Itu seperti selon saat berjudi. Mempertaruhkan segala yang kau punya. Dan begitu aku berjalan keluar dari ruang kerja Anna, aku langsung menyesalinya. Kenapa aku harus mendesaknya ke sudut seperti itu? Kenapa aku melakukan itu? Bagaimana jika ia tidak datang nanti malam? Aku akan kehilangan segalanya. Kenapa aku tidak melakukan ini dengan cara yang lebih halus? Aku bisa saja terus mengajaknya pergi, juga bisa minta bantuan dari orang tuanya. Aku harusnya menariknya perlahan-lahan. Karena bukankah ikan akan lari bila kita menarik pancingan kita dengan terlalu tiba-tiba sebelum dia benar-benar memakan umpannya? Tapi ini semua berjalan terlalu perlahan. Yang sebenarnya, kami seperti berjalan di tempat. Dan aku tidak dapat menunggu lagi. Aku menginginkan dirinya. Tapi sekarang aku jadi berpikir... apakah ketidaksabaranku ini baik atau buruk untukku. Apa yang harus kulakukan bila nanti Anna sampai benar-benar tidak datang? Aku menggeleng untuk menghilangkan pikiran itu. Ia harus datang. Setelah semua yang kulakukan untuknya, dia tidak mungkin membiarkanku keluar dari hidupnya. Aku harus percaya itu.
Aku memastikan aku tiba lebih awal di Kahyangan. Aku tidak ingin ia datang lebih dulu. Aku ingin bisa memandangnya saat ia berjalan ke arahku. Aku sudah menanti terlalu lama untuk ini. Si pelayan mengantarku ke meja. Tidak ada banyak pengunjung di restoran itu. Tempat itu memang sedikit mahal. Dan itu restoran lama. Kahyangan bukan pilihan populer di antara kalangan muda. Tapi itu adalah restoran favorit keluargaku. Di sana kami biasanya merayakan hari-hari istimewa seperti ulang tahun dan sejenisnya. Karena itu kupikir itu tempat yang tepat untuk kencan pertama kami.
Aku memberikan pesanan kami pada si pelayan dan memintanya untuk mengeluarkannya nanti karena aku masih menunggu kekasihku. Ya, aku menggunakan kata itu. Karena jika ia memang datang, itulah dia. Karena aku sudah muak dengan situasi “hanya berteman” ini. Jika ia tidak datang... makanannya tidak perlu dikeluarkan karena aku akan terlalu sakit hati untuk makan. Minumanku datang. Aku melirik ke jam tanganku. Sudah pukul tujuh lebih lima belas menit. Ia terlambat. Tapi Jakarta memang selalu macet, terutama hari Jumat malam. Atau mungkin dia terlambat karena tadi sibuk memilih baju untu dikenakan. Atau mungkin dia perlu menggelung rambutnya terlebih dahulu. Aku tersenyum. Aku tak sabar ingin menyentuh rambut lembutnya. Aku pernah melakukannya beberapa kali, saat menenangkannya waktu Amos meninggal, dan waktu ia putus dengan Dayton. Aku memandang jam tanganku lagi. Sudah jam setengah delapan. Ia benar-benar terlambat. Atau... apakah dia memang tidak akan datang? Aku tidak ingin memikirkan kemungkinan itu. Si pelayan mendekatiku untuk melihat apakah aku perlu tambah minum dan sekalian bertanya lagi apakah makanannya boleh dikeluarkan. Aku menggeleng dan memberitahunya bahwa aku akan terus menunggu. Dan aku terus menunggu. Jam delapan kurang sedikit aku begitu kuatir dia benar-benar tidak akan muncul aku mulai berkeringat. Ya, Tuhan, apa yang harus kulakukan sekarang? Apakah aku harus pulang dan menerima kekalahan? Tidak. Aku tidak bisa kehilangan dirinya. Tidak sekarang. Dan tiba-tiba aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku akan pergi ke rumahnya dan memaksanya bilang iya dan tidak akan pulang sampai ia bilang iya. Aku baru saja hendak berdiri ketika aku melihatnya. Ia berjalan mengikuti seorang pelayan ke arahku. Jantungku melompat. Aku mengedip untuk memastikan bahwa dirinya bukan hanya sebentuk halusinasiku belaka. Ia mengenakan terusan tanpa lengan berwarna biru tua. Warna tua itu begitu kontras dengan kulitnya yang putih. Ia tersenyum ragu padaku. Dan semua kekuatiranku mengalir pergi. Dan tiba-tiba tahu bagaimana rasanya saat seseorang benar-benar bahagia. Seperti ini rasanya. Aku berdiri dan menutup jarak di antara kami. Aku menariknya ke dalam pelukanku. Aku membenamkan wajahku pada rambutnya. Ya, rambutnya diombak khusus untuk malam ini.
“Maaf aku terlambat,” katanya.
“Tidak apa-apa. Kau datang. Hanya itu yang penting,” kataku. Aku memeluknya lebih erat dan aku begitu ingin untuk terus bisa memeluknya. Tapi aku tidak ingin menarik perhatian. Dan lagi, kami toh punya seluruh sisa hidup kami bersama-sama. Aku begitu yakin akan hal itu. Aku melepaskan dirinya dan menarik kursinya supaya ia bisa duduk. Aku memberi tanda pada pelayan supaya ia bisa mulai mengeluarkan makanan.
“Terima kasih bunganya,” katanya. Aku tersenyum. Makanannya datang. Kahyangan adalah restoran shabu-shabu jadi kami harus memasak makanan kami sendiri. Aku mulai memasukkan sayuran mentah ke dalam panci di hadapan kami.
“Justin,” katanya.
“Ya?”
“Terima kasih untuk ... Monty,” katanya. Aku meletakkan sumpitku. Ia memandangku lekat-lekat, menanti jawabanku. Pastinya dia sedang ingin tahu apakah aku ingat Monty. Tentu saja aku ingat.
“Sama-sama,” kataku.
“Kau ingat Monty?” tanyanya.
“Tentu saja,” jawabku.
“Dan kau ingat bahwa kau memberikannya padaku?” tanyanya.
“Ya. Ingatan itu begitu jelas seolah terjadi kemarin,” kataku. Ia memandangku tak percaya. “Dan aku senang aku memberikannya padamu,” tambahku.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page