Aku seharusnya memberitahu orang-orang ini bahwa aku bukan istri Dayton. Tapi entah kenapa aku tidak melakukannya. Mungkin sebagian dari diriku menginginkan hal itu benar. Mungkin seluruh diriku menginginkan hal itu benar. Dan itu menakutkanku. Karena aku tahu itu tidak mungkin. Jadi setelah orang tua murid Dayton pergi, aku tahu aku harus pergi juga. “Jangan lakukan atau bahkan berpikir untuk melakukannya,” kata Dayton seolah ia baru saja membaca pikiranku.
“Jangan lakukan apa?” tanyaku.
“Pergi meninggalkanku lagi, dan tidak kembali, dan tidak membukakan pintumu jika aku datang, dan tidak mengangkat semua telpon dariku, dan tidak membaca semua pesan dariku,” katanya. Rupanya dia memang sudah membaca pikiranku. “Kau tahu kau tidak bisa mendorongku menjauh selamanya, Anna,” katanya.
“Dayton, aku ...”
“Kau tidak bisa menghindariku selamanya,” katanya.
“Dayton...”
“Aku tahu kau masih mencintaiku,” katanya.
“Dayton, aku sudah pernah bilang. Untuk saat ini anak-anakku adalah prioritas utamaku,” kataku.
“Aku tidak minta jadi pioritas utamamu. Aku boleh jadi prioritas ke tiga, atau ke lima, atau ke sepuluh. Aku hanya ingin menjadi bagian dari hidupmu,” katanya. “Apakah aku benar-benar harus mematahkan tangan atau kakiku yang lain untuk bisa bertemu denganmu?” tanyanya.
“Bukan begitu,” kataku cepat.
“Karena seperti yang sudah kukatakan, jika memang harus seperti itu, akan kulakukan,” katanya.
“Dayton, ini bukan lelucon. Aku tidak ingin ada hal buruk lagi menimpamu,” kataku. Itu benar. Aku sudah kehilangan Amos. Dan Justin. Jika aku harus kehilangin dirinya juga, aku akan menjadi gila.
“Kau tidak ingin ada hal buruk menimpa diriku. Tapi kau juga tidak mau berurusan dengan diriku, ya?” tanyanya. Aku mendesah. Tidak sesederhana itu.
“Dayton, kau tahu itu tidak benar,” kataku.
“Jadi? Aku boleh menjadi bagian dari hidupmu lagi?” tanyanya. Aku memandangnya. Ia tidak sadar bahwa ia memang adalah bagian dari hidupku. Tidak ada satu haripun yang lewat tanpa diriku memikirkan dirinya.
“Jika saja itu mungkin,” kataku.
“Tentu saja mungkin,” katanya.
“Bagaimana caraku menjelaskan dirimu pada Liam dan Ava?” tanyaku.
“Apakah kau harus menjelaskan setiap teman yang kau punya pada mereka?” tanyanya.
“Tidak. Tapi kau bukan seseorang yang.. hanya teman,” kataku.
“Apakah akan lebih mudah buatmu jika aku ... hanya teman? Jika iya, tidak apa-apa aku menjadi .. hanya teman,” katanya.
“Begitu?” tanyaku. Aku tidak tahu harus merasa apa. Apakah aku harus lega atau sedih karena dia hanya ingin menjadi teman dan tidak lebih?
“Tentu tidak selamanya,” katanya. “Tapi untuk sekarang ini, jadi temanmu sudah kemajuan banyak daripada ... tidak digubris,” katanya.
“Kau tahu aku tidak bisa janji apa-apa,” kataku.
“Aku tidak menuntut janji apa-apa. Dan aku malah yang akan berjanji,” katanya.
“Janji apa?” tanyaku.
“Selama aku boleh jadi bagian dari hidupmu, aku tidak akan memburu-burumu, aku tidak akan memaksamu. Tapi tolong jangan abaikan aku lagi,” katanya.
“Tidak, aku tidak akan,” kataku.
“Sungguh?” tanyanya.
“Ya,” kataku.
“Kau akan mengangkat panggilan telponku?”
“Ya.”
“Kau akan membaca dan menjawab pesan-pesanku?”
“Ya.”
“Aku boleh bertemu denganmu dan mengajakmu pergi ... sebagai teman?”
“Ya.” Kataku. Ia mengangguk perlahan dan memandang mataku lamat-lamat seolah ia sedang hendak menciumku. Dan aku begitu menginginkan dia menciumku. Setiap sel di dalam tubuhku menginginkannya. Tapi dia hanya diam. Karena dua orang teman biasa memang tidak melakukan hal seperti itu, bukan?
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page