Besok tepat empat tahun meninggalnya Justin. Dan karena jatuhnya di hari Minggu, kami akan pergi ke makamnya bersama-sama. Dayton bertanya apakah dia boleh ikut. Mama semestinya tidak akan heran bila melihat Dayton ikut. Dan Papa juga pasti sudah tahu tentang Dayton dari Mama. Liam juga akan mengerti. Tapi Ava ... Ava masih belum tahu bahwa aku sering menghabiskan waktu dengan Dayton. Dayton sebenarnya sudah ingin berbicara dengan Ava tapi aku tidak yakin apa yang akan terjadi setelahnya. Jadi aku berusaha menunda-nunda hal itu. Dayton sebenarnya sudah berjanji bahwa ia tidak akan memberitahu Ava bahwa Ava adalah anaknya. Ia hanya ingin minta ijin Ava karena ia tidak mau harus menyembunyikan hubungan kami dari Ava. Tapi tetap saja, aku gugup bila membayangkan mereka berbicara berdua. Jadi aku melarang Dayton untuk ikut ke makam. Dayton tidak senang karena itu berarti aku belum sepenuhnya membiarkan dirinya menjadi bagian dari hidupku. Tapi aku mengingatkannya bahwa ia pernah berjanji untuk tidak memburu-buruku. Jadi dia akhirnya menyerah.
Aku mendengar ketukan perlahan pada pintuku. Pastinya itu Ava. Setiap kali ia tidak dapat memutuskan memakai baju apa, ia selalu meminta pendapatku.
“Masuk,” kataku. Pintuku dibuka. Tapi yang berdiri di sana Mama.
“Kenapa kau tidak memberitahuku?” tanyanya.
“Memberitahu apa?” tanyaku.
“Apakah Justin tahu?” tanyanya, “bahwa Ava bukan anaknya?” lanjutnya saat aku diam saja. Aku mendesah.
“Dia tahu,” kataku.
“Apakah Dayton tahu?” tanyanya, “bahwa Ava adalah anaknya?” tambahnya.
“Justin memberitahunya,” kataku.
“Dia yang memberitahu Dayton?” tanyanya. Aku mengangguk. “Dan Dayton juga yang memberi tahu Liam,” tambahku.
“Jadi rupanya hanya papamu dan aku yang tidak tahu hal ini?” tanyanya. Aku memandangnya.
“Ava juga tidak tahu,” kataku.
“Ya tapi rasanya aku sudah dengan tanpa sengaja membuatnya curiga,” katanya. Lalu ia menceritakan yang terjadi di toko buku kemarin.
“Aduh,” kataku.
“Yah, jika kau sudah memberitahuku, aku dapat berpura-pura bahwa kau memang berdarah A,” katanya.
“Jadi sekarang aku harus bagaimana, Ma?” tanyaku.
“Kemarin setelah itu aku sudah bilang padanya bahwa mungkin saja aku yang salah. Aku yang lupa. Semoga dia percaya. Tapi rasanya aku tidak terlalu meyakinkan,” katanya. “Dan kau tahu bahwa cepat atau lambat kau harus memberitahunya, bukan?” aku mengangguk. Lalu aku mendengar sebuah ketukan lagi pada pintuku. Ketukan yang keras. Pastinya Liam. Dan ia membuka pintuku tanpa menungguku menjawab.
“Ava kenapa?” tanyanya.
“Apa maksudmu?” tanyaku.
“Tadi aku sedang berjemur di balkonku dan aku melihatnya berlari keluar dari pintu ke arah mobilnya. Aku berteriak bertanya dia akan ke mana tapi dia tidak menjawab. Ia masuk ke mobil dan terburu-buru keluar gerbang sampai hampir menabrak gerbang,” katanya. Aku memandang mama. Mama memandangku. Kami berdua punya kekuatiran yang sama.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page