Mungkin aku hanya menunggu selama lima menit saja tapi
rasanya seperti lebih dari lima jam. Aku mengubah posisi dudukku. Aku merasa
tidak nyaman duduk di sini membelakangi pintu karena aku jadi harus terus
menoleh untuk melihat apakah dia sudah datang. Akhirnya aku memutuskan untuk
berdiri supaya bisa menghadap pintu. Tapi lalu, mungkin lebih baik aku menunggu
di luar ruangan saja? Dengan begitu aku
akan dapat melihatnya begitu ia memasuki gedung. Aku baru hendak melangkah ke
pintu saat aku mendengarnya di luar. Ia sedang berbicara dengan Amanda.
“Apakah dia ...?”
“Ya! Ya! Di dalam sana,” potong Amanda. Aku mendengar
Dayton berlari ke arah ruang kantornya ini. Jantungku berjumpalitan. Lalu dia
muncul. Dia berdiri di bawah bingkai pintunya sambil mengatur napas. Aku begitu
ingin berlari padanya tapi aku tidak tahu apa reaksinya nanti. Ia maju setapak
dan menutup pintu di belakangnya.
“Kau ada di sini,” katanya.
“Ya,” kataku. Ia maju lagi beberapa langkah. Jantungku
rasanya seperti sudah dipinjam oleh seorang badut dan sedang digunakan sebagai
bola yang dilempar-lempar. “Dayton,” kataku. Ia berhenti beberapa langkah di
hadapanku. Menunggu. “Aku minta maaf aku lari dari Observatory,” kataku. “Aku
minta maaf ...”
“Anna,” potongnya. “Kau ada di sini,” katanya seolah
diriku ada di sana itu begitu susah dipercaya. Dan ia menutup tiga langkah di
antara kami, meraih diriku dan menciumku. Aku melingkarkan kedua tanganku pada
lehernya dan membalas ciumannya. Aku menciumnya seolah dia butiran embun dan
aku daunnya.
“Aku minta maaf karena aku tidak membukakan pintu
apartemenku,” bisikku di antara ciuman kami. Aku menciumnya seolah dia ombak
dan aku adalah pantai. “Aku minta maaf karena tidak mengajakmu pulang.” Aku
menciumnya seolah dia angin dan aku adalah layar. “Aku minta maaf karena tidak
membaca dan tidak membalas semua emailmu.” Aku menciumnya seolah dia udara dan
aku adalah api yang membutuhkannya. “Dan ... aku minta maaf karena mengira kau
menggunakanku untuk keuntungan finansial.” Ia menghentikan ciumannya untuk
memandangku.
“Apa?” tanyanya.
“Aku.. aku minta maaf karena mengira kau melamarku
hanya demi mendapatkan warisan nenekmu,” kataku.
“Itu sebabnya kau lari?” tanyanya. Aku mengangguk dan
memberitahunya apa yang dikatakan Izzy kepadaku dan juga hal sebenarnya yang
sudah dikatakan Nenek Qing kepadaku. “Oh, Anna. Jika saja aku tahu. Maaf kau
berpikir seperti itu. Ini ... ini salah keluargaku. Maaf,” katanya.
“Tidak. Seharusnya aku langsung bertanya padamu. Aku
hanya... tidak cukup berani,” kataku.
“Tapi kau ada di sini sekarang. Hanya itu yang penting,”
katanya. Dan dia mulai menciumku lagi. Ia menciumku untuk memaafkanku karena
sudah berpikiran buruk tentang dirinya. Ia menciumku untuk memaafkanku karena
tidak cukup mempercayainya. Ia menciumku
seolah ingin memberitahuku bahwa mulai sekarang, aku dapat bertanya padanya
tentang apa saja. Dan yang terpenting, ia menciumku untuk meyakinkanku bahwa
semuanya akan baik-baik saja, bahwa dia tidak akan membiarkan apapun berada di
antara kami lagi. “Aku sayang kamu,” katanya. Dan ya, ia menciumku supaya aku
tahu itu juga. Dan di dalam semua ciuman itu, aku percaya.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page