Begitu dirinya berada di dalam pelukanku, aku tahu bahwa mulai saat ini, apapun yang terjadi, aku tidak akan membiarkannya pergi dari hidupku lagi. Tidak peduli berapa kali ia mendorongku menjauh, tidak peduli berapa kali lagi ia akan memintaku untuk pergi, kali ini, tidak akan kulakukan. Tapi pertama-tama, aku harus membuatnya berhenti menangis.
“Anna, lihat aku,” kataku sambil memandanginya. Ia masih terisak-isak tapi paling tidak ia sedang berusaha berhenti.
“Aku tadi terus mencoba menelponmu tapi kau tidak mengangkat,” katanya.
“Ya. Maaf. Ponselku mati karena ada di sakuku waktu aku melompat ke sungai,” kataku.
“Kau melompat ke sungai?” tanyanya. Dan aku sadar bahwa yang kukatakan pastinya terdengar buruk. Aku baru hendak menjelaskan lebih lanjut ketika pintuku diketuk dan lalu dibuka. Kami berdua melompat mundur seolah kami sepasang remaja yang baru saja hendak tertangkap basah berciuman di antara rak-rak buku di perpustakaan. Anna dengan cepat memalingkan wajahnya dan berusaha menghapus sisa air mata dari wajahnya. Sepasang pria dan wanita yang tidak kukenal masuk ke ruanganku dan pertamanya kukira mereka salah kamar. Tapi mereka berjalan mendekat dengan mantap.
“Sir Dayton, kami berterima kasih karena sudah menyelamatkan putra kami,” kata si wanita sambil mengulurkan tangannya untuk menjabat tanganku.
“Mereka orang tua Kevin,” jelas Binsar yang berdiri di belakang mereka.
“Kami telah menegur Kevin. Bodoh sekali berdiri di atas kayak seperti itu,” kata ayah Kevin.
“Rasanya dia dipanas-panasi oleh teman-temannya. Jadi bukan salah dirinya seorang,” kataku pada mereka. “Bagaimana keadaannya?” tanyaku.
“Pergelangan kaki kanannya retak. Itu hukuman yang setimpal untuknya,” kata ayahnya.
“Dia akan sembuh. Anak-anak cepat sembuh. Jangan mengkuatirkan dirinya,” kata ibunya. “Bagaimana dengan dirimu, Sir?” tanyanya.
“Oh, aku baik. Tidak perlu dikuatirkan,” kataku. Mereka berdua tersenyum.
“Suamimu menyelamatkan nyawa anak kami. Kami selamanya berhutang budi,” kata ibunya seraya ia mengulurkan tangan ke arah Anna. Kulihat Anna bingung harus berbuat apa. Tapi akhirnya ia hanya tersenyum dan menjabat tangan orang tua Kevin. Aku sudah hampir memberitahu mereka bahwa Anna bukan istriku. Tapi aku suka disebut sebagai suami Anna. Jadi aku diam saja. Rasanya tidak ada salahnya berpura-pura menjadi suami Anna, walau hanya untuk sementara dan di hadapan sepasang orang asing. Bukankah bila situasinya berbeda, kalimat itu bisa saja benar?
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page