Aku tidak mengenal mobil yang terparkir di dekat gerbang rumahku. Biasanya Pajero milik anak tetangga samping rumahku yang sering parkir di sana. Tapi hari ini bukan. Mungkin itu mobil tamu salah satu tetangga. Baru waktu pembantuku, Ina, bilang bahwa ada tamu yang sedang menungguku di dalam, aku langsung menghubungkannya dengan mobil yang parkir di luar itu.
“Siapa, Mbak?” tanyaku.
“Nggak tau, Non,” jawabnya.
“Lah, nggak tau kok kamu kasih masuk?” tanyaku.
“Tadi Ibu nelpon, Non. Ibu yang suruh buka pintu dan katanya tamunya suruh tunggu di dalam dan dikasih minum,” katanya. Rupanya atas instruksi mama.
Karena aku masuk dari garasi, aku tiba di kamarku lebih dulu. Aku mampir untuk meninggalkan tasku di sana dan minum, lalu aku berjalan ke ruang keluarga yang merangkap ruang tamu. Rumahku tidak sebesar rumah mama. Sepeninggal Justin, rumah ini terasa begitu besar dan rasa sepinya begitu mencekik. Apalagi Ava masih di California dan Liam selalunya pulang malam dari kantor. Mama sudah berkali-kali menyuruhku untuk pindah kembali ke rumahnya saja. Mungkin ia mengusulkan itu bukan hanya demi diriku, tapi demi dirinya juga. Mungkin ia juga merasa rumah besarnya terlalu besar dan terlalu mencekik. Saat aku berjalan memasuki ruang keluarga, langkahku terhenti. Dan untuk sesaat, aku hampir yakin bahwa aku sedang bermimpi.
“Anna,” katanya sambil berdiri.
“D.. Dayton,” kataku. Lebih untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa memang dia yang ada di sana. Aku begitu ingin berlari padanya. Tapi aku tidak bisa. Tidak boleh. “Apa... apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku. Walau yang sebenarnya ingin kukatakan adalah aku begitu senang dia ada di sini.
“Aku ingin menemuimu,” jawabnya. Aku begitu ingin mengatakan hal yang sama padanya. Tapi aku tidak bisa. Tidak boleh. “Aku harus menemuimu,” katanya lagi seolah membetulkan kalimat sebelumnya.
“Kau... kau tidak seharusnya ada di sini,” kataku, tidak dengan nada yang meyakinkan. Bahkan diriku sendiri pun tidak yakin.
“Aku mendapatkan alamatmu dari mamamu,”katanya.
“Si.. silahkan duduk,” kataku karena baru sadar kami berdua masih berdiri. Ia duduk kembali. Aku duduk di seberangnya. Dan untuk sesaat, kami hanya duduk. Aku menggunakan kesempatan ini untuk memandangi dirinya. Karena aku tidak tahu kapan aku akan melihatnya lagi setelah ini.
“Aku.. aku sudah punya pekerjaan,” katanya.
“A.. apa?” tanyaku. Karena kenapa tiba-tiba dia harus memberitahu itu. Tentu saja dia punya pekerjaan. Terakhir kita bertemu dia sudah akan menjadi dosen di SCU.
“Maksudku di sini. Aku sudah punya pekerjaan di sini. Aku menjadi guru di Lighthouse,” katanya, menyebutkan salah satu sekolah international yang cukup ternama di Jakarta Selatan.
“Kau.. akan jadi guru di sini?” tanyaku. Ia menangguk dan tersenyum bangga seolah dia baru dijadikan seorang CEO di perusahaan raksasa multinasional.
“Mereka menyewakan sebuah apartemen untukku. Sebuah apartemen dengan satu kamar di komplek yang baik. Dan mereka meminjamkan mobil untukku. Mobilnya tidak baru tapi bukan masalah buatku,” katanya. Dan ini semua terlalu sulit untuk kucerna. Dayton ada di sini. Dan ia sedang memberitahuku tentang pekerjaannya, tentang tempat tinggalnya, dan tentang mobilnya yang tadi kulihat di luar gerbang. Apakah ini permulaan dari sesuatu? Apakah memang ada kemungkinan bagi kita untuk.. bersama? Tapi aku langsung ingat Liam. Apa yang akan dikatakannya tentang hal ini? Bagaimana perasaannya bila melihat mamanya bersama pria selain papanya? Dan Ava! Bagaimana jika Dayton tahu tentang Ava? Bagaiman jika orang tuaku tahu? Bagaimana jika orang tua Justin tahu? Aku melirik ke arah jam dinding. Mungkin Liam akan pulang sebentar lagi. Dia biasanya pulang lebih awal di hari Jumat. Dan aku tidak bisa tidak merasa bersalah.
“Ma.. maaf, Dayton. Kau harus pergi,” kataku. Dayton memandangku seolah aku baru saja mengucapkan sesuatu dalam bahasa asing.
“Kenapa?” tanyanya.
“Maaf. Aku tidak bisa,” kataku.
“Apakah ini tentang Justin? Apakah kau merasa harus setia padanya?” tanyanya. Aku tidak menjawab. “Apakah kau tahu bahwa hari ini aku di sini ini karena dirinya juga?” tanyanya.
“Apa maksudmu?” tanyaku.
“Aku mendapat sebuah surat dari dia. Kuasa hukumnya yang mengirimkannya. Ia sudah memberitahuku tentang .. Ava,” katanya. Dia tahu! Oh, Tuhan! Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Aku mulai panik.
“Tolong. Pergi saja,” kataku. Dan aku berlari ke kamarku.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page