Dokumen dari luar negeri yang dikirim via Fedex itu tiba di rumahku satu minggu sebelum akhir tahun. Waktu aku melihat bahwa dokumen itu dikirim dari Indonesia, jantungku melompat dan tentu saja Anna yang langsung muncul di dalam benakku. Tapi bukan, bukan namanya yang tertulis pada amplop karton manila itu. Dan lagi, jika ia memang ingin menghubungiku, tentunya email lebih mudah. Tidak, ia tidak pernah mengirimiku email. Rupanya saat ia menyuruhku pergi saat kami bertemu musim panas tahun lalu itu, ia benar-benar tidak menginginkan aku dalam hidupnya. Jadi bukan, surat ini bukan dari Anna. Nama yang tertulis adalah nama sebuah firma hukum yang belum pernah kudengar sebelumnya.
Aku membuka amplop manila besar itu dan menemukan selembar surat formal di atas kop surat firma hukum dan sebuah amplop panjang ukuran standar dengan namaku tertulis di depannya dengan tulisan tangan. Surat formalnya mengatakan bahwa mereka mengirimkan surat dari Justin Hirmawan kepadaku seperti yang diinstruksikannya sebelum ia meninggal. Keningku berkerut. Hanya ada satu alasan kenapa Justin meminta kuasa hukumnya untuk mengirimkan surat kepadaku. Pastinya untuk mengancamku supaya tidak pernah mendekati Anna. Aku merasakan kemarahan bergolak di dalam diriku. Ia tidak berhak menyuruh-nyuruhku. Dan aku tidak peduli jika dia akan menyuruh kuasa hukumnya mengirimkan semua berita buruk tentang diriku kepada Anna. Aku bukan mobil remote control yang dapat dikendalikan dari liang kubur. Aku memandang amplop putih bertuliskan namaku itu dan hampir saja merobek robeknya tanpa membukanya. Tapi rasa ingin tahuku merebak. Aku pun membuka amplop itu.
Dayton,
Jika kau membaca surat ini, berarti tiga tahun sudah berlalu sejak aku meninggal. Aku menulis surat ini setelah tahu bahwa waktuku di dunia tidak banyak lagi dan aku sadar ada tiga hal yang harus kukatakan padamu.
Satu.
Aku minta maaf karena telah mencuri Anna darimu. Aku tahu kalian saling mencintai. Tapi dia adalah cinta sejatiku jadi aku harus memilikinya. Semoga sebagai seorang pria, kau bisa mengerti itu. Aku memang minta maaf tapi bukan berarti aku menyesal. Jika waktu dapat diputar kembali, aku akan tetap mencurinya darimu.
Aku memutar bola mataku. Apa gunanya permintaan maaf setengah hati seperti ini? Aku lanjut membaca.
Dua.
Ava adalah anakmu. Berani bertaruh nyawa (yah, karena aku sudah tiada, aku dapat bertaruh dengan nyawaku sesering mungkin. Hahaha) Anna tidak akan memberitahumu ini. Rasa bersalah yang dirasakannya terlalu besar. Tapi kau harus tahu bahwa aku tidak pernah membenci dirinya ataupun dirimu karena hal ini. Dan aku bersumpah bahwa aku telah menjadi ayah yang baik untuk Ava. Di hatiku, dia tetap anakku.
Aku hampir menjatuhkan surat itu. Bayangan seorang gadis remaja yang berjalan cepat ke arah toilet dan diriku menghentikan dirinya langsung memenuhi benakku. Aku sudah pernah berbicara pada anak perempuanku tanpa menyadari siapa dia. Lalu aku ingat senyum berlesung pipitnya. Memang aneh cara mata dan otak bekerja. Terkadang yang kau lihat di depan matamu tidak benar-benar kau lihat karena otakku tidak menyadarinya. Lalu setelah kau akhirnya tahu, kau tidak dapat tidak melihatnya lagi. Pastinya ini karena sore hari di hotel Borobudur itu. Dan selama tahun-tahun ini aku tidak pernah tahu.
Tiga.
Anna mencintaimu. Masih. Percayalah, aku tahu.
Kau tahu apa pendapatku tentang dirimu? Kau pengecut. Kau terlalu cepat menyerah dulu itu. Jika aku jadi dirimu, aku akan pindah ke Indonesia dan terus mengejar dirinya. Tapi tidak perlu menyesal sekarang. Jika kau dulu melakukan itu sekalipun, percayalah, aku tetap akan menang. Tapi karena sekarang aku sudah tidak ada di sini untuk bersaing denganmu, jika kau masih tetap belum juga mendapatkan dirinya, dan jika kau tidak sedang melakukan sesuatu tentang hal itu, yah, berarti kau memang pengecut yang malas. Lihat diriku! Saat kau membaca ini, pastinya seluruh sel-sel di tubuhku sudah terurai. Dan aku masih saja melakukan sesuatu demi kebahagiaan Anna. Karena aku mencintainya. Aku tahu kau adalah orang yang dapat membuatnya bahagia. Tapi bukan dengan cara diam berpangku tangan.
Tertanda,
Justin
NB: Jika kau bertanya-tanya kenapa aku menunggu tiga tahun sebelum mengirimkan surat ini padamu, yah, bagian egois dari diriku tidak ingin mengirimkan surat ini. Ini sulit buatku. Tapi aku tahu aku harus melakukannya. Jadi berterima kasih saja kau mendapatkan surat ini dalam waktu tiga tahun.
Aku membaca surat Justin empat kali. Pertama kali dengan rasa ingin tahu. Kedua kali dengan amarah. Ketiga kali dengan penyesalan. Tapi yang ke empat kali, aku membacanya dengan tekad yang sudah terbentuk bulat.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page