Aku sedang mengeluarkan sampah ketika aku melihatnya
berjalan ke arah mobilnya. Ia masuk ke dalam mobilnya, menyalakan mesin, lalu
... tidak ada yang terjadi. Mobil itu tetap berada di tempat parkirnya. Aku
jadi bingung. Tentunya dia tidak berencana untuk tidur di dalam mobilnya? Aku
mendekat. Ia sedang menangis. Aku mengetuk jendelanya dengan perlahan supaya ia
tidak kaget. Ia melihatku. Air mata yang mengalir pada pipinya begitu
menyakitkan hatiku. Apa yang terjadi? Apakah Dayton melakukan sesuatu yang
menyakitinya? Aku mencoba membuka pintu mobilnya tapi terkunci.
“Anna, buka pintunya,” kataku sambil mengetuk pelan
pada pintu mobilnya. Ia membuka kuncinya. Aku membuka pintu itu dan memandang
wajahnya. “Ssh.. apa yang kau lakukan di sini? Apa yang terjadi?” tanyaku. Ia
hanya menangis lebih keras. Aku meraihnya ke dalam pelukanku. “Ceritakan apa
yang terjadi,” kataku.
“Aku... aku perlu ke apartemen Dayton untuk memberinya
... itu,” katanya sambil menunjuk ke kotak karton kecil yang tergeletak di
kursi penumpang. Saat itulah aku melihat bahwa ia tidak lagi mengenakan cincin
pada jarinya. Dan aku langsung tahu apa yang ada di dalam kotak itu. Rupanya
saat yang kunanti-nantikan telah tiba. Ia akan mengembalikan cincin itu pada
Dayton. Aku harus memastikan ini benar-benar terjadi.
“Anna, kau tidak bisa menyetir dalam kondisi seperti
ini. Biar aku saja,” kataku. Aku memapahnya ke sisi lain mobil dan membuka
pintu untuknya. Aku mengambil kotak itu supaya dia bisa duduk. Aku meletakkan
kotak itu di pangkuannya, dan mengitari mobil untuk masuk ke kursi pengemudi.
Anna tidak mengatakan sepatah katapun selama perjalanan
ke apartemen Dayton. Dan aku terlalu gugup untuk mengatakan apa saja karena
begitu takut ia berubah pikiran. Aku ingin menekan gas untuk melaju lebih cepat
tapi aku tahu tidak boleh ada sesuatu, seperti polisi yang menangkapku karena
berkendara terlalu cepat misalnya, yang menghalangi perjalanan ini. Saat tiba
di komplek apartemen Dayton, aku melihat adanya potensi problem.
“Anna, kurasa sebaiknya kau tinggal di mobil saja. Biar
aku yang mengantarkan ini ke apartemen Dayton,” kataku. Anna memandangku.
“Kau.. kau mau melakukan itu untukku?” tanyanya.
“Aku... aku memang tidak ingin bertemu dengannya,” katanya. Ia tidak perlu
memberitahuku sebabnya. Dia takut dia akan berubah pikiran bila melihat pria
itu. Itu yang kutakutkan juga. Jika Anna sendiri yang pergi ke apartemen Dayton
untuk memberikan kotak itu, Dayton pastinya akan meminta Anna masuk. Aku memang
sudah memberikan sedikit dorongan pada Dayton untuk meninggalkan Anna. Baiklah,
aku sudah mengancamnya untuk meninggalkan Anna. Tapi untuk masalah hati, tidak
ada salahnya untuk lebih berhati-hati. Intinya, Anna tidak boleh bertemu dengan
Dayton malam ini.
“Aku akan meletakkan kotak ini di depan pintunya, lalu
kuketuk, dan aku akan bersembunyi. Tapi aku tidak akan pergi sampai melihat
dengan mataku sendiri bahwa kotak ini sudah berada di tangannya,” kataku. Anna
memandangku dan mengangguk. “Anna, kau tahu bahwa kau dapat mempercayaiku untuk
segalanya, bukan?” tanyaku. Ia mengangguk lagi. “Ok. Tunggu aku di sini. Aku
tidak akan lama.”
Saat apartemen Dayton masuk dalam jarak pandangku, kulihat
lampunya masih menyala. Itu bagus. Akan lebih sulit bagiku untuk melakukan ini
bila ia sudah tidur. Aku sudah hampir meletakkan kotak itu di depan pintunya
saat terpikir sesuatu. Ada kemungkinan Dayton tidak akan keluar dari
apartemennya. Bila ia mengintip dari lubang pintu dan melihat tidak ada orang
di luar, ia tidak akan membuka pintunya. Jadi aku mengambil sedikit tanah basah
dan mengoleskannya di depan lubang intip itu. Aku lalu meletakkan kotak itu,
mengetuk pintunya beberapa kali dan bersembunyi di antara tanaman. Sebentar
kemudian ia membuka pintunya, memeriksa lubang intipnya dan lalu ia melihat
kotak itu. Ia mengambilnya dan kembali ke dalam.
Aku berjalan kembali ke mobil Anna dan masuk.
“Dia sudah mengambilnya,” kataku sambil mengenakan tali
pengaman. Anna tidak berkata apa-apa. Aku menyetir pulang. Sepanjang perjalanan
Anna hanya menangis tanpa suara. Setelah aku memarkir mobilnya, aku menemaninya
berjalan ke apartemennya. Dengan dirinya yang seperti itu, aku tidak dapat
meninggalkannya sendirian. Dan lagi, karena sekarang ia bukan lagi seseorang
yang telah bertunangan, aku begitu ingin bersama-sama dirinya. Ia duduk di
sofanya, tidak lagi menangis. Mungkin air matanya sudah kering untuk saat itu.
Aku duduk di sebelahnya untuk memeluknya. Dan kami hanya duduk di sana entah
untuk beberapa lama. Lenganku mulai tidak terasa karena tertindih beban
tubuhnya tapi aku tidak berani bergerak. Dan saat itu juga aku tahu, bila aku
harus menghabiskan seluruh sisa hidupku seperti ini bersamanya, akan kulakukan.
Sesaat setelah tengah malam, ia tertidur di dalam pelukanku. Dengan perlahan
aku mengangkatnya untuk memindahkannya ke kamarnya. Aku membaringkan dirinya di
atas tempat tidurnya dan menyelimutinya. Aku duduk di lantai di samping tempat
tidurnya untuk memastikan dia memang masih terlelap. Jam satu aku keluar dari
kamarnya dan tidur di sofanya. Aku tidak ingin meninggalkannya sendirian.
Paling tidak untuk malam itu.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page