Read More >>"> Lullaby Untuk Lisa (#Track 16 - Ego) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lullaby Untuk Lisa
MENU
About Us  

Okay. Tot horens, Engel. Prettige dag. Love ya[1].” Lelaki itu memutuskan sambungan telepon dan memasukan kembali ponselnya ke kantong jeans, lalu menyandarkan tubuhnya pada teralis balkon. Hawa panas dan lembap Jakarta begitu berbeda dengan dinginnya Den Haag, tapi entah mengapa ia merasa terbiasa, meski sudah sembilan tahun berlalu ia meninggalkan Indonesia.

Ia menyalakan rokoknya yang ketiga untuk malam ini, menyesapnya pelan, lalu mengembuskan asapnya ke udara. Ia melihat ke bawah. Jalanan yang padat, kerlap-kerlip lampu bangunan dan kendaraan, serta angin yang berembus pelan seolah-olah membawa kembali kenangan-kenangan yang teronggok di belakang kepala. Kota in menyimpan begitu banyak memori; duka, gembira, tangis, dan frustrasi.

Lelaki itu lantas meraih sebuah benda kecil yang selalu ia bawa layaknya jimat dari saku jaket. Dulu, jepit rambut berbentuk tanda kunci trebel ini ada sepasang, yang sengaja ia beli sebagai hadiah ulang tahun ketiga untuk salah seorang yang telah berjasa mengubah hidupnya. Ia tidak ingat ke mana pasangan lainnya dari benda ini. Yang ada di ingatannya saat itu adalah ia yang marah dan kecewa, menyambar apapun yang ia perlukan dari atas meja dan tak sengaja menjatuhkan kotak kecil berwarna silver hingga isinya berhamburan. Dirinya kemudian berjongkok, merapikan, lalu meletakkan kembali ke tempatnya semula. Sebelum beranjak, ia bisa melihat satu jepit rambut yang tertinggal.

“Papa? Papa mau ke mana?”

Lelaki itu terperanjat saat suara halus peri kecilnya menyapa telinga. Ia menoleh, menatap mata bulat perinya dengan pandangan sedih. “Lisa. Jangan ke sini. Di kamar aja, ya. Tunggu Mama pulang, oke?”

Peri kecilnya menggeleng keras. Rambutnya yang dihiasi jepit berbentuk tanda kunci trebel bergoyang cepat. “Papa mau ke mana? Mau pergi? Lisa boleh ikut, nggak?”

Seolah tuli, lelaki itu bangkit berdiri. Jepit rambut di tangannya tanpa sadar ia masukkan ke dalam saku celana. “Papa pergi dulu, Lisa. Jadi anak baik, ya,” ucapnya tanpa menoleh sama sekali. Ia lantas melangkah keluar, mengunci pintu, lalu membuang kunci itu ke sembarang arah, tak memedulikan tangis keras peri kecil yang ia tinggalkan di dalam.

Lelaki itu menghela napas pelan, kemudian memasukkan kembali jepit rambut itu ke dalam saku jaket. Rokok yang tinggal setengah ia hancurkan di dalam asbak.

Apa kabar peri kecilnya itu? Apakah perinya hidup dengan baik?

Apakah ia akan bertemu lagi dengannya?

Ada begitu banyak pertanyaan menggantung yang tak berani ia utarakan. Masalah yang terjadi antara dirinya, Nina, dan Bagas sudah ia anggap selesai bertahun-tahun yang lalu. Ia sudah tidak lagi mempermasalahkan sakit hatinya itu karena ia sudah tahu cerita di balik semuanya. Ya, semuanya. Mulai dari sengketa warisan, kecelakaan Nina, sampai ke pengakuan perselingkuhan Nina dengan Bagas.

Lelaki itu mendadak memukul teralis demi meluapkan sesak.

Ia telah mengetahui perselingkuhan Bagas dengan Nina adalah kebohongan. Kenyataan yang menyakitkan. Ingin sekali ia meminta maaf dan bersujud di kaki muse-nya itu. Keluarga ibunya yang keji membuatnya cacat dan membuatnya berlindung di balik dusta. Namun, egonya yang setinggi gunung memaksanya untuk tetap berpegang teguh bahwa kebohongan adalah hal yang tak termaafkan.

Juga ... tentang perinya. Peri kecilnya yang malang. Mereka berdua berkata jika perinya bukan anak kandungnya.

Lelaki itu luruh bersamaan dengan hatinya yang tercabik-cabik. Ia jatuh, memeluk lutut, dan terisak-isak, tak peduli jika manajer dan timnya mendengar dari unit apartemen sebelah. Ia begitu merindukan peri kecilnya—peri kecilnya yang selalu menjadi kebanggaan. Sekarang ia kembali. Tujuannya bukan mencari ketenaran, melainkan menyelesaikan masalah yang membelenggunya selama ini. Ia telah memutuskan hubungan dengan keluarga besar ibunya setelah memberikan harta yang mereka minta. Yang tinggal ia lakukan adalah meminta pengampunan dari muse dan peri kecilnya.

“Lisa, tunggu papa. Maafkan papa, Nak,” lirihnya yang disambung dengan nyanyian yang dulu sering ia nyanyikan sebagai pengantar tidur untuk peri kecilnya itu.

Ponselnya seketika bergetar, tanda pesan masuk. Lelaki itu segera membacanya.

Mijn Knuffelbeer, I’ll always be here for you, you know that? I fully support your decision no matter what. Wishing you’ll meet your Lil Guitar Fairy soon. Love you.[2]

Lelaki itu tersenyum. Ia memang tidak pernah menyembunyikan masa lalunya, terutama dari wanita yang kini dengan tulus menyerahkan sisa hidupnya untuk mendukung dirinya.

Di tengah lamunannya, lelaki itu tak sadar jika pintu apartemennya telah terbuka dan yang menjadi tersangka utamanya adalah manajernya sendiri.

“I have two news for you. Good and bad. Which one do you wanna hear?”

“Both.” Si lelaki duduk berselonjor dengan punggung bersandar teralis. “I’m too tired to move.”

“Well, seems like your lil fairy starts taking revenge for you.”

Dahi si lelaki berkerut dalam. “What?”

Si manajer menyerahkan tabletnya yang tengah membuka profil akun gosip paling terkenal di Indonesia. “They told me.”

Lelaki itu tahu siapa ‘they’ yang dimaksud manajernya. Mereka adalah para orang dalam ajang pencarian bakat yang menjadi penanggung jawab dirinya selama di Indonesia.

“Ya know, the news spread like wildfire![3]” lanjut manajernya.

Lelaki itu terkekeh. Ia sudah bisa mengira ini akan terjadi. "Well, she's my lil fairy after all."

-oOo-

Keesokan harinya, seperti yang Lisa prediksi, ponselnya mati total. Memang ponsel itu sudah tidak layak pakai, mau bagaimana lagi, kan? Ia kemudian bergegas berangkat sekolah. Ibunya sudah berangkat terlebih dulu karena ia masuk shift pagi. Setibanya di kelas, pekikan dari Rika menyambutnya dari depan pintu.

“Gila! Gila, lo!” Rika memeluk Lisa erat dan menempel kepadanya seperti stiker.

Lisa yang risih berusaha melepaskan diri. “Kenapa, sih? Lo yang gila!” serunya sewot.

Rika mencebik. Ia lantas mengeluarkan ponselnya dari saku kemeja. “Zia notice gue! Nih, nih, lihat.” Dengan semangat cewek itu menunjukkan video dirinya yang tengah memainkan lagu Jet Lag yang diambil lebih dari seminggu lalu. “Ya, walaupun telat hampir dua minggu dia kasih like, nggak apa-apa, ya. Yang penting Zia notice VT gue. Eh, dia komen juga!”

Sebelah alis Lisa terangkat naik ketika Rika menunjukkan komentar yang dimaksud.

Keren … Boleh nih ajak temen kamu buat duet sama aku. Nanti aku kontak lagi, ya~

Lisa mendengkus. Dia tidak mungkin bilang kalau Zia dan dirinya sudah mengenal secara personal. Bisa-bisa Rika yang suka baca novel itu mengarang cerita sembarangan.

“Wah, keren, dong.” Lisa mengomentari sekenanya. Ia bergegas menuju kursinya karena sebentar lagi bel masuk, sementara Rika mengekor di belakang.

“Lisa, Lisa, kalau lo terkenal jangan lupa sama gue, ya.”

Tawa geli Lisa meluncur begitu saja. “Temen lo ini juga sebentar lagi bakal terkenal. Omong-omong, gue lupa bilang terima kasih karena waktu itu lo sudah kasih tau gue caranya main Twitter.”

Dahi Rika mengerut. “Apa hubungannya lo terkenal sama main Twitter?” Ada jeda sejenak sebelum dia melotot tidak percaya. “Lo bikin thread apa? Ayo bilang sini. Kasih tahu gue nama akun lo, cepat!”

Sayangnya, bel telah berbunyi berbarengan dengan kedatangan guru matematika. Lisa terkikik. Dia jadi terselamatkan.

Hari ini Lisa belum melihat notifikasi yang masuk ke akun media sosialnya. Nanti saja dia lihat ketika jam istirahat di ruang lab komputer. Sepertinya dalam waktu dekat ini ia harus membeli ponsel baru.

Ketika istirahat tiba, Rika tiba-tiba berteriak girang. “Zia update cover!”

Lisa melirik temannya itu. Penasaran juga apa yang Zidan unggah di media sosialnya hari ini.

Rika menyetel video cover berdurasi satu menit itu dengan volume cukup keras. Orang-orang di jarak radius lima meter dari mereka mungkin masih bisa mendengar.

Dahi Lisa berkerut. “Lagu apa, nih?” tanyanya bingung saat telinganya menangkap melodi dari gitar listrik yang dimainkan Zidan, lengkap dengan instrumen musik lain sebagai latar.

“Cover barunya Zia. Judulnya ... sebentar.” Rika membaca caption unggahan video Zidan. “Judulnya Elise. Penyanyi aslinya The Green Diamonds. Wah, gila, lagunya rilis tahun tujuh satu ternyata. Zia memang suka cover lagu-lagu jadul, sih, ya.”

Elise? The Green Diamonds? Jadi ini lagunya. Lagu yang Zidan tebak adalah inspirasi namanya. Kenapa Zidan tiba-tiba mencover lagu ini? Namun, kalau dipikir lagi, bukan haknya untuk protes.

“Elise ini nama orang bukan, sih? Mirip nama lo ya, Lisa.”

Ucapan Rika barusan membuat Lisa terdiam. Elise. Elisa. Memang terdengar sama. Namun, seperti yang ia katakan pada Zidan sebelumnya; dia tidak bangga. “Bisa jadi,” balasnya asal.

Do you remember that day? When you went away ...

Lisa mendengarkan baik-baik nyanyian Zidan. Dia sejujurnya tidak mengerti liriknya, tapi permainan cowok itu mampu membawa perasaan putus asa dan kesedihan yang mungkin ingin disampaikan oleh pencipta lagu itu.

Setelah selesai mendengarkan, Rika mendesah sedih. “Lagunya deep banget.”

“Arti liriknya apa?” Lisa bertanya penasaran.

“Yang gue tangkap, liriknya tentang seorang yang patah hati karena orang yang dia perjuangkan menolak cintanya. Intinya sih cerita tentang sadboy atau sadgirl,” jelas Rika. “Gue jadi penasaran sama lagu aslinya. Biasanya, kan, Zia kalau bikin cover tuh lagu-lagu rock, kenapa sekarang malah lagu sedih?” Ia lalu membuka aplikasi Youtube lalu mencari lagu yang dimaksud.

Lagu Elise yang dimainkan Zidan cukup berbeda dengan versi asli rupanya. Elise milik The Green Emeralds cuma mengandalkan melodi dari gitar akustik dengan sentuhan capella dan synthesizer khas musik melankolis 70an, sedangkan Zidan adalah versi pop-rock dari lagu ini. Lisa menarik napas. Pantas saja Rika bilang tadi lagu ini menceritakan tentang sadboy. Apakah lagu ini diciptakan oleh kakeknya berdasarkan pengalaman ditolak oleh neneknya? Ah, dia jadi ingin menertawai, tapi masa bodoh, lah. Dia tidak peduli.

Ia lalu melirik jam dinding. Istirahat lima belas menit berakhir. Karena tidak ingin rencananya ke ruangan lab komputer tertunda, terpaksa ia meninggalkan temannya itu dengan dalih ia ingin ke kantin untuk beli makanan.

Rika mengiyakan, meski enggan. Padahal ia membawa donat kentang dan kwetiaw goreng buatan ayahnya, yang niatnya ingin dia bagi pada Lisa. Namun, tidak apa-apa. Usai Lisa kembali dari kantin dia bisa mengajak—memaksa lebih tepatnya—temannya itu untuk menghabiskan bekalnya bersama.

Ruang lab komputer di jam istirahat seharusnya tidak boleh digunakan, tapi karena Lisa mengenal guru TIKnya cukup baik, karena guru lelaki itu adalah anak dari ketua yayasan, ia pun diperobolehkan.

“Jangan lama-lama, ya, Lisa. Kalau bisa sebelum bel istirahat kamu sudah selesai!” seru si guru sebelum keluar dari ruang lab menuju ruang guru.

“Oke, Pak.” Lisa tersenyum lebar. Ada untungnya juga ibunya dulu bekerja jadi asisten rumah tangga ketua yayasan. Ia pun mendatangi komputer yang paling dekat dengan pintu. Karena komputer itu sudah menyala, ia bisa langsung menjelajah mesin pencarian dan masuk ke akun Twitternya.

Di profil akun yang ia beri nama eliseanneke—ia sengaja memakai nama lengkapnya sebagai umpan—terdapat sebuah utas yang ia sematkan

Di twit pertama, ia menulis:

Twitter Please Do Your Magic

Perkenalkan, aku Elise Anneke. Aku ingin bercerita bagaimana jahatnya seorang Richard Vroom, penyanyi yang terkenal itu meninggalkanku dan ibuku 9th yang lalu (thread)

Twit itu bersambung ke twit kedua:

Thread ini aku buat karena aku ingin aku mendapatkan hak anak yang seharusnya diberikan oleh Richard Vroom.

Pada twit ketiga dan seterusnya Lisa menceritakan kronologi lengkap bagaimana Richard meninggalkan keluarganya. Ia sengaja menghilangkan bagian ibunya yang sengaja membuat kebohongan terlah berselingkuh dengan papi. Ia jelas tidak ingin ibunya ikut terseret ke dalam masalah ini, apalagi terkena ujaran kebencian. Biar dirinya saja yang menanggung semua itu.

Lisa juga tidak lupa membagikan bukti-bukti berupa foto keluarga beserta akta kelahiran dan kartu keluarga. Ada beberapa data yang sengaja ia kaburkan seperti nomor kependudukan. Ia juga sengaja menutupi wajah ibunya dengan stiker agar wajah ibunya tidak dikenali. Cukup wajah masa kecilnya dan muka Richard yang tampak.

Utas Twitter yang dibuatnya sudah dilihat puluhan ribu akun, mendapat ribuan like dan retweet, beserta ratusan komentar. Cepat juga naiknya. Padahal kemarin utasnya itu baru dilihat ribuan akun saja. Omong-omong, ia sengaja mengabaikan direct message karena kata Rika, orang bisa sangat kejam dan tidak tahu diri ketika mengirim pesan pribadi di Twitter. Jujur, dia agak takut membukanya.

Ia kemudian menggulirkan layar ke bawah untuk memindai komentar-komentar itu dengan cepat.

Anjir, yang benar aja? Richard ternyata punya anak perempuan?

Sialan banget ya cowok, kalau sudah terkenal pasti kayak kacang lupa kulitnya

Seharusnya kasih aja cancel culture buat orang kayak begitu!

Lisa tersenyum membaca begitu banyak komentar yang bersimpati untuknya. Melihat kalimat makian dan hujatan yang dilayangkan netizen kepada ayahnya membuatnya puas.

Rasakan! Ingin sekali ia berteriak di depan muka ayahnya. Karma ini belum seberapa dibanding dengan penderitaan yang selama ini ia dan ibunya alami.

Gerakan tangannya jarinya pada mouse tiba-tiba berhenti saat menemukan komentar yang memantik egonya.

Kalau lo beneran anak Richard Vroom berani nggak lo tes DNA?

Lisa mengetik balasan dengan cepat.

Ya, gue berani. Tapi gue minta orang itu buat bayar biayanya karena gue miskin. Suruh Richard ketemu langsung sama gue juga gue berani

“Lisa, sudah selesai belum?”

Lisa tersentak karena kehadiran si guru TIK.

“Sudah, Pak.” Dia buru-buru keluar dari akunnya lalu menutup jendela web browser yang tadi dia buka.

Setelah menyalami tangan si guru dan berterima kasih, Lisa pamit dan kembali ke kelas.

Keesokan harinya, Lisa melakukan hal yang sama; mengecek notifikasi akun Twitter-nya tepat di jam istirahat di lab komputer lantaran dia belum membeli ponsel. Dirinya sudah berdiskusi pada ibunya perihal ponselnya yang mati dan ibunya menyarankan untuk membeli di akhir pekan saja. Kebetulan di ruko tempat kafe ibunya bekerja terdapat beberapa toko ponsel yang terpercaya.

Di hari kedua utas yang ia buat sudah dilihat hampir lima ratus ribu akun dan mendapatkan sepuluh ribu likes. Ia membaca acak komentar-komentar yang masuk. Ada banyak akun selebtwit dan artis yang juga ikut memberikan opini, salah satunya adalah akun seorang yang Lisa tahu adalah seorang pengacara paling terkenal di Indonesia.

Adek Lisa, boleh tolong balas DM saya?

Lisa belum sempat membuka profil si pengacara karena guru TIK sudah keburu datang.

“Lisa istirahat sudah mau selesai, nih.” Si guru mengingatkan.

Setelah beberapa detik mempertimbangkan, Lisa memutuskan untuk menyudahi kegiatannya di lab komputer ini. Ia keluar dari akun lalu menutup jendela browser. “Terima kasih, Pak,” ujar Lisa lalu mencium tangan si guru TIK.

Sesampainya di kelas, jeritan Rika yang memekakkan telinga menyambutnya. “Lisa, lo bikin thread apaan sih, ini?!”

Thread apa?” Lisa pura-pura tidak mengerti.

“Jangan pura-pura bego! Gue tahu lo pasti yang bikin akun eliseanneke ini, kan? Ini nama panjang lo, kan?”

Perkataan Rika tadi mengundang keingintahuan teman sekelasnya. Lisa merasa sekarang ia seperti pencopet yang tertangkap basah. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya.

Akan tetapi ... dia tidak boleh gentar.

“Iya, itu akun gue,” jawab Lisa percaya diri. Lain di hati, lain di mulut. Di luar dia memang terlihat berani, tapi sesungguhnya dia cemas setengah mati.

“Gue udah baca thread lo, Lisa. Berarti lo mix bule, dong. Tapi kenapa nggak kelihatan bule?” salah satu temannya bertanya. Nadanya tidak terkesan menjatuhkan jadi Lisa tertawa menanggapinya.

“Gue kalau nggak salah pernah belajar persilangan genetik, deh. Katanya, kalau sudah jauh dari gen asal, karakteristik gen asal itu bakal campur sama gen lain,” timpal temannya yang lain.

Lisa mengangguk membenarkan. “Kalau lo baca thread gue sampai selesai, gue udah kasih tahu di twit kalau kakek gue yang mix Manado-Belanda.”

“Dan kakek lo itu anggota band terkenal Belanda, ya!” Rika menggoyang-goyangkan tubuh Lisa dengan brutal. “Nama band-nya The Green Emeralds, kan? Kayaknya gue pernah dengar,” ucapnya sambil berpikir.

“Cover-nya Zia,” lontar Lisa untuk membantu Rika mengingat.

“Wah, iya! Cover lagunya Zia!” Rika bertepuk tangan heboh.

Ketua kelas yang tadi menyimak saja pun ikut menimpali. “Kalau cerita lo ini benar—gue bukannya ragu sama lo, ya—pantas aja permainan gitar lo keren banget.”

Lisa mendengkus geli; setengah tersipu, setengah jengkel karena harus mengakui kemampuannya menurun dari orang jahat itu.

Bel tanda istirahat berakhir pun berbunyi yang menandakan kegaduhan di kelas saat itu harus berakhir, mengingat guru yang akan mengajar berikutnya adalah wali kelas mereka. Semua menggeram kecewa. Sebenarnya, wali kelas mereka baik, tapi guru wanita itu paling tidak suka degan suasana kelas yang berisik, jadinya semua muridnya paham, jika tidak ingin mendapatkan soal latihan pajak mendadak, lebih baik diam.

“Assalamualaikum, apa kabar anak-anak?” sapa wali kelas mereka dari depan pintu. Wajahnya tersungging senyum. “Ibu yakin, apa yang bakal Ibu sampaikan ke kalian ini baka bikin kalian senang, tapi please jangan ribut, ya.”

“Ya, Bu!” Anak-anak menjawab serempak.

“Jadi, agenda kita kali ini bukan belajar—” Ucapan wali kelas mereka terputus karena sorakan dari murid-murid sekelas. Untungnya, si ketua kelas langsung mengingatkan, jika tidak, wali kelas mereka akan benar-benar memberikan soal latihan pajak saat itu juga.

“Terima kasih, Kiara,” kata wali kelas mereka. “Jadi, hari ini. Kita omongin soal pensi aja. Bagaimana, Lisa, dua minggu lagi kamu tampil, nih. Sudah siap belum?”

Lisa seketika menegakkan punggung ketika namanya disebut. “Si—siap, Bu.”

“Bagus.” Si guru mengangguk-angguk puas. “Semangat, Lisa. Kami semua bakal dukung kamu.”

“Terima kasih, Bu.” Lisa menyerengeh.

Wali kelas mereka kemudian mengeluarkan spidol dari dalam tempat pensilnya. “Oke, baik. Sekarang Ibu mau bicarain soal kegiatan apa yang bakal kalian lakukan pensi nanti. Sesuai dengan tradisi sekolah ini, ketika pensi, tiap kelas biasanya bakal bikin kegiatan wirausaha. Nah, kalian ada ide buat jualan apa? Kalian boleh ribut sekarang, tapi ingat, jangan ada yang bicara atau bercanda sendiri.”

Kelas mendadak ricuh. Jawaban demi jawaban dari anak-anak sekelas tumpang tindih. Mereka sepertinya sudah melupakan masalah utas Twitter yang dibuat Lisa. Namun, biar begitu, ada satu orang yang masih menganggap masalah itu adalah hal serius.

“Lisa, lo ingat nggak sih apa yang gue bilang waktu lo gue kasih tahu caranya main Twitter?”

Sebelah alis Lisa terangkat mendengar pertanyaan Rika barusan. “Ingat, kok.”

Rika mendesah pelan. “Bohong. Lo nggak ingat sama sekali.” Ia kemudian mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi Twitter, lalu mencari akun milik Lisa. “Ini lihat,” katanya sambul meletakkan ponselnya di hadapan Lisa. “Lo tahu nggak, sekalinya lo viral, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, lo memang bakal dikasihani, tapi kedua setelah netizen bosan, bisa jadi kesalahan-kesalahan lo yang dicari. Sudah jadi alurnya begitu. Gue ngomong begini karena gue sayang sama lo, tahu nggak? Gue nggak mau lo kenapa-kenapa.”

Lisa melihat sekitar. Temannya-temannya masih sibuk berdiskusi dengan wali kelas mereka. Ia kemudian mengembalikan ponsel Rika. “Tenang, aja. Gue nggak apa-apa.”

-oOo-

Nina hari ini sengaja pulang cepat. Bagas pun mengizinkan dengan syarat Nina mengizinkan dirinya mengantar ke tempat yang ingin dikunjunginya.

Mobil yang membawa Bagas dan Nina berhenti tepat di sebuah taman pemakamam umum. Dari dalam mobil, Nina memeriksa keadaan sekitar. Siang ini pengunjung pemakaman tidak terlalu ramai. Cuaca hari ini juga bersahabat; tidak terlalu panas menyengat. Syukurlah. Nina yang hendak membuka door lock mengurungkan niatnya ketika Bagas malah mengunci seluruh pintu mobil melalui central lock. Ia menatap pria di sebelahnya tidak percaya. “Ada yang kamu mau bicarakan sama aku, Mas?”

Bagas menegakkan punggungnya. Kedua tangannya meremas roda kemudi pelan. “Bagaimana keadaan Lisa? Lisa masih marah sama aku? Aku dengar dari Tirta kalau Lisa masih nggak mau bicara sama sekali sama dia.”

Punggung Nina yang bersandar sedikit turun.  Dirinya dan Bagas memang baru memiliki kesempatan untuk bicara. Sejak ia keluar dari rumah sakit, Bagas memang terlihat sedikit menghindarinya. Nina tahu itu. “Lisa masih sama seperti terakhir Mas lihat. Kamu tahu, kan, Lisa itu wataknya agak keras. Kalau dia bilang A, maka dia nggak bakal pindah ke B begitu aja.”

Bagas tersenyum kecil. “Mirip banget, ya, sama Eri,” selorohnya sambil menatap buket bunga lily putih di kursi belakang yang tadi sempat dibeli Nina melalui kaca spion tengah.

Nina mengikui arah pandang Bagas tanpa berkomentar. Ia masih menunggu hal apa lagi yang akan dikatakan pria itu.

“Kamu ... kamu sudah punya rencana—maksudku, kamu sudah tahu kapan mau ketemu sama Eri? Kalau sudah tahu, kamu tinggal bilan sama aku, biar aku yang bantu buatkan janji dengan krunya.”

Nina menggeleng lemah. Matanya dengan sendu menatap keluar. “Aku masih belum berani lihat muka Eri lagi, Mas.”

“Kamu masih cinta sama Eri?”

Pertanyaan Bagas barusan bagai petir di siang bolong. Ia memang sudah memperkirakan kalau Bagas akan mengatakan hal itu, tapi saat mendengar langsung otaknya mendadak kosong. Dia takut—amat sangat takut. Ia ingin sekali egois dengan mengakui dia masih mencintai Eri. Dia ingin Eri kembali. Namun, kenyataan yang ada menamparnya dengan keras. Dia sudah menyakiti Eri teramat dalam. Eri pun sudah menikah. Ia ingin sekali membohongi diri, tapi rasanya sulit.

“Aku masih berusaha buat melupakan Eri, Mas. Maaf.”

“Maaf.”

Kata maaf yang meluncur dari mulut mereka saling tumpang tinding, tapi keduanya tahu maksud dari kata ‘maaf’ tersebut; Nina yang merasa bersalah karena telah menyeret Bagas, sementara di sisi lain Bagas yang tidak bisa sepenuhnya membantu Nina untuk melupakan Eri.

“Aku boleh turun sekarang? Keburu sore nanti.” Nina memberi usul setelah beberapa saat keduanya tak kunjung buka suara.

Bagas mengerti. Ia kemudian membuka central lock mobilnya. Nina lekas turun sambil memeluk buket bunga lily putih yang tadi ia beli tadi. Selagi Bagas memarkir mobil, Nina memilih untuk menyambangi salah satu pedagang kembang.

“Sudah? Ada yang mau dibeli lagi?” tanya Bagas kepada Nina yang datang dengan menenteng satu tas kertas dan dua botol air mawar.

Nina menggeleng, “Sudah semua,” jawabnya seraya menyerahkan tas kertas dan dua botol air mawar kepada Bagas karena pria itu menawarkan diri untuk membawa benda-benda di tangan Nina.

“Kamu mau ke makam bapakmu dulu atau ke makam Tante Natasha?”

“Ke makam bapak dulu boleh, Mas?”

Bagas mengangguk. Ia mengisyaratkan Nina untuk berjalan di depan, sementara dirinya berjaga di belakang. Keduanya terdiam sewaktu memasuki blok khusus islam dan melewati puluhan makam yang dihiasi batu-batu nisan marmer hitam.

“Assalamualaikum, Bapak,” Nina berjongkok di samping nisan ayahnya, lalu mulai membersihkan makam tersebut dibantu Bagas. Selama beberapa saat, Nina berdoa di sana lalu menyiramkan makam ayahnya dengan air mawar setelah menabur bunga di atasnya.

“Kamu sudah selesai?” Bagas bertanya saat Nina perlahan bangkit berdiri.

Nina mengangguk, kemudian berbalik menghadap makam sang ayah. “Nina, pulang dulu, ya, Pak. Nina bakal ke sini lagi sama Lisa nanti. Assalamualaikum.”

Bagas menuntun Nina melewar jajaran makam. Mereka berdua kemudian berbelok menuju blok kristen yang berada di sisi berbeda. Waktu terasa terhenti saat Nina tidak sengaja menangkap sosok lelaki yang selama beberapa tahun belakangan hanya bisa dilihatnya melalui layar ponsel atau majalah.

“Eri,” panggil Nina dengan suara bergetar.

Lelaki itu pun berhenti. Buket bunga yang berada di tangannya nyaris terhatuh. Seperti ada sesuatu yang mengganjal tenggorokan saat ia melihat muse-nya berjalan bergandengan bersama dengan mantan sahabatnya. Ia sungguh tidak menduga jika pertemuan pertama mereka setelah bertahun-tahun terjadi di pemakaman. Apakah ... apakah muse-nya hendak mengunjungi makam ibunya, mengingat arah yang mereka tuju sama? Terlebih lagi, Nina kini tengah membawa buket lily putih—bunga kesukaan ibunya.

Bagas yang merasakan kecanggungan di antara mereka segera melepas genggaman tangannya. Ia berniat mengatakan sesuatu, sayangnya, ponsel di saku kemejanya bergetar. Ia melihat nama si pemanggil sebentar sebelum menjawab panggilan. “Ya, kenapa Tirta, siang-siang telepon papi?”

“Papi di mana?” balas Tirta dari seberang sambungan.

“TPU. Tante Nina minta antar ke makam papanya. Kenapa?”

Ada jeda sejenak sebelum Tirta menarik napas panjang dan berkata, “Papi, lihat link IG yang barusan Tirta kasih. Jangan kasih tahu Tante Nina dulu, oke?”

Sambungan pun terputus.

“Kamu mau ke makam mama—maksudku, Tante Natasha, Eri?” Nina segera meralat ucapannya kala ia melihat perubahan raut wajah Eri.

Di lain sisi, Eri tak bisa mendeskripsikan bagaimana suasana hatinya sekarang. Ia bahagia, takut, sedih, marah, dan bingung di saat yang bersamaan. Mendengar lagi suara yang menjadi muse-nya, membuat kepalanya tidak bisa berpikir apa-apa. Bahkan seluruh anggota tubuhnya terasa mengkhianati.

“Eri?” Nina mendekat. Eri tanpa sadar menahan napas.

“Ya,” ucapnya dengan lirih.

“Ayo, kita ke makam bersama.” Nina tersenyum. Senyumnya masih sama di mata Eri.

=====

[1] Oke, sampai jumpa nanti, Angel. Semoga harimu indah. Love you

[2] Cuddle-bear-ku, aku selalu ada di sisimu, kau tahu itu? Aku akan mendukung semua keputusanmu. Aku harap kau bertemu perimu secepatnya

[3] Kau tahu, beritanya menyebar dengan cepat!

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Luka atau bahagia?
3201      1022     4     
Romance
trauma itu sangatlah melekat di diriku, ku pikir setelah rumah pertama itu hancur dia akan menjadi rumah keduaku untuk kembali merangkai serpihan kaca yang sejak kecil sudah bertaburan,nyatanya semua hanyalah haluan mimpi yang di mana aku akan terbangun,dan mendapati tidak ada kesembuhan sama sekali. dia bukan kehancuran pertama ku,tapi dia adalah kelanjutan dari kisah kehancuran dan trauma yang...
River Flows in You
698      401     6     
Romance
Kean telah kehilangan orang tuanya di usia 10 tahun. Kemudian, keluarga Adrian-lah yang merawatnya dengan sepenuh hati. Hanya saja, kebersamaannya bersama Adrian selama lima belas tahun itu turut menumbuhkan perasaan lain dalam hati. Di satu sisi, dia menginginkan Adrian. Di sisi lain, dia juga tidak ingin menjadi manusia tidak tahu terima kasih atas seluruh kebaikan yang telah diterimanya dar...
KataKu Dalam Hati Season 1
3859      1124     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
After Feeling
4240      1529     1     
Romance
Kanaya stres berat. Kehidupannya kacau gara-gara utang mantan ayah tirinya dan pinjaman online. Suatu malam, dia memutuskan untuk bunuh diri. Uang yang baru saja ia pinjam malah lenyap karena sebuah aplikasi penipuan. Saat dia sibuk berkutat dengan pikirannya, seorang pemuda misterius, Vincent Agnito tiba-tiba muncul, terlebih dia menggenggam sebilah pisau di tangannya lalu berkata ingin membunuh...
KILLOVE
3333      1095     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
Sebelas Desember
3209      1011     3     
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.
Play Me Your Love Song
3058      1246     10     
Romance
Viola Zefanya tidak pernah menyangka dirinya bisa menjadi guru piano pribadi bagi Jason, keponakan kesayangan Joshua Yamaguchi Sanjaya, Owner sekaligus CEO dari Chandelier Hotel and Group yang kaya raya bak sultan itu. Awalnya, Viola melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan tuntutan "profesionalitas" semata. Tapi lambat laun, semakin Viola mengenal Jason dan masalah dalam keluarganya, sesu...
I'm not the main character afterall!
909      465     0     
Fantasy
Setelah terlahir kembali ke kota Feurst, Anna sama sekali tidak memiliki ingatan kehidupannya yang lama. Dia selama ini hanya didampingi Yinni, asisten dewa. Setelah Yinni berkata Anna bukanlah tokoh utama dalam cerita novel "Fanatizing you", Anna mencoba bersenang-senang dengan hidupnya tanpa memikirkan masalah apa-apa. Masalah muncul ketika kedua tokoh utama sering sekali terlibat dengan diri...
Negeri Tanpa Ayah
8608      1925     0     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...
Demi Keadilan:Azveera's quest
692      384     5     
Mystery
Kisah Vee dan Rav membawa kita ke dalam dunia yang gelap dan penuh misteri. Di SMA Garuda, mereka berdua menemukan cinta dan kebenaran yang tak terduga. Namun, di balik senyum dan kebahagiaan, bahaya mengintai, dan rahasia-rasasia tersembunyi menanti untuk terungkap. Bersama-sama, mereka harus menghadapi badai yang mengancam dan memasuki labirin yang berbahaya. Akankah Vee menemukan jawaban yang ...