Mungkin harusnya aku keluar untuk menikmati hari ini
sebelum angin dingin musim gugur benar-benar datang menggedor pintu. Dan jika
situasinya berbeda, itu mungkin memang hari Sabtu yang indah. Tapi hari-hari
ini, tidak ada yang dapat kunikmati. Aku begitu kehilangan dirinya dan aku
tidak bisa berhenti memikirkan semua yang dikatakan Nenek Qing. Jadi aku
memutuskan untuk mencuci baju. Toh jika Anna ada di sini bersamaku, ini yang
akan kami lakukan. Sebenarnya aku tidak menyukai pekerjaan ini. Mungkin aku sengaja
melakukan ini karena sedang ingin bergelimang di dalam kesedihanku. Aku menarik kedua keranjang cucianku dari
apartemenku ke ruang laundry di bawah. Anna punya mesin cuci dan pengering
sendiri di dalam apartemennya karena kompleknya komplek mahal. Karena komplek
apartemenku komplek murah, semua penghuninya menggunakan mesin cuci dan
pengering yang dioperasikan dengan uang logam di ruang laundry umum.
Aku baru selesai memasukkan semua bajuku ke mesin
ketika aku melihatnya melalui salah satu jendela di atas barisan mesin cuci.
Pertamanya kupikir mataku salah lihat. Tapi ia benar ada di sana. Ia sedang
berjalan menuju ruang laundry ini. Hatiku melompat. Matanya melebar ketika ia
melihat diriku melalui jendela. Dan ia menghentikan langkahnya. Tapi aku tidak
dapat membiarkan keberadaan semua ruang yang terbentang di antara kami. Aku
berlari keluar ruangan. Ke arahnya. Aku berlari seperti orang yang sedang
membutuhkan momentum karena hendak melompat. Aku berlari seolah ada pintu di
hadapanku yang akan menutup selamanya. Aku berlari seolah jalan di belakangku
sudah mulai hancur. Dan begitu aku dapat meraihnya, aku mendekapnya seolah
tanah di bawahku telah menghilang dan ia adalah tambang yang menyelamatkanku.
Aku memeluknya seerat yang kubisa seolah takut jika aku tidak menyentuhnya, ia
akan menguap hilang.
“Maafkan aku,” bisikku. “Aku takut kau akan
meninggalkanku setelah kau lulus tahun depan,” lanjutku. Ia mendorongku supaya
dapat memandang mataku.
“Itu sebabnya kenapa kau... tidak
menghubungiku?”tanyanya.
“Aku tahu ini bodoh. Maafkan aku,” kataku.
“Dayton, kenapa kau pikir aku tidak akan tinggal di
sini?” tanyanya.
“Bukankah kau harus ... bekerja di perusahaan
keluargamu?” tanyaku.
“Bisa jika aku mau. Tapi aku tidak harus,” katanya.
“Tidak harus?” tanyaku. Dia menggeleng. Lalu aku
menciumnya. Aku menciumnya untuk minta maaf. Aku menciumnya untuk memohon
supaya aku boleh menjadi bagian dari masa depannya. Tapi yang terutama, aku
menciumnya untuk bertanya apakah ia benar-benar menginginkan diriku, apakah aku
memang cukup.
Tak lama kemudian, setelah cucianku kering, kami sudah kembali
ke apartemenku. Anna sedang melipat cucian bersihku seperti yang dilakukannya
setiap akhir minggu. Aku memandanginya. Aku memandang tangannya. Cincinku
terlingkar pada jari manisnya. Aku baru tahu bahwa melihat wanita yang
kaucintai mengenakan cincinmu di jarinya itu begitu membahagiakan. Sesekali ia
memeluk sweater bersihku atau menempelkan T shirtku yang sudah dilipat ke
pipinya supaya ia dapat menikmati bau pakaian bersih dan kehangatan yang masih
tersisa dari mesin pengering. Dan mungkin itu terlihat seperti hal biasa yang
membosankan tapi tiba-tiba aku sadar bahwa aku menginginkan semua akhir pekanku
terlihat seperti ini. Aku mendekat dan memeluknya dari belakang.
“Kenapa kau harus memeluk bajuku padahal aku ada di
sini? Bukankah lebih baik memelukku saja?” tanyaku sambil mencium sisi
lehernya. Ia memberontak. Ia selalu kegelian setiap kali kulakukan itu.
“Kau tahu aku suka mencuci dan melipat baju,” katanya.
Dan tiba-tiba aku harus bertanya. Aku memutar tubuhnya supaya dapat melihat
wajahnya.
“Anna, aku tahu pasti bahwa kau tidak pernah mengurus
cucian di rumahmu. Tidakkah kau capek dan bosan karena harus melakukannya di
sini? Apakah suatu hari nanti kau akan... muak akan ... hal ini?” Yang
sebenarnya ingin kutanya adalah apakah ia akan muak hidup bersamaku. Anna
meletakkan T shirtku dan mengalungkan kedua lengannya pada leherku dan
meletakkan beban tubuhnya padaku. Aku suka setiap kali ia melakukan itu, seolah
ia mempercayakan semuanya padaku. Aku melingkarkan kedua tanganku pada
tubuhnya.
“Tidak akan,” katanya. Dan aku begitu ingin
mempercayainya. “Kau mau tahu kenapa?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Jika seorang anak sakit dan sedang di opname, aku
berani bertaruh ibunya tidak akan mengurus cucian hari Sabtu itu. Ia akan
berada di rumah sakit. Ketika sebuah keluarga tidak punya cukup makanan, aku
berani bertaruh tidak ada setitik pun bubuk detergent di rumah itu karena
uangnya dipakai untuk membeli makanan. Dan mereka tidak akan bisa melemparkan
baju yang baru dipakai sekali ke keranjang cucian. Ia berhenti sejenak, mungkin
untuk memberiku kesempatan untuk memikirkan semua yang dikatakannya. “Saat kita
mengurusi cucian di hari Sabtu seperti ini, ini berarti semuanya baik-baik
saja. Hanya orang yang beruntung dan benar-benar bahagia yang mampu menggunakan
hari Sabtu mereka mengurusi gunungan cucian,” katanya. Aku memandangnya dan
heran betapa ia terlihat begitu muda tapi bisa punya segunung kebijaksanaan
seperti itu. Padahal aku yang bergelar PhD di ruangan ini! “Nah sekarang, bila
kau dapat melepaskanku sejenak saja. Karena baju-baju ini tidak bisa melipat
dirinya sendiri,” katanya.
“Aku tahu,” kataku. “Tapi aku butuh menciummu lebih
dulu,” kataku. Tapi sebelum aku menciumnya, ia menciumku lebih dulu. Ia
menciumku untuk memberitahuku bahwa ia sudah memaafkanku. Ia menciumku untuk
memberitahuku bahwa diriku selalu ada di dalam semua rencana masa depannya. Dia
menciumku untuk memberitahuku bahwa baginya, aku selalu cukup.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page