Ternyata semester musim gugur itu bukan semester
terburuk yang pernah kulalui. Dan sebenarnya, setelah Anna kembali, semuanya
seperti yang seharusnya. Pohon-pohon menyajikan daun-daun dengan gradasi warna
yang pas. Pizza-pizza di cafeteria lezat. Kebanyakan murid dapat nilai
bagus. Bahkan yang biasanya bertingkah
kebanyakan diam saja karena sedang alergi. Dan anginnya ... anginnya
membisikkan nama Anna kemanapun aku pergi. Jadi itu mungkin semester musim
gugur terbaik yang pernah kulalui. Semester musim dingin yang mengikutinya juga
tidak buruk. Malam-malam di akhir minggu kami habiskan dengan bergelung di
bawah selimut tebal di depan layar Netflix, merasa tenang karena Anna sudah
menyelesaikan pekerjaan rumah dan cuciannya dan aku sudah selesai memonten
kertas-kertas dan juga sudah membersihkan apartemennya dengan penghisap debu.
Tapi yang sebenarnya, aku bahagia karena ada dia. Saat semester musim semi
tiba, Anna terlihat begitu menikmati semua kuncup-kuncup bunga yang bermunculan
di kampusnya. Santa Clara Univ memang terkenal dengan kebun mawarnya yang luas.
Semua kuncup yang mulai bermekaran itu seolah menebar janji bahwa musim panas
yang spektakuler sudah di ambang pintu. Aku tidak sabar menanti saat aku
menemani Anna pulang ke Jakarta pada musim panas ini. Saking tidak sabarnya aku
bahkan mulai membereskan koperku lebih awal dari Anna padahal dia yang biasa
membereskan koper jauh sebelum tanggal pulang karena ada banyak barang titipan
keluarganya.
“Kau beneran sudah selesai packing?” tanya Anna.
“Ya. Kau boleh memeriksanya jika tidak percaya,” kataku
sambil mempersilahkan dirinya masuk ke kamarku di mana koperku tergeletak
terbuka di atas karpet. Ia masuk dan berlutut untuk memperhatikan koperku.
“Kaos yang banyak. Sudah. Celana musim panas. Sudah. Kaca mata hitam. Sudah.
Celana renang. Sudah. Pokoknya sudah siap menuju negara di mana matahari
bersinar 365 hari setahun!” kataku. Dia tergelak.
“Jadi kau hanya membawa satu koper, ya? Cukup, kan?”
tanyanya.
“Ya, sesuai instruksimu, Nona,” kataku. Ia tersenyum.
Setiap penumpang hanya boleh membawa dua koper dan karena Anna perlu membawa
tiga koper, aku hanya dapat membawa satu. “Dan bagaimana kau akan berterima kasih
padaku untuk ini?” tanyaku.
“Kukira waktu itu aku sudah berterimakasih?” tanyanya.
“Oh, sudah ya? Hari-hari ini memang aku pelupa. Mungkin
bisa tolong diingatkan lagi bagaimana kau berterimakasih waktu itu?” tanyaku.
Ia berdiri dan menciumku.
“Sudah ingat?” tanyanya.
“Sedikit,” katanya sambil menciumnya kembali.
“Apakah kau... gugup karena akan bertemu dengan orang
tuaku?” tanyanya. Sejujurnya memang begitu.
“Apakah aku harus gugup?” tanyaku. Ia memandangku
seolah tak tahu harus mengatakan apa. “Anna, apakah kau justru yang gugup
karena aku akan bertemu orang tuamu?” tanyaku.
“Sedikit,” katanya.
“Jika demikian, kita bisa gugup bersama-sama karena
segalanya lebih baik bila bersama-sama, gugup sekalipun,” kataku. Ia tersenyum.
Dan aku senang sekali setiap kali aku berhasil membuatnya tersenyum.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page