Seperti yang kukira, ia mendapatkan A untuk ujian tengah semesternya. Ia bahkan mendapatkan nilai 100 dan itu membuatku senang. Tidak seperti yang dikira murid-murid bahwa dosen-dosen senang bila murid-muridnya mendapati soal-soal ujian susah sehingga tidak mendapatkan nilai tinggi, yang sebenarnya, dosen lebih suka bila murid-muridnya tetap mendapatkan nilai bagus walaupun soalnya susah karena itu berarti si dosen telah melakukan pekerjaannya dengan baik. Sebagai dosen baru, aku sangat memerlukan validasi itu. Seminggu dua kali pada jam kantorku, aku selalu berharap dia akan datang. Dia tidak pernah datang. Aku tahu dia memang tidak perlu datang ke kantorku. Nilai ujiannya membuktikan bahwa dia mengerti semua konsep dengan sempurna. Tapi banyak mahasiswa yang menemui dosen mereka di luar jam kelas demi memastikan si dosen mengenal mereka. Karena toh seorang dosen bukan robot dan biar bagaimanapun juga, pasti ada unsur subjectivitas sewaktu seorang dosen memberikan nilai.
Fakta bahwa ia tidak pernah berusaha membuat diriku lebih mengenalnya menggangguku. Tapi jika dia tidak mengusahakan itu, bukankah aku sendiri bisa berusaha? Aku memang melakukannya secara sembunyi-sembunyi dengan mencari informasi dari dosen pembimbingnya. Tapi toh aku hanya melakukan ini dengan niat baik. Ada sebuah kompetisi untuk mahasiswa jurusan bisnis yang dilaksanakan oleh University of California dan kata dosen pembimbing Anna, gadis itu berniat untuk mendaftar ke UC Berkeley tahun depan. Jika ia ikut kompetisi ini dan bila sampai menang, kemungkinan dirinya diterima di UC Berkeley akan melonjak. Apalagi sekarang ini, dengan persaingan yang begitu ketat, nilai yang baik saja mungkin tidak cukup. Kau membutuhkan sesuatu yang membuatmu berbeda, yang membuatmu bersinar paling terang di antara semua calon yang lain. Di mataku, dia memang sudah berbeda. Dan sekarang yang harus kulakukan adalah membuat UC Berkeley melihatnya demikian.
Wajahnya terlihat bingung saat aku memintanya datang ke kantorku. Mungkin ia mencoba berpikir dan mencari-cari apa kira-kira yang telah diperbuatnya yang tidak berkenan tapi tidak menemukan apa-apa.
“Apakah tentang pekerjaan rumah, Prof? Karena itu sudah kuserahkan kemarin,” katanya.
“Bukan. Bukan tentang itu. Nanti saja kujelaskan. Kau bisa datang jam 4:30?” tanyaku.
“4:30? Tapi bukankah jam kantormu hanya sampai jam 4?” tanyanya. Rupanya dia hafal jam kantorku di luar kepala! Entah kenapa itu membuatku senang.
“Ya, Tapi aku ...” aku baru saja hendak mengatakan bahwa aku tidak ingin dirinya mengantre seperti yang lain tapi aku kuatir itu terdengar seperti pilih kasih. “Kurasa jam kantorku akan habis kupakai untuk menjawab pertanyaan teman-temanmu dan aku masih harus menelpon beberapa orang sesudah itu,” kataku. Ia memandangku seolah berusaha membaca pikiranku. Aku telah berhasil membuatnya penasaran. “Jadi, jam 4:30?” tanyaku. Ia menggangguk. Anggukannya perlahan tapi toh itu artinya iya. Dan itu membuat hariku begitu ceria.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page