Mungkin aku memang dilahirkan dengan sendok emas di
dalam mulutku, atau bahkan sebutir berlian. Aku memang salah satu orang yang
paling beruntung. Hidupku begitu mudah dan sempurna sampai-sampai aku sering
merasa bersalah. Bukankah tidak ada dari kita yang dapat memilih keluarga
tempat kita dilahirkan? Mungkin aku telah melakukan banyak hal baik di
kehidupanku yang lalu sehingga berhak mendapatkan hidupku yang satu ini. Orang
tuaku mencintaiku dan memenuhi semua kebutuhanku. Makanan enak selalu ada di
meja, rumah kami lengkap dengan segala fasilitas, aku selalu disekolahkan di
tempat terbaik. Intinya, segala sesuatu yang kuperlukan selalu ada. Selama
tumbuh, aku selalu punya computer tercanggih dan banyak guru yang dipanggil
datang ke rumah untuk mengajariku basket atau apa saja yang kubutuhkan atau
kuinginkan, entah untuk urusan sekolah atau hanya demi kesenanganku. Di SMU,
aku tergabung di dalam band sekolah, aku yang menjabat sebagai ketua osis dan
aku juga yang terpilih sebagai lulusan terbaik. Setelah itu aku dikirim ke
universitas ternama di luar negeri. Orang tuaku mengirim uang yang cukup bagiku
untuk membeli mobil yang mahal, untuk tinggal di komplek apartemen mewah
lengkap dengan kolam renang dan gym. Setelah aku lulus dan pulang, ruang kantor
berlapis kayu sudah menantiku lengkap dengan meja besar dan kursi berlapis
kulit yang nyaman dan dapat berputar. Dari sana aku memimpin 1,500 karyawan dan
berhasil menggandakan angka penjualan perusahaan orang tuaku dalam waktu empat
tahun saja. Mengagumkan? Itu hanya karena aku mendapatkan banyak bantuan, dan
keberuntungan berpihak padaku.
Aku sebenarnya menanti-nantikan Anna lulus karena
kupikir setelah itu ia akan mulai bekerja di sisiku. Aku percaya kita berdua
dapat mencapai banyak hal baik. Tapi rupanya cinta membawanya ke arah lain.
Mama begitu sedih atas keputusan Anna. Ia menangis berhari-hari. Tapi karena ia
begitu menyayangi Anna, ia menyembunyikan kesedihannya. Saat ia mengirim anak
perempuan satu-satunya kuliah ke luar negeri, dipikirnya itu hanya untuk
sementara. Ia yakin anak gadisnya akan pulang, seperti aku yang juga pulang
setelah selesai. Kemungkinan Anna menikah dengan warga negara Amerika dan lalu
menetap di sana tidak pernah terbersit di dalam pikirannya sama sekali. Papa
juga belum bisa menerima hal ini. Anna toh pernah putus dengan kekasih
sebelumnya jadi pikir Papa, mungkin ia akan putus lagi. Sedihnya, aku tahu
bahwa kali ini dia serius. Dia mencintai pria itu. Aku melihat bagaimana sinar
matanya menjadi terang setiap kali ia menyebut nama pria itu. Yah, hanya bila
kau benar-benar mencintai seseorang, kau akan bersedia meninggalkan keluargamu
untuk menetap di seberang samudra.
Aku melirik jam di dasbor. Sudah hampir jam dua pagi.
Aku hampir tidak pernah pulang setelat ini tapi tadi aku baru menghadiri
pernikahan sahabatku di Bandung dan aku tinggal lebih lama dengan beberapa
teman lain setelah pestanya usai. Sabahatku sebenarnya sudah menyediakan sebuah
kamar untukku supaya aku dapat menginap dan kembali ke Jakarta pada pagi hari.
Tapi aku sudah menjadwalkan sebuah interview hari ini. Aku memang suka
menggunakan hari-hari Mingguku untuk hal-hal yang produktif. Jadi kupikir, aku
langsung pulang saja. Dan lagi, aku menikmati mengendarai mobil di tol yang
hampir kosong. Semua yang kau lihat di hadapanmu adalah jalanan panjang tak
berujung yang memberimu rasa damai. Aku menyalakan radio. Salah satu lagu
kegemaran Anna, lagu Marina berjudul The End of the Earth, adalah hal terakhir
yang kudengar sebelum benturan keras datang menghantam seluruh tubuhku, sebelum
dentuman kencang memecahkan gendang telingaku dan sebelum sinar terang yang
membutakan itu menyapu semuanya bersih. Kata orang seluruh hidupmu terlintas di
benakmu sebelum kau meninggal. Tapi mereka bohong karena satu-satunya yang
kulihat di perbatasan keberadaan adalah ... kekosongan.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page