Begitu ia mengatakannya, begitu ia menanyakan pertanyaan yang satu itu, seluruh pertahananku luruh. Waktu seolah kembali ke saat pertama kali aku berdiri di bawah bingkai pintunya, udara di antara kami berat dengan kemungkinan-kemungkinan indah dan tidak ada satupun hal rumit di dunia luar sana yang akan jadi penghalang. Dengan cepat aku menutup jarak di antara kami. Aku menabraknya. Tapi ia sudah siap. Berat tubuhku sama sekali tidak menggoyahkannya. Ia menutup pintu di belakangku dan melingkarkan kedua lengannya pada tubuhku begitu erat sampai aku hampir tidak dapat bernapas. Aku tidak tahu berapa lama aku berdiri di sana, di dalam pelukan eratnya dan untuk sesaat, seluruh dunia di luar ke empat dinding ruangan itu seolah luluh hilang. Tidak ada samudra di antara kami, tidak ada batas negara, tidak ada kerumitan. Yang ada hanya kami berdua.
“Aku merindukan dirimu,” bisiknya di telingaku. “Aku merindukan kita,” tambahnya saat aku tidak mengatakan apa-apa. Aku begitu ingin mengatakan betapa aku merindukannya juga. Tidak ada satu hari pun yang lewat tanpa diriku memikirkan dirinya. Tapi aku tahu aku tidak dapat mengatakan itu lalu pergi meninggalkannya, lagi. Dan aku tahu cepat atau lambat, aku memang harus pergi. Dan menurut jam di atas meja, waktuku memang tidak banyak.
“Ma.. maaf,” kataku sambil melepaskan diri darinya. Dengan terpaksa ia melepaskanku. “Aku... semestinya aku tidak datang,” kataku.
“Anna, aku senang kau datang. Aku sebenarnya tadi sedang menyesal kenapa aku tidak memberitahumu bahwa aku ada di sini. Aku senang kau ada di sini,” katanya sambil meraihku lagi. Tapi aku melangkah mundur. Ia berhenti dan memandangku. Aku melihat luka pada matanya. Apakah ia dapat melihat luka yang sama pada mataku?
“Dayton, kau tahu tidak semestinya aku ada di sini. Tidak ada yang dapat kujanjikan,” kataku.
“Anna.. aku tidak mengharapkan apa-apa darimu. Janji atau apapun,” katanya.
“Aku.. aku harus pergi,” kataku. Aku memandangnya sejenak dan berjalan ke arah pintu.
“Apakah.. apakah aku akan bertemu dirimu lagi?” tanyanya. Aku menghentikan langkahku. Dan kesadaran bahwa memang tidak ada lagi alasan untuk saling bertemu, kesadaran bahwa ini adalah sebuah akhir, terlalu berat untuk kupikul. Paling tidak aku harus mengucapkan selamat tinggal, bukan? Paling tidak ia harus tahu bahwa aku tidak akan pernah melupakannya? Atau paling tidak aku harus menjelaskan bahwa ia tidak perlu menungguku. Aku berpaling untuk memandangnya.
“Dayton, aku ...,” kataku.
“Anna, jangan katakan,” katanya sambil meletakkan jarinya pada bibirku seolah tahu apa yang akan kukatakan. Lalu ia menciumku. Ia menciumku untuk mengatakan bahwa ia tidak ingin membiarkanku pergi, paling tidak untuk sementara. Ia menciumku untuk memberitahuku bahwa tidak pernah ada yang lain. Dan tidak akan ada. Ia menciumku untuk memintaku tinggal sedikit lebih lama. Aku tahu seharusnya aku tidak membiarkannya menciumku. Tapi aku membiarkannya. Dan aku tahu seharusnya aku tidak membalas ciumannya. Tapi aku membalasnya.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page