya rasa bersalah.”
“Kau Angkuh. Kau sombong.”
Hanya anggukkan dan senyum sinis untuk kesekian kali yang ditunjukkan Jun Su setelah mendengar umpatan Seol Hee.
“Apa aku memang suka itu dalam pandanganmu?” tanya Junsu.
“Sejak kau kembali menginjakkan kaki ke Korea dan sampai detik ini kau tidak pernah sama sekali melepaskan kacamata hitammu. Di rumahku yang gelap pun kau tetap mengenakannya dan membuatmu tampak semakin angkuh.”
Karena ada mata yang hampir tidak bisa melihat yang sedang aku tutupi . Ada sepasang mata yang meradang karena tangis yang tiada henti . Ada kata-kata sinis yang kuharap mampu menutupi . Dan ada sikap angkuh yang aku harap bisa mengobati …
[1] Lee Sun Hee – Hujan Rubah