Malam ini sebenarnya tidak dingin, tapi Lisa malah menggigil. Ia menatap gelisah dari belakang panggung. Seharusnya dia tidak berburuk sangka dengan mengira pensi sekolahnya akan jadi acara yang biasa-biasa saja dengan panggung dan dekorasi sederhana ditambah pengunjungnya yang mungkin bisa dihitung jari. Namun, dia seratus persen salah. Ini, sih, sudah mirip konser mini, padahal sekolah tempat belajarnya sekarang bukanlah sekolah elit maupun sekolah favorit.
“Nervous?” Rika datang dan mengagetkannya dari belakang.
Lisa mendesis. “Iya, lah! Gue grogi berat, nih. Gue nggak tahu kalau pensi bakal ramai banget kayak. Lapangan sekolah sampai penuh pula. Kayaknya berkali-kali latihan dan ikut geladi bersih nggak berguna, deh.” Padahal rencananya ikut tampil di pensi untuk mengaku di depan khalayak bahwa dia adalah anak Richard Vroom kalau thread yang dibuatnya tidak berhasil viral. Siapa tahu ada yang merekam dan mengunggahnya ke media sosial. Namun, ternyata planingnya itu gagal total. Entah dia harus senang atau sedih.
Rika terbahak-bahak. Tidak salah ia memilih untuk menemani Lisa di belakang panggung. “By the way, nyokap lo ada di mana? Gue belum kasih salam, nih.” tanyanya sambil berusaha melihat dengan jelas deretan penonton.
“Di situ.” Lisa menunjuk bagian kiri di mana kursi-kursi yang disediakan khusus oleh panitia pensi untuk para orang tua, guru, staf sekolah, atau penonton yang memiliki masalah kesehatan.
Rika melongok dan menemukan ibunya Lisa duduk di deretan kursi paling akhir. Di belakangnya, Tirta berdiri menjulang seperti pengawal. Sedangkan di sebelah kanannya ada laki-laki dewasa—Lisa memberitahunya bahwa laki-laki itu adalah kawan lama ibunya sekaligus ayahnya Tirta. “Mereka semua pasti penasaran sama penampilan lo.”
Lisa terduduk lesu di kursi plastik milik panitia. “Gue nggak usah tampil aja kali, ya?”
“Enak aja!” Rika berteriak kesal. “Semua orang penasaran sama penampilan lo. Apalagi setelah kasus lo yang bikin heboh Se-Indonesia Raya plus luar negeri, gue rasa—eh, sorry.” Dia tak jadi melanjutkan ucapannya. Aduh, kenapa harus kelepasan bicara segala? Rika merutuki diri.
Helaan napas lelah Lisa meluncur sebelum ia berkata, “Nggak apa-apa. Lagian masalahnya sudah selesai, kok.”
“Gue nggak sangka banget sih kalau dia masih lanjut jadi juri Next-Idol. Harusnya diboikot aja.”
Lisa terkekeh. “Lo julid banget asli.”
Rika menampar lengan Lisa. Tidak kencang sebenarnya, tapi tetap saja sakit. “Ya, karena dia sudah jahat sama lo dan Lo itu teman gue. Makanya gue masih nggak terima dia masih jadi juri!”
“Bisa jadi karena pada dasarnya orang Indonesia gampang memaafkan? Gue nggak tahu juga, sih. Tapi menurut gue, karena rating. Lo lihat, kan, Si Richard malah semakin terkenal walau banyak yang hujat. Di luar negeri pun dia didukung.” Lisa tertawa, sementara Rika memandangnya aneh.
“Gue baru tahu ada orang yang suka ketawain diri sendiri.”
“Hidup gue emang penuh lawak, sih. Kayak sinetron komedi.”
Rika menepuk-nepuk pundak temannya itu sebagai tanda solidaritas. “Habis ini, lo ada rencana apa?”
“Habis manggung? Ya, pulang, lah. Malas banget di sini. Kasihan ibu gue kalau pulang kemalaman.”
“Bukan, bego!” Rika menyalak jengkel. “Rencana lo habis lulus sekolah.”
Lagi-lagi Lisa tertawa. “Eum ... mungkin kuliah. Di ... Belanda? Nggak tahu juga. Tunggu bokap gue kasih izin. Tapi, sebelumnya, gue tentu bakal porotin dia dulu sampai miskin. Hahaha!” katanya sembari menepuk-nepuk case gitar fender stratocaster yang baru dibelinya minggu lalu. Sekarang dia memiliki sumber dana tak terbatas yang bisa ia minta kapan saja dan di mana saja. Seperti kata pepatah, sebagian masalah hidup hilang jika memiliki uang.
“Lo nggak takut istri barunya marah?” Rika kembali memasang muka julidnya.
Lisa menggeleng dengan penuh percaya diri. “Ibu tiri gue itu baik, kok. Dia bahkan panggil gue Fairy. Hahaha ... Lucu nggak, sih?”
Rika agak terkejut mendengar informasi yang satu itu. “Terus, nyokap lo, bagaimana?”
“Move on, lah!” Lisa mengangkat bahu. “Kata nyokap gue, piring yang pecah nggak bisa disatukan lagi, paling cuma bisa disimpan buat kenang-kenangan."
Rika berceka kagum. “Nyokap lo keren banget, sih.”
“Jelas. Anaknya juga keren, kok.”
Dengkusan geli keluar dari mulut Rika. Bertepatan dengan itu, salah seorang kakak kelas yang menjadi panitia memanggil Lisa.
“Gue tampil dulu, Sist,” ujarnya sebelum menghampiri kakak kelasnya itu.
-oOo-
Ini pertama kalinya bagi Lisa berdiri di panggung yang dihadiri penonton segini banyaknya. Setelah kejadian sembilan tahun lalu yang membuat trauma, ia bahkan tak pernah mau membayangkan dirinya di posisi seperti sekarang.
Jalan hidup itu benar-benar tidak ada yang tahu, ya.
“Lisa, sudah siap? Di sini sudah oke.” Kakak kelas lelaki yang saat ini bertugas sebagai stage manager memberitahunya bahwa musik pengiring yang ia siapkan sudah beres.
Lisa mengangguk. Setelah gitarnya selesai disetem, ia bangkit lalu berjalan menuju tengah panggung. Dadanya yang berdegup cepat serta euforia yang meletup-letup membuatnya terasa lebih hidup. Ia sadar betul mimpinya menjadi musisi hebat masih tersimpan rapat di dalam relung hatinya yang terdalam. Ia melihat ke atas, di mana lampu sorot warna-warni bergerak acak menyinari tiap sudut panggung.
Ini saatnya. Ini saatnya dia bersinar dan meninggalkan masa lalu yang membelenggu.
Sambil terpejam, ia menghela napas panjang. Selamat tinggal Elisa yang menyedihkan. Selamat datang Elisa yang berani memperjuangkan harapan.
Mimpinya untuk menjadi musisi hebat sekarang terbentang di depan mata!
“Selamat malam semuanya!” seru Lisa. Mic yang berada di dekat mulutnya berdengung, diikuti sorak-sorai antusiasme penonton, yang sebagian besar adalah pasangan muda-mudi. “Malam ini mari kita bergoyang. Jangan ada yang duduk, ya. Let’s rock the stage!”
Di panggung ini Lisa berencana membawakan tiga lagu.
Lagu pertama, Lisa memilih Jet Lag. Sebenarnya, bukan karena ia suka dengan lagunya, tapi lagu itu bisa dibilang lagu pembuka jalannya yang suram. Coba saja kalau dia tidak memainkan lagu itu, mungkin sampai sekarang ia masih menjadi Lisa yang pesimis dan tak memercayai kemampuannya sendiri.
“Heart, heart, heart is so jet-lagged.”
Pemandangan penonton yang ikut bernyanyi dan melompat-lompat mengikuti irama lagu membuat adrenalinnya mengalir lebih deras. Permainannya memanas. Lisa tak bisa berhenti tersenyum bahkan sampai lagu habis.
Lagu kedua, ia ingin menantang diri dengan membawakan cover Smells Like Teen Spirit.
Jeritan penonton menggila ketika Lisa memainkan intro lagu.
“Ayo, siapa yang mau ikutan nyanyi di panggung sini? Tempat dan waktu dipersilakan," tawar Lisa.
Sebuah tangan terangkat. Lisa tidak tahu siapa orang itu karena dia berdiri tepat di tengah-tengah kerumunan penonton. Lisa meminta stage manager untuk menghentikan lagu.
“Ya, yang pakai kemeja kotak-kotak biru itu silakan maju ke panggung,” ajak Lisa.
Orang yang dipanggil pun keluar dari kerumunan. Cowok ternyata dan rupanya ia pun membawa gitarnya sendiri. Tubuhnya tinggi. Kepalanya ditutupi topi baseball sehingga Lisa tidak bisa melihat keseluruhan wajahnya.
“Coba, Kak, maju ke panggung sini.” Lisa meminta sekali lagi.
Kerumunan penonton seketika terbelah jadi dua membentuk sebuah jalan untuk si cowok. Sesampainya di atas panggung, cowok itu tak segera membuka topinya.
“Siapa nama kamu?” tanya Lisa untuk membantunya memperkenalkan diri.
Selama beberapa saat si cowok tak kunjung buka suara. Penonton, pun termasuk Lisa dibuat bingung oleh tingkahnya.
“Aku boleh tahu siapa namanya?” Lisa bertanya sekali lagi.
Kali ini si cowok berbisik di telinganya. “Zidan.”
Lisa tersentak dan refleks menjauhkan kepala. Matanya melotot kaget. “Zia!”
Mendengar nama selebriti yang akhir-akhir ini wara-wiri di berbagai podcast, membuat cewek-cewek berteriak histeris.
Zidan pun tersenyum lebar dan langsung membuka topinya. “Sorry, Guys, kalau kalian merasa aku ganggu di pensi ini, tapi aku sebenarnya sudah kerjasama dengan panitia buat kasih kejutan buat temanku yang juga pernah bikin geger Indonesia ini.” Ia menunjuk Lisa sambil menyengir lebar.
Lisa malu bukan main saat seluruh pengunjung pensi menyorakinya. Dia tahu mereka semua tidak bermaksud menghina, lebih tepatnya menggoda. Dengan sebal ia memukul lengan Zidan.
“Bego.” Lisa mengatakan kata itu tanpa suara, tapi Zidan bisa melihat dengan jelas gerakan bibirnya.
“Mulai?” Zidan memberikan kode. Lisa pun mengangguk.
Tak butuh waktu lama bagi Zidan untuk menyiapkan gitarnya. Setelah yakin semua aman terkendali cowok itu mengirimkan tanda ‘OK’ pada stage manager.
“Kayaknya lo akrab banget sama kakak kelas gue?” bisik Lisa.
Zidan menyengir lebar. “Well, dia pacarnya teman gue.”
Lagu Smells Like Teens Spirit mengalun dan mulai mengguncang tempat acara. Tak ada satu pun yang tak bernyanyi dan menikmati aksi panggung duet Zidan-Lisa. Memasuki chorus terakhir, Zidan berbisik.
“By the way, ada kejutan lain buat lo selain dari gue.”
Lisa menatap cowok di sampingnya dengan dahi berkerut dalam. “Kejutan apa?”
“Lihat aja nanti.” Zidan menyengir puas. Ketika lagu selesai, ia pun pamit turun panggung meninggalkan Lisa sendiri.
“Ehem ... ini adalah lagu terakhir. Dan lagu ini mungkin nggak terlalu rock kayak dua lagu sebelumnya.” Lisa menatap sekeliling. Antusiasme penonton masih sama seperti di awal rupanya. “Judul lagu yang mau aku bawakan yaitu Fix You dari Coldplay.”
Belum sempat Lisa memetik gitarnya, tiba-tiba saja ada suara nyanyian dari pengeras suara.
“When you try your best, but you don’t succeed.”
Teriakan penonton seketika bergema. Kali ini lebih kuat dibanding ketika Zidan baru hadir tadi.
Lisa menoleh ke belakang dan amat terkejut saat mendapati Eri berjalan menghampirinya.
“Papa?” ujarnya lirih.
Eri tak membalas. Ia masih lanjut bernyanyi. “When you get what you want but not what you need. Could it be worse? Lights will guide you home and ignite your bones. And I will try tou fix you.”
Lisa tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Dia cuma bisa mendengkus geli lau menyambar mic yang berada di tangan Eri. “Dimohon untuk Meneer Richard Vroom, jangan suka ganti-ganti lirik lagu orang.”
Eri tertawa dan meminta kembali mic-nya. Pekikan penonton makin tak terkendali. Eri pun mengangkat tangannya, meminta mereka untuk sedikit tenang. “Khusus malam ini, saya mau bikin kejutan buat putri saya tercinta.” Ia mengalihkan pandangannya kembali pada Lisa. “Kamu mau duet sama papa?”
Lisa terkekeh. “Fix you?”
“Fix our broken bond and start our future together, My Guitar Fairy.”