Biasanya aku benci penerbangan panjang. Terperangkap di
tempat tertutup selama berjam-jam dan berdekatan dengan begitu banyak orang
membuatku merasa seperti tercekik. Tapi kali ini aku menikmati perjalanan
pulangku. Ya, mungkin jika kau mencintai seseorang, kau akan senang menghabiskan
18 jam ke depan duduk di sampingnya. Aku bahkan berharap penerbangan ini lebih
lama. Karena sejujurnya, aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah
penerbangan ini berakhir. Seperti apa reaksi orang tuaku nanti? Apakah Dayton
akan merasa nyaman berada di negara asing, di antara orang-orang yang tidak
dikenalnya? Apakah aku akan berhasil menggabungkan dua kehidupanku yang
berbeda? Apakah aku akan dapat menjalankan peran anak orang tuaku dan peran
kekasih Dayton secara bersamaan? Apakah Dayton akan merasa menjadi bagasi
tambahan?
“Apakah kau kedinginan?” tanya Dayton sambil
membetulkan posisi selimutku.
“Tidak,” kataku.
“Lapar?” tanyanya.
“Tidak. Tadi aku menghabiskan makananku. Makananmu yang
tidak habis,” kataku. Ia hanya mengangkat bahu. Lalu ia melihat jam tangannya.
Dia terus menerus memeriksa jam tangannya satu jam belakangan ini. “Masih
kira-kira ... tiga sampai empat jam lagi sebelum kita mendarat di Taipei,”
kataku. Ia mengangguk. Lalu ia memandangku seolah ingin mengatakan sesuatu,
tapi tidak. “Apa?” tanyaku.
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin memandangmu,” katanya.
Aku meletakkan tanganku pada pipinya dan untuk sesaat, seolah ada gelembung di
sekeliling kami yang memisahkan kami dari dunia luar sana. Jika saja bisa
selamanya seperti ini. Tiba-tiba suara pengumuman dimulai.
“Perhatian. Ini pilot kalian berbicara. Saat ini kita
sedang terbang pada ketinggian jelajah 42,000 kaki dan aku punya sebuah pesan
yang sangat istimewa untuk seorang gadis yang sangat istimewa yang duduk di
kursi 22E. Jika anda gadis yang duduk di kursi 22E, simak yang berikut ini.”
Begitu bunyi pengumumannya. Aku terkejut.
“Dayton, kursiku 22E,” kataku.
“Aku tahu,” katanya. Ia menggenggam tanganku lebih
erat. Lalu semua layar monitor di setiap sandaran bangku menjadi hitam. Saat
layar itu menyala kembali, wajah Dayton yang ada di sana. Aku memandangnya,
lalu memandang layar itu. “Aku sudah merekam pesan untukmu,” katanya.
“Dan kamu meminta sang pilot memutarnya untuk semua
orang?” tanyaku.
“Dengarkan, ya,” katanya. Dan Dayton yang terpampang
pada layar mulai berbicara.
“Anna, setahun yang lalu, disaksikan jutaan bintang di
langit, aku memintamu untuk menikah denganku,” katanya. Penumpang mulai ber ooh
dan aaah. “Tapi lalu kau lari dariku,” lanjutnya. Beberapa penumpang menyuarakan
komentar tapi dengan cepat disuruh diam oleh yang lain. “Hari ini kita berada
di ketinggian lebih dari 40,000 kaki, kita berada di langit, sedikit lebih
dekat ke bintang-bintang itu. Dan kita berada di dalam sebuah pesawat terbang.
Jadi kali ini, kau tidak akan dapat lari ke manapun.” Beberapa penumpang
tertawa. Aku tertawa. “Jadi, aku mengumpulkan keberanianku ... untuk bertanya
sekali lagi.” Lalu layar monitornya mati. Aku melihat ke arah Dayton. Ia sudah
mengeluarkan cincin itu dan memegangnya di hadapanku. Beberapa penumpang
berdiri dan berkumpul di sekitar kursi kami. Lebih banyak lagi penumpang
berdiri dan mencoba mendekat. Ada yang terinjak, ada yang tersikut.
Penumpang-penumpang sibuk menyuruh yang lain diam. Dayton berdiri dan berlutut
di gang. Tidak mudah untuk berlutut di gang yang sempit itu. Beberapa penumpang
harus mundur untuk memberi ruang pada Dayton. Beberapa terkena injak lagi, yang
lain tersikut lagi. Pramugari mulai meminta orang-orang untuk kembali duduk
tapi dia malah disuruh diam oleh para penumpang. Semua menyuruh yang lain diam.
Seorang pria akhirnya berteriak “Diam!” Lalu semuanya diam. Suasana begitu
hening sampai suara detak jantungku sendiri memekakkan telingaku. Aku memandang
Dayton. Dia masih berlutut di gang, memegang cincin itu dengan kedua tangannya.
“Anna, maukah kau menikah denganku?” tanyanya.
“Dia jawab apa?” tanya seseorang dari arah belakang.
“Dia bilang ya atau tidak?” tanya seseorang dari arah
depan. Semua orang mulai menyuruh yang lainnya diam. Seseorang, kali ini suara
seorang wanita, berteriak. “Diam!” dan semuanya kembali diam. Aku memandang
Dayton. Ia terlihat mulai gugup. Atau
mungkin lututnya mulai sakit.
“Ya,” kataku.
“Sungguh?” tanyanya.
“Ya, aku mau menikah denganmu,” kataku. Dayton mengenakan
cincin itu pada jariku.
“Ia bilang iya!” seorang wanita yang duduk di baris
depan kami mengumumkan. Dayton kembali duduk di sampingku dan menciumku.
Semuanya bertepuk tangan dan bersorak sorai. Dan beberapa mulai memberi selamat
kepada kami.
Setelahnya, saat semua kehebohan itu mereda, dengan
kepala tersandar pada bahu Dayton, aku memutar kembali yang baru terjadi
berulang-ulang di benakku. Dan aku tak bisa berhenti tersenyum. Sulit dipercaya
bahwa Dayton berhasil meminta pihak penerbangan untuk melakukan hal itu
untuknya, untukku. Dengan gerakan perlahan karena takut membangunkan Dayton,
aku menarik tanganku keluar dari bawah selimut supaya aku dapat memandang
cincinku. Aku memandanginya seolah tidak percaya cincin itu ada di sana. Tapi
memang ada. Senyumku melebar. Aku menyembunyikan tanganku ke dalam selimut lagi
dan memejamkan mataku. Dan kali ini, aku benar-benar merasa seperti sedang
berada di antara bintang. Dan aku tahu apapun yang menantiku di akhir
penerbangan ini, kami akan baik-baik saja.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page