Berapa orang bergelar profesor yang diperlukan untuk
mengganti bohlam lampu? Menurut nenek Qing, dia butuh satu. Jadi di sinilah
diriku, mengendarai mobil ke rumahnya karena ia bersikeras bohlam lampunya
harus diganti saat ini juga oleh cucunya yang bergelar profesor ini. Begitu aku
memasuki pekarangannya, ia langsung membuka pintu. Mungkin dia tadi berdiri
terus di dekat jendela seolah menantikan ambulans atau yang sejenisnya. Aku
tidak tahu bahwa bohlam lampu yang satu itu ternyata begitu penting.
“Akhirnya kau tiba juga!” katanya sambil menyuruhku
masuk.
“Yang mana?” tanyaku.
“Yang mana apannya?” tanyanya.
“Bohlam lampu yang mana yang harus diganti saat ini
juga dan tidak dapat menunggu sampai akhir pekan?” tanyaku.
“Oh, tidak ada bohlam yang perlu diganti,” katanya.
“Begitu? Jadi kenapa aku harus datang secepat mungkin?”
tanyaku. Ia memandangku dan mendesah seolah aku ini begitu menyedihkan seperti
anak anjing basah yang baru ditemukan di trotoar.
“Duduk,” perintahnya. Dan tiba-tiba aku merasa seperti
sedang akan ujian. “Anna tadi baru dari sini,” katanya. Jantungku melompat
hanya karena mendengar namanya disebut.
“Dia... dia ke sini?” tanyaku. Nenek Qing mengangguk.
“Untuk apa? Apakah kau yang menyuruhnya datang untuk mengganti bohlam atau
sejenisnya?” tanyaku.
“Aku tidak menyuruhnya datang. Ia datang sendiri karena
katanya .. kali terakhir kalian salah paham, aku sudah membantu. Katanya dia
butuh bantuanku lagi. Ada apa sih di antara kalian ini?” tanyanya. Giliranku
untuk mendesah.
“Aku... aku memintanya untuk menikah denganku. Dan dia
bilang iya,” kataku.
“Ya. Dia menunjukkan cincinnya,” katanya.
“Dia mengenakan cincinnya?” tanyaku. Informasi itu
begitu penting buatku.
“Ya. Kenapa? Kau pikir dia tidak mengenakannya?”
tanyanya.
“Dia... dia tidak mau mengenakannya saat kami di
Jakarta. Katanya dia tidak ingin orang tuanya kaget,” kataku.
“Apakah itu sebab kau marah padanya?” tanyanya.
“Bukan. Aku... aku tidak marah padanya,” kataku.
“Jika tidak, kenapa kau tidak menjemputnya di bandara?
Dan kenapa kau tidak menghubungi dia setelah dia kembali? Dan kenapa kau seolah
berpura-pura bahwa dia... tidak ada?” tanyanya.
“Dia bilang begitu?” tanyaku.
“Ya. Dia menceritakannya sambil berurai air mata,”
katanya.
“Dia .. menangis?” tanyaku.
“Banjir!” katanya. Dan hatiku tiba-tiba begitu sakit.
Aku telah membuatnya sedih. Tapi jika ini tidak kulakukan sekarang, bukankah
aku hanya akan menyebabkan kesedihan yang lebih besar di masa yang akan
datang?”
“Aku... aku bukan pria yang tepat untuknya,” kataku.
“Dia merasa begitu?” tanyanya.
“Tidak. Tapi itu karena dia belum tahu itu,” kataku.
“Bisa dijelaskan? Kau tahu aku tidak bergelar profesor,
jadi mungkin aku tidak langsung mengerti semua ini,” katanya.
“Nek, keluarga Anna itu... mereka sangat kaya. Rumah
mereka seperti istana,” kataku.
“Jadi?” tanyanya.
“Dan keluarganya mengharapkan dia pulang setelah lulus
nanti supaya Anna bisa membantu di bisnis keluarga mereka,” kataku.
“Anna yang bilang itu padamu?” tanyanya.
“Tidak. Tapi tidak perlu gelar profesor untuk tahu itu
semua,” kataku.
“Ya, kau memang tidak perlu gelar profesor untuk tahu
itu. Tapi kau perlu bertanya langsung padanya untuk tahu itu. Dayton, kau tidak
berhak berasumsi seperti itu, atau mengambil keputusan itu untuknya,” katanya.
Aku menyandarkan kepalaku di atas senderan sofa dan melihat ke langit-langit
seolah akan ada jawaban yang dapat kubaca di sana. Yang ada hanya lampu yang
bohlam lampunya menyala dan tidak perlu diganti.
“Aku tidak mau membuatnya dalam posisi yang sulit. Aku
tidak mau memaksanya memilih. Antara keluarganya atau aku,” kataku. Yang
sesungguhnya, aku tidak siap menerima keputusannya.
“Apakah... dia mencintaimu?” tanyanya.
“Dia bilang begitu,” kataku.
“Dan kau tidak percaya padanya?” tanyanya. Aku
menegakkan diriku untuk memandang Nenek Qing.
“Aku percaya. Itu masalahnya. Aku percaya dia
mencintaiku,” kataku.
“Dan itu masalah karena?”
“Karena cinta membuat orang buta. Cinta sudah membuatku
buta sampai-sampai baru akhir-akhir ini aku tahu bahwa aku tidak cukup baik
untuknya. Kau tahu, di rumahnya, ada 15 orang yang bekerja untuknya. Di sana,
ia tidak pernah harus mencuci satu piring pun, atau selembar saputangan pun.
Tapi denganku di sini ...”
“Jadi kau pikir cinta itu hanya tentang mencuci piring
dan baju? Dan kau menamakan dirimu
seorang profesor? Kau tahu, bila lain kali aku benar butuh bantuan mengganti
bohlam lampu, aku akan memanggil cucuku yang lain saja karena jelas-jelas kau
tidak bisa menyalakan bohlam lampu di kepalamu sendiri!” katanya.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page