Justin sangat membantu. Tapi itu bukan hal baru. Dia memang selalu siap membantu dan itu membuatku merasa bersalah karena setiap kali ia melakukan sesuatu untukku atau untuk keluargaku, aku merasa seperti berhutang padanya dan gunungan hutang itu terus menumpuk. Aku terus berusaha untuk membalas kebaikannya tapi tidak banyak kesempatan untuk itu. Dia sepertinya tidak pernah memerlukan bantuan apapun dariku. Dan yang sebenarnya, hari ini aku butuh bantuannya lagi. Justin tidak datang ke kantorku setiap hari. Dia masih punya banyak pekerjaan di kantor papanya. Tapi ia datang sekali atau dua kali seminggu. Mungkin lebih mudah baginya untuk meninggalkan kantor karena di sana ada papa dan ketiga kakaknya. Aku memandang jam tanganku. Sudah hampir waktunya makan siang. Dia biasanya datang sekitar jam sepuluh. Ini berarti dia tidak akan datang hari ini. Aku menangkap setitik rasa kecewa di dalam hatiku. Dengan cepat kutepis pergi. Aku tidak berhak untuk mengharapkan kedatangannya. Aku toh dapat menelponnya.
Aku mengambil ponselku dan sudah hampir menelponnya ketika aku mendengar suara langkah kakinya. Ia membuka pintuku. Kedua tangannya penuh kotak-kotak dengan logo restoran sampai dia harus membuka pintuku dengan sikunya.
“Makan siang sudah datang!” katanya.
“Oh. Kukira kau tidak datang hari ini,” kataku.
“Aku sengaja datang lebih siang supaya kau menanti-nantikan diriku,” katanya sambil tersenyum. Apakah aku tengah menanti-nantikan dirinya? Aku tidak tahu. “Aku baru dari kantor Hendry,” jelasnya. Hendry adalah salah satu bankirnya. “Dan dia punya kabar baik!” katanya sambil membuka salah satu kotak berisi makanan itu dan meletakkannya di hadapanku.
“Kabar apa?” tanyaku.
“Sudah ada dua perusahaan yang tertarik pada Goodlife! Tentu saja dia belum bisa menyebutkan nama perusahaannya karena kita belum menandatangani perjanjian kerahasiaan. Tapi off the record, dia bilang salah satunya adalah Unilever!” katanya. Aku menjatuhkan sendok plastikku.
“Yang benar?” tanyaku. Ia menangguk sambil mengambil sebuah lagi sendok plastik untuk diberikan kepadaku.
“Kamu sudah bicara dengan papamu?” tanyanya. Aku mendesah. Itulah bantuan yang kubutuhkan darinya.
“Tentang itu ... bisakah kamu ...”
“Oke. Aku bisa menemanimu untuk bicara pada papamu,” katanya. Apakah dia baru saja membaca pikiranku?
“Karena.. kau tahu dia percaya padamu dan menghargai pendapatmu,” kataku. Justin meletakkan sendoknya dan meraih tanganku.
“Anna, lihat aku,” katanya lembut. Aku memandangnya.
“Papamu percaya padamu dan dia menghargai pendapatmu juga,” katanya. Dan aku begitu ingin mempercayainya. “Jika tidak, kau tidak duduk di ruangan ini,” sambungnya. Aku hampir mengatakan bahwa aku duduk di ruangan ini hanya karena Amos tidak ada untuk duduk di sini. Tapi aku diam saja. “Nanti aku ke rumahmu sekitar jam ... tujuh?” tanyanya.
“Apakah kau baru saja mengundang dirimu sendiri untuk makan malam di rumahku?” tanyaku.
“Tentu. Karena bila ada kesempatan untuk makan malam bersama seorang gadis cantik, tentu saja aku tidak akan melewatkannya!” katanya sambil mengedipkan mata. Jika saja aku dapat memerintah mukaku untuk tidak memerah.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page