“Ne... nenek Qing?” tanyaku.
“Hai, Anna,” katanya. Aku melihat melalui pundaknya
untuk melihat apakah Dayton ada di sana. Aku mendengarkan detak jantungku
sendiri yang berdebum di dalam dadaku. “Dayton tidak ada. Aku datang sendiri,”
katanya seolah membaca pikiranku.
“Bagaimana...bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?” tanyaku.
“Oh, aku memang punya alamatmu. Ingat aku pernah
mengirimimu kartu untuk berterima kasih atas hadiah natalmu untukku?” tanyanya.
Jika diingat-ingat, memang aku sendirilah yang memberikan alamatku padanya.
“Boleh aku masuk?” tanyanya.
“Ten.. tentu,” kataku. Aku manarik napas untuk
menenangkan diri. Dan tiba-tiba aku jadi kuatir. “Apakah..apakah Dayton
baik-baik saja?” tanyaku.
“Secara fisik dia baik-baik saja. Tapi jika kau
bertanya tentang perasaannya saat ini... rasanya tidak baik-baik saja,”
katanya. Aku meremas tanganku dengan gugup. “Boleh aku duduk?” tanyanya. Aku
sampai lupa memintanya duduk.
“Oh ya. Silahkan duduk,” kataku. “Mau minum apa, Nek?”
“Air saja,” katanya. Aku ke dapur untuk mengambil dua
gelas air. Aku meletakkannya di atas meja dan duduk di hadapannya. Ia menyesap
sedikit air.
“Apa kabarmu, Anna?” tanyanya.
“Aku...aku baik,” kataku, memberikan jawaban standar.
Walau jika perasaanku yang ditanyakannya ...
“Aku harus mulai dari mana ya?” tanyanya pada dirinya
sendiri. Aku tentu saja tidak tahu jawabnya. Aku bahkan tidak tahu mengapa ia
ada di sini.
“Apakah...
apakah Dayton yang memintamu datang?” tanyaku.
“Tidak. Ia tidak tahu aku ke sini,” katanya.
“Begini deh, sebaiknya kuberi tahu dulu tentang apa
yang terjadi pada Izzy. Kau ingat Izzy?” tanyanya. Aku mengangguk. “Izzy sudah
bercerai,” katanya.
“Oh, aku turut bersedih,” kataku.
“Tidak usah bersedih. Dia lebih baik seperti itu,”
katanya. “Izzy pernah bilang padaku bahwa dia pernah memberitahumu bahwa aku
hanya akan membagikan warisan pada cucuku yang sudah menikah atau sudah
bertunangan. Nah, informasi itu tidak benar. Itu hanya spekulasi Izzy saja.
Yang sebenarnya bulan lalu aku sudah membagikan sebagian besar dari aset
finansial ku secara rata kepada ke lima cucuku. Kurasa mereka lebih bisa
mengaturnya. Dan lagi aku sudah capek harus membuat keputusan tentang investasi
mana yang harus dipilih dan kapan harus menjual atau membelinya,” katanya. Ia
lalu berhenti untuk minum air, mungkin untuk memberiku kesempatan untuk
mencerna semua yang dikatakannya. Ini berarti Dayton tidak perlu bertunangan
denganku untuk mendapatkan warisannya.
“Lalu Dayton memberikan bagiannya kepada Izzy,”
katanya. Aku memandangnya, mencoba melihat apakah aku tidak salah mengerti.
“Dayton memberikan bagiannya?” tanyaku. Nenek Qing
mengangguk.
“Ia mengambil $1,500. Katannya untuk bayar hutang kartu
kredit. Selain itu, ia memberikan semuanya kepada Izzy,” katanya.
“Kenapa?”tanyaku.
“Ia hanya bilang ia tahu Izzy lebih membutuhkannya dari
dirinya. Hanya supaya kau tahu, Izzy menandatangani perjanjian pranikah. Jadi
dia memang tidak dapat apa-apa sewaktu bercerai,” jelasnya. Aku tidah tahu
harus berkata apa atau bertanya apa lagi. Jika Dayton tidak menginginkan
warisannya, mengapa ia melamarku? Tapi tentu aku tidak dapat bertanya itu pada
Nenek Qing. Dia mungkin tidak tahu Dayton pernah melamarku.
“Baiklah, aku tidak ingin menghabiskan terlalu banyak
waktumu,” katanya sambil berdiri. “Aku hanya pikir kau perlu tahu sepotong informasi
tentang Dayton ini karena ...” dia tidak menyelesaikan kalimatnya.
Setelah ia pergi aku menyetir ke supermarket. Tapi saat
gedung supermarket itu terlihat, aku tiba-tiba sadar bahwa ada hal yang jauh
lebih penting yang harus kulakukan daripada membeli telur, roti dan susu. Aku
melewati supermarket itu dan terus melaju.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page