Kata orang kesenangan dari menantikan sesuatu itu sudah setengah dari kesenangan saat sesuatu itu terjadi. Kurasa itu benar. Walaupun pernikahan bulan Juniku masih enam bulan lagi udara di sekelilingku begitu penuh dengan harapan yang manis seolah setiap detik hidupku dilumuri madu kental. Aku tidak sabar untuk bangun pagi dengan dirinya di sisiku supaya wajahnyalah yang kulihat pertama setelah mataku terbuka. Aku tidak sabar untuk pulang dari kerja dan tahu bahwa dirinya akan ada di sana menantiku. Aku bahkan tidak sabar menanti semua pekerjaan cucian di akhir minggu. Tapi tentu aku harus lulus kuliah dulu. Ya, tentu aku sudah mencoba beberapa gaun pengantin tapi belum, aku belum memutuskan yang mana yang kuinginkan. Dan aku akan membutuhkan dua gaun pengantin, satu yang lebih sederhana untuk upacara di catatan sipil dan resepsi sederhana di sini dan sebuah gaun yang lebih wah untuk resepsi yang lebih besar di Jakarta. Tentu saja aku akan membutuhkan dua kue juga. Yang lebih kecil untuk di sini dan yang lebih tinggi untuk di Jakarta. Pertamanya aku agak kuatir waktu memberitahu keluarga Dayton tentang rencana orang tuaku untuk mengundang 2,000 orang untuk datang ke resepsiku di Jakarta. Aku takut keluarga Dayton menganggap itu sebagai upaya pamer orang tuaku. Tapi untungnya mereka memberi dukungan. Nenek Qing dan mama Dayton bahkan tidak protes waktu mamaku menentukan bahwa mereka harus mengenakan gaun dengan warna tertentu. Mungkin mereka sengaja memberikan orang tuaku keleluasaan karena mereka sadar bahwa pesta ini lebih seperti pesta perpisahan daripada pesta pernikahan karena setelah itu aku akan menetap di Amerika. Jika yang terjadi sebaliknya, bila Dayton yang akan menetap di Jakarta, belum tentu mereka akan seakomodatif itu.
Aku memandang jam tanganku dan sadar jika aku tidak berangkat sekarang, aku akan terlambat. Aku berjanji untuk menjemput Dina jam 10. Dayton sedang menghadiri konferensi dosen di luar kota akhir minggu ini jadi ini saatnya bagiku dan Dina untuk pergi berbelanja sambil mengobrol. Sejak Dina bertemu Jason, kakak Justin, musim panas lalu, mereka jadi dekat. Dan bulan lalu, Jason sudah meminta Dina untuk menjadi kekasihnya lewat video call. Sejak saat itu tidak ada hal lain yang dibicarakan Dina kecuali Jason dan tentang bagaimana tidak enaknya berada di dalam hubungan jarak jauh. Aku berani bertaruh itu yang akan jadi topik utama obrolan hari ini.
Aku memarkir mobilku di tempat parkir tamu di komplek apartemen Dina. Dina tinggal di apartemen dengan dua kamar tidur di belakang kampus SCU dengan seorang mahasiswi dari Singapura bernama Linda. Kamar Linda terletak lebih dekat pintu apartemen dan karena itu, setiap kali aku ke sana, hampir selalu Linda yang membuka pintu. Tapi kali ini bukan dia yang membukakan pintu untukku. Juga bukan Dina, tapi Justin. Dan untuk sesaat aku hanya berdiri di sana karena bingung. Bukankah orang ini harusnya berada di bagian bumi yang lain? Justin lalu membuka pintu itu lebih lebar dan aku melihat Dina dan Jason berdiri beberapa langkah di belakangnya, bergandengan tangan. Senyum Dina begitu lebar karena cinta sejatinya sedang berdiri di sisinya dan bukan berada di seberang samudra sana.
“Anna, bisakah kau percaya ini? Tadi malam Jason datang untuk memberiku kejutan!” katanya.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page