Aku melihat laporan bulanan yang di email Justin kepadaku. Kebanyakan angkanya terlihat baik. Hanya ada beberapa yang perlu kuteliti lebih lanjut.
“Mama, Monty mana?” tanya Liam saat dia masuk ke kamarku. Aku menoleh untuk tersenyum padanya. Kata orang gadis cilik dikirim langsung dari sorga. Tapi kurasa bocah cilik juga demikian. Liamku yang lucu selalu adalah gangguan yang kutunggu-tunggu.
“Dia tidak di kamarmu?” tanyaku. Dia menggeleng. Aku memlihat ke arah tempat tidurku dan langsung melihat bentuk yang tidak asing pada bantal Justin. Aku tersenyum.
“Mungkin Monty sedang bersembunyi lagi!” kataku. Liam tersenyum. Ia segera naik ke atas tempat tidurku dan mulai mengangkat bantal-bantalku. Yang besar, yang kecil, gulingku. Aku mulai berpura-pura membantunya. Ia mendekati bantal Justin dan mengangkatnya. Ia mulai cemberut saat tidak menemukan Monty di sana. Pintuku terbuka. Justin yang masuk. Rupanya ia baru tiba di rumah.
“Sudah makan?” tanyaku. Ia menangguk sambil berjalan mengitari tempat tidur untuk menciumku.
“Oh, apakah Monty bersembunyi lagi?” tanyanya sambil mulai memindah-mindahkan tumpukan bantal yang berantakan di tempat tidur kami.
“Dia hilang,” kata Liam sambil merengut. Wajahnya begitu imut jika ia merengut.
“Pastiii ada di sekitar sini!” kata Justin. Ia berjalan ke meja tulisku untuk mengambil kaca pembesar kecil dari laciku. Dengan sistematis dan serius, ia mulai meneliti setiap bantal melalui kaca pembesar itu seolah Monty adalah benda sekecil debu dan bukannya boneka butut sepanjang 30 cm. Liam tertawa dan ingin memegang kaca pembesar itu. Justin membiarkannya dan mengarahkannya untuk menyelidiki bantalnya. Tentu saja Monty ada di sana. Tidak di bawahnya tapi di dalam sarung bantalnya. Liam begitu gembira saat ia menemukan Monty.
“Sejak papa kecil dulu dia memang sering bersembunyi,” kata Justin.
“Benarkah?” tanya Liam. Justin mengangguk. “Tapi aku selalu dapat menemukannya,” tambahnya. Liam tersenyum. Ia mengucapkan selamat malam dan berlari keluar.
“Aku mandi dulu,” kata Justin. Aku kembali ke mejaku dan melihat sebuah email yang baru masuk. Email dari Amanda Trung. Itu aneh karena walaupun semua murid Foothill, terutama yang berjurusan bisnis, mengenal wanita itu, kami tidak pernah berteman dan dia belum pernah mengirimkan email padaku sebelumnya. Aku membuka emailnya.
Dari: Amanda_Trung@foothill.edu
To: Anna.k.2000@gmail.com
Teruntuk Anna,
Semoga emailmu masih sama dan semoga kau masih ingat aku. Apa kabar?
Aku sebenarnya perlu bantuanmu. Kau tahu aku suka benang dan sudah lama aku ingin beli benang dari kota Bandung di negaramu tapi aku tahu biaya kirimnya pasti jauh lebih mahal daripada harga benangnya. Tapi ada temanku yang akan terbang ke Jakarta dalam waktu dekat. Ia hanya akan di Jakarta selama 2 malam. Dia akan tinggal di hotel Borobudur. Apakah boleh aku memesan benang untuk dikirimkan ke rumahmu dan lalu meminta bantuanmu untuk memberikannya pada temanku saat dia ada di sana? (Karena jika aku meminta benang itu dikirim ke hotel sebelum temanku tiba, aku takut benang itu akan hilang. Tapi jika aku memesannya saat temanku di sana, bisa saja benang itu terlambat dikirim dan temanku sudah keburu pulang).
Kutunggu jawabanmu.
Terima kasih dan salam,
Amanda
Ya, tentu aku ingat Amanda. Bayangan dirinya duduk di meja kerjanya dengan rajutannya langsung terbayang di benakku. Dan secara otomatis beberapa hal lain ikut melintas di benakku. Aku mendesah. Kehidupanku di Foothill seolah terjadi pada kehidupanku yang lain. Aku segera membalas email Amanda. Tentu saja aku tidak keberatan membantunya. Aku juga langsung memberikan alamat rumahku. Waktu aku menekan tombol Kirim, Justin keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah. Aku menutup laptopku dan berdiri untuk berjalan ke kamar mandi. Saat aku melewatinya, ia meraih tanganku.
“Bagaimana harimu?” tanyanya sambil menarikku ke dalam pelukannya.
“Baik,” katanya. Ia melingkarkan kedua lengannya pada tubuhku.
“Aku senang kau ada di sini,” katanya. Aku memutar bola mataku.
“Memangnya jika tidak di sini aku bisa ada di mana?” tanyaku.
“Yah, dunia ini besar. Kau bisa berada di mana saja,” katanya.
“Yah, sekarang aku harus berada di kamar mandi karena aku kebelet pipis,” kataku.
“Jangan lama-lama, ya,” katanya sambil melepaskan pelukannya.
“Tiga tahun, dua bulan, delapan hari,” bisikku pada diriku sendiri saat aku memandang pantulan diriku pada cermin. Bukankah aku punya segalanya yang penting di dalam hidup ini? Lalu kenapa aku belum juga berhenti menghitung?
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page