Aku mengajak Anna pergi makan di malam tahun baru
kemarin tapi ia menolak dengan alasan sudah ada acara lain. Pertama kupikir
mungkin dia ada acara dengan teman-temannya dari Indonesia. Tapi lalu ia juga
menolak ajakan minum tehku, dan ajakan makan siangku dan setelah itu telponku
tidak diangkat sama sekali. Aku jadi merasa jangan-jangan dia sengaja
menghindariku. Entah apa yang sudah kuperbuat yang membuatnya kesal. Apakah
ciuman di bawah mistletoe itu mengganggunya? Saat itu sepertinya tidak. Di
mobil setelah kami meninggalkan rumah nenek, dia melaporkan semua yang
dikatakan nenek padanya tentang setiap kristal koleksinya. Aku lalu membuat
beberapa lelucon dan ia tertawa. Dan saat aku mengusulkan supaya kita pergi
makan di malam tahun baru, dia bilang iya. Tapi lalu penolakan itu, yang
dilanjutkan dengan pendiaman.
Jadi saat ia tidak juga mengangkat telponnya pagi ini,
aku memutuskan untuk menemuinya. Aku sebenarnya sudah beberapa hari berpikiran
seperti itu. Tapi aku belum pergi. Mungkin aku memang pengecut. Mungkin aku
takut untuk mendapati bahwa gadis itu memang sudah tidak mau menghabiskan waktu
bersamaku lagi. Bukankah kelas-kelasnya di SCU akan mulai beberapa hari lagi?
Mungkin baginya, karena sekarang dia sudah transfer, aku hanya merupakan salah
satu dosen yang pernah dikenalnya, dan tidak lebih.
Aku memarkir mobilku di tempat parkir tamu dan berjalan
ke apartemennya. Aku mengetuk pintunya. Aku mendengar gerakan di dalam. Dia ada
di rumah. Saat ia membuka pintu itu aku harus mengerahkan segenap tenaga untuk
mengendalikan diriku untuk tidak menariknya ke dalam pelukanku. Fakta betapa
aku merindukannya mengagetkanku.
“Oh,” katanya. Matanya melebar tapi hanya sebentar.
“Aku...kau tidak membalas telponku. Jadi aku datang
untuk memastikan kau baik-baik saja,” kataku.
“Aku... aku baik-baik saja,” katanya.
“Apakah... aku
boleh masuk?” tanyaku.
“Sebenarnya aku sedang mau keluar,” katanya. Tapi aku
tidak percaya itu. Ia sedang mengenakan kaus oblong besar dengan gambar yang
sudah pudar. Aku belum pernah melihatnya keluar rumah dengan dandanan seperti
itu. Tapi mungkin juga dia hendak bertukar pakaian dulu. Tapi aku tidak akan
pergi tanpa mendapatkan jawabanku.
“Apakah kau sedang menghindariku?” tanyaku. Ia
memandangku lalu mendesah. Mungkin ia sadar bahwa aku tidak berniat pergi dari
sana. Ia mundur beberapa langkah untuk membiarkan diriku masuk.
“Aku... maaf, Dayton. Aku... tidak bisa melakukannya
lagi,” katanya. Oh tidak, apakah ini maksudnya ia tidak menginginkan diriku di
dalam hidupnya lagi?
“Melakukan apa?” tanyaku.
“Aku tidak bisa berpura-pura menjadi kekasihmu lagi.
Kau harus mencari orang lain,” katanya. Ia memandangku. Apakah kebingungan yang
ada di sorot matanya itu? Atau kesedihan? Dan tiba-tiba hatiku begitu sakit.
Aku begitu ingin membuatnya tersenyum. Tapi apakah aku punya kemampuan untuk
melakukan itu?
“Anna, aku juga tidak ingin kau berpura-pura lagi,”
kataku.
“Baiklah. Bagus seperti itu,” katanya. Ada begitu
banyak yang ingin kukatakan padanya tapi aku tak tahu di mana aku harus
memulai. Apakah aku harus mulai dengan memberitahunya bahwa aku telah
mencintainya sejak pertama kali aku melihatnya? Atau apakah aku harus mulai
dengan memohonnya untuk membiarkan diriku terus menjadi bagian dari hidupnya?
“Sebaiknya kau pergi,” katanya. Ia lalu berjalan ke arah pintu dan
membukakannya untukku. Aku memandangnya tapi ia hanya memandang lantai. Aku pun keluar. Dan saat ia menutup pintu itu
di belakangku, duniaku jatuh dan pecah seolah memang hanya terbuat dari debu
saja. Aku masuk ke mobilku. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku terus
memainkan ciuman di bawah mistletoe itu dibenakku. Mungkin itu memang hanya
sebuah ciuman singkat. Tapi aku tahu ada sesuatu di sana. Pasti ada! Aku pun
keluar dari mobilku, membanting pintu itu di belakangku dan berlari.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page