“Justin, tunggu! Maksudmu tanggal 17 Desember ini atau Desember tahun depan?” tanyaku.
“December ini,” katanya.
“Berarti kita hanya punya waktu dua setengah bulan untuk persiapan?” tanyaku.
“Dua setengah bulan harusnya cukup,”katanya.
“Tapi dengan adanya proses akuisisi perusahaan ... kita perlu fokus pada itu,” kataku.
“Anna, itu sudah berjalan sesuai jadwalnya sendiri. Pernikahan kita tidak akan mengganggu itu dan proses itu tidak akan mengganggu pernikahan kita. Kau tidak perlu kuatir,” katanya.
“Tapi.. tapi kita juga belum mencari tempat tinggal,” kataku.
“Kupikir kau akan ingin kita tinggal di rumahmu, karena ...” katanya.
“Aku belum memikirkan itu,” kataku.
“Yah, itu terserah dirimu saja. Tempatmu oke atau kita bisa tinggal di salah satu apartemen milik orang tuamu atau orang tuaku,” katanya seolah tempat tinggal memang sama sekali bukan masalah. Dan faktanya, dia memang benar.
“Kita.. kita belum mencari tempat pesta,” kataku.
“Anna, apakah kau sedang mencari-cari alasan untuk berusaha mengundur waktu pernikahan kita?” tanyanya.
“Bukan begitu,” kataku. Tapi aku tahu memang itu yang sedang kulakukan.
“Sebenarnya kita sudah punya tempat,” katanya.
“Maksudmu?” tanyaku
“Aku kebetulan tahu ... dari mamamu ... bahwa deposit hotel yang dibayar orang tuamu untuk pernikahan bulan Junimu yang batal kemarin itu akan kadaluarsa akhir tahun ini. Jadi kukira kita gunakan saja tempat itu. Nanti aku tinggal menggantikan depositnya ke orang tuamu. Jadi tidak ada yang terbuang,” katanya. Aku memandangnya sambil menggeleng-gelengkan kepalaku. Ia mendekatkan diri supaya dapat merangkulku. “Anna, katakan saja apa yang ada di pikiranmu,” katanya.
“Aku... aku hanya pikir... pastinya kau tidak mau kita menikah di tempat di mana aku dan Dayton tadinya akan menikah,” kataku.
“Dan itu karena aku tidak mau kau memikirkan dirinya saat kita menikah nanti?” tanyanya. Aku mengangguk. Ia mendesah. “Anna, aku sudah sadar bahwa di manapun atau kapanpun kita menikah, pikiran tentang dirinya pasti akan merasuki pikiranmu lebih dari sekali,” katanya. Aku tidak tahu harus berkata apa. Itu benar. Dan aku merasa bersalah. “Anna, lihat aku,” katanya. Aku menoleh untuk memandangnya. “Itu tidak masalah buatku. Yah, itu memang menyedihkan tapi aku sudah berhasil menerimanya. Dia adalah bagian dari masa lalumu dan aku tidak dapat mengubah itu, tidak dapat menghapus itu. Yang penting buatku adalah kau menikahiku dan bukan menikahinya. Dan kau ada di sini dan bukan di sana,” katanya. Aku memandangnya. Kenapa ia selalu punya kata-kata yang tepat untuk dikatakan?
“Aku... Kupikir akan lebih baik jika kita memilih tempat yang lain,” kataku lirih.
“Begini saja! Mereka punya lebih dari satu lokasi hotel. Jadi aku akan bernegosiasi dengan mereka supaya kita dapat menggunakan salah satu dari lokasi mereka yang lain dan tetap dapat menggunakan depositnya. Begitu oke?” tanyanya. Aku mengubrak-abrik kepalaku demi mencari alasan-alasan lagi. Tapi memang tidak ada alasan lain lagi yang dapat kugunakan. Jadi aku tidak punya pilihan lain selain menganggukkan kepalaku.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page