Aku memandang anak laki-lakiku. Sebentar lagi ia akan berusia 18 thn dan dia memang dewasa untuk usianya. Tidak heran dia menyadari satu hal itu tentang mamanya.
“Itu pasti cuma perasaanmu saja,” kataku.
“Pa, aku tidak bisa percaya papa tidak melihat hal itu. Itu terlihat begitu jelas,” katanya.
“Begitu?” tanyaku. Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi karena dia memang benar.
“Aku yakin ada sesuatu tentang mama yang kita tidak tahu. Mungkin dulu dia pernah punya trauma atau sejenisnya waktu dia di sana,” katanya.
“Sudah malam. Tidur sana. Bukankah kau ada ujian besok?” kataku. Ia berdiri dan berjalan ke kamarnya. Paling tidak aku dapat menghindar dari topik ini untuk hari ini. Aku mendesah. Tentu saja aku sangat sadar akan keengannan Anna untuk pergi ke Amerika. Dan tentu saja aku tahu alasannya. Tapi bagaimana caramu memberitahu anakmu bahwa mamanya hanya takut bertemu dengan cinta sejatinya di Amerika? Bukankah semua anak otomatis menganggap bahwa papa mereka adalah cinta sejati mama mereka? Bagaimana caraku memberitahunya bahwa mamanya telah meninggalkan hatinya di Amerika saat aku membawanya pulang bertahun-tahun silam itu?
Terkadang di siang hari, saat aku melihat Anna duduk merenung, atau bila ia sedang memandang ke luar jendela mobil saat kami berkendara, aku begitu takut ia sedang memikirkan pria itu. Lebih buruk lagi di malam hari, atau di pagi hari saat aku terbangun lebih dulu dari dirinya, saat kami masih saling berpelukan. Aku akan memandangnya dengan begitu takut bahwa dia sedang memimpikan pria itu. Tapi lalu aku segera mengingatkan diriku bahwa dia ada di sini, bukan di sana. Dia tidur di pelukanku, bukan di pelukannya. Dan jika aku harus memilih apakah lebih baik menjadi seseorang yang dipikirkannya atau seseorang yang hidup bersamanya, kupikir lebih baik yang kedua. Orang itu mungkin saja ada di dalam mimpinya, tapi kulitkulah yang bersentuhan dengan kulitnya. Aku yang dapat menyentuhnya, menciumnya, hidup bersamanya setiap hari. Perjalanan kami tahun lalu ke Amerika memang adalah bukti nyata bahwa ia masih belum melupakan pria itu. Pengamatan Liam memang benar. Anna selalu tampak kuatir. Aku tahu ia takut bertemu dengan pria itu tanpa sengaja. Mungkin ia tidak mempercayai dirinya sendiri untuk melakukan hal yang benar bila itu terjadi. Tapi yang sebenarnya, selama aku ada di sana, dia tidak perlu kuatir. Apapun yang terjadi, apapun yang dapat dikatakan atau dilakukan Dayton, aku tidak akan pernah membiarkannya mencuri Anna dariku. Dan aku tahu Anna tidak akan meninggalkan kami. Kami adalah keluarganya.
Aku masuk ke kamarku. Anna sedang membaca di atas tempat tidur. Tidak, ia memang sedang memegang sebuah buku tapi ia tidak sedang melihat halaman-halamannya. Aku tahu pasti apa atau lebih tepatnya siapa yang sedang dipikirkannya. Untuk sesaat aku tidak tahu harus sedih atau marah.
“Justin..,” panggilnya lemah seolah ia tidak yakin akan apa yang akan dikatakannya. Aku naik ke tempat tidur untuk memeluknya. Aku perlu mengingatkan diriku bahwa dia ada di sini, di kamar kami, di dalam pelukanku.
“Ya, sayang,” bisikku.
“Aku... aku tahu biasanya mama-mama yang mengantar anak mereka kuliah. Tapi... bisakah kau yang mengantar Liam bulan September nanti?” tanyanya. Aku memandangnya. Dan tiba-tiba aku merasa begitu tak berdaya. Setelah semuanya yang kulakukan, kenapa ia tidak juga bisa melupakan pria itu? Dan semua itu tertera jelas pada matanya. Keraguannya, kelelahannya, ketakutannya. Jika saja aku dapat membebaskannya dari semua itu. Tapi bertahun-tahun silam, saat ia masih bertunangan dengan Dayton, aku pernah mencoba untuk tidak mencintainya. Aku mencoba untuk melupakannya. Tapi aku tahu dari pengalamanku sendiri bahwa hal seperti itu memang tidak mungkin untuk dilakukan. Cinta memang tidak dapat dihapus dengan mudah begitu saja. Dalam kasusku, akhirnya aku mendapatkan yang kuinginkan. Dirinya. Dan karena aku mendapatkan yang kuinginkan, dia tidak mendapatkan yang diinginkannya. Aku mempererat pelukanku.
“Ya, aku saja yang berangkat,” kataku.
“Kau benar bisa?” tanyanya.
Sebagai pengusaha, Anna dan aku tahu bahwa kami harus selalu meminimalisir risiko bisnis. Selama bertahun-tahun ini, harus kuakui Anna adalah pengusaha yang lebih berhati-hati dari diriku. Berulang kali ia yang mengingatkanku untuk tidak mengambil terlalu banyak risiko usaha. Rupanya kali ini lagi-lagi dia yang melihat sebuah risiko yang harusnya sudah kulihat. Ia benar. Dirinya pergi ke Amerika tanpa diriku adalah satu risiko yang tidak ingin kuambil.
“Ya. Aku saja yang pergi. Tidak masalah sama sekali,” kataku sambil mencium keningnya.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page