Ketika bel pulang berbunyi, Zidan buru-buru keluar kelas, memanggil ojek online, lalu melaju menuju tempat yang selalu menjadi tujuannya kala ia butuh tempat untuk bercerita.
Setelah sampai di sebuah kawasan pertokoan, ia turun dari motornya lalu berlari kecil menyusuri deretan toko dua lantai. Ia baru berhenti ketika sampai di depan sebuah toko dengan tulisan ROSEMERRY Cake & Bakery ukuran besar tertempel di jendela. Tampilan toko kue ini cukup simple dan minimalis. Dengan nuansa putih gading yang dicampur dengan warna-warna kayu membuat pengunjung akan merasa seperti di rumah.
Aroma campuran mentega dan kayu manis langsung memanjakan indra penciuman Zidan begitu ia membuka pintu. Ada tiga meja kecil serta dua kursi yang menyertai di masing-masing meja yang diatur rapi di tengah-tengah ruangan.
“Oh, halo Mas Arka. Baru pulang sekolah?” Salah seorang pramusaji favoritnya menyapa ramah, papan nama yang tersemat di kemejanya bertuliskan nama ‘Nina’. “Yang biasa?” tanyanya lagi.
Zidan mengangguk lalu berjalan ke salah satu meja yang menghadap langsung ke jendela. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat jalanan ibu kota dengan jelas. Ia lalu memandangi punggung pramusaji favoritnya yang tengah sibuk meracik minuman kesukaan ibunya itu.
Pertama kali Zidan mengenal pramusaji itu sekitar setahun yang lalu. Ketika itu, ia marah besar karena ayahnya membawa wanita asing—yang sekarang menjadi ibu tirinya—ke rumah. Berita mengejutkan datang setelahnya. Ayahnya ingin menikahi wanita itu, padahal belum ada setahun setelah kepergian ibunya. Zidan jelas tidak terima. Menurutnya itu adalah pengkhiantan besar yang tak termaafkan.
Selama seminggu itu Zidan luntang-lantung tanpa tujan bersama motornya. Saat kelelahan ia akan berhenti di pom bensin untuk melepas lelah. Begitu pun di malam hari, ia akan tidur di mana saja asalkan tempat itu aman. Ia memang sengaja tak menginap di rumah teman karena ayahnya pasti akan cepat menemukannya. Ia juga tak menyewa kamar hotel karena uangnya pas-pasan.
Hari ketujuh adalah hari tersial karena ban motornya pecah dan uang yang tersisa di dompetnya hanya selembar lima puluh ribu. Sialnya lagi, perutnya kelaparan karena tak diisi sejak kemarin. Saat itu, rasanya ia ingin jadi kucing yang bisa hidup di jalanan dengan gampang. Ia yang hampir pingsan di halte kemudian didatangi oleh seorang ibu-ibu ramah.
Ibu-ibu itu menanyakan keadaannya dan Zidan menjawab sekenanya. Tiap pertanyaan yang terlontar dari mulutnya seolah sihir karena tanpa sadar Zidan mengeluarkan segala keluh-kesahnya. Ia bahkan sampai menangis tersengguk-sengguk. Setelah puas, ibu-ibu itu memberikannya sejumlah uang, katanya untuk makan, dan kemudian ibu-ibu itu pergi begitu saja tanpa memberikan wejangan-wejangan mengenai pentingnya menghormati orang tua. Padahal, tadi ia sudah membayangkan bakal diceramahi panjang lebar.
Setelah itu, ayahnya menemukannya. Coba tebak apa yang ia dapatkan? Apakah permintaan maaf? Oh, tentu tidak. Yang ada ia malah ditinju sampai pipinya biru. Ayahnya memang punya temperan buruk dan suka main tangan. Kejadian selanjutnya Zidan tak ingin ingat lagi. Sudah cukup ia menyumpahi ayahnya. Sesungguhnya ia tak ingin jadi anak durhaka karena ibunya tak pernah mengajarkan demikian. Ia hanya benci pada perempuan perusak rumah tangga itu dan bukan ayahnya.
Dua bulan berlalu, ia yang masih diselimuti kedengkian mulai jarang ada di rumah. Sebenarnya, boleh dibilang, dirinya adalah anak rumahan yang jarang sekali main setelah pulang sekolah. Ia lebih suka menghabiskan waktunya untuk bermain game online atau bermain musik. Temannya juga tak banyak. Namun, kali ini situasinya berbeda. Sebisa mungkin ia tak bertemu ayahnya dan salah satunya cara adalah mampir ke warnet sampai larut malam. Ayahnya juga tidak akan menyadari karena sibuk.
Suatu ketika, karena ia bosan ke warnet, ia mengunjungi toko roti favorit ibunya karena ia tak sengaja melihat foto ulang tahun terakhir ibunya. Ia melihat beberapa kotak kue dari toko yang sama. Samar-samar, ia ingat jika ibunya sering sekali membeli berbagai macam kudapan dari toko itu.
Seperti keajaiban, sewaktu pertama kali menginjakkan kaki di toko kue itu, pramusaji yang menyambutnya adalah ibu-ibu yang pernah memberikannya uang. Ia masih ingat betul bagaimana tangan lembut ibu-ibu itu mengusap punggungnya dan menepuk-nepuk kepalanya. Sangat sepele memang, tapi dua hal itu adalah hal yang paling ia rindukan dari sang ibu.
Sayangnya, pramusaji itu seperti lupa kalau mereka berdua pernah bertemu sebelumnya. Namun, biar begitu, keramahan si pramusaji tetap sama. Bahkan, pramusaji itu mengajaknya berbincang-bincang sejenak. Ia yang tak pandai berinteraksi pun cukup nyaman mengobrol dengannya. Ia seakan-akan tengah berbicara dengan ibunya yang telah tiada. Sejak saat itulah ia akan datang ke toko kue ini untuk bercerita.
Sepuluh menit kemudian pramusaji bernama Nina itu menghidangkan pesanannya di meja. “Satu coffee mocca dengan gula sedikit dan dua croissant cappucino dengan taburan bubuk gula di atasnya khusus buat Mas Arka.”
Zidan menarik dua sudut bibirnya. “Terima kasih, Aunty.”
“Sama-sama.” Pramusaji hendak undur diri, tapi tiba-tiba dicegah oleh Zidan.
“Aunty—umm.” Zidan berhenti sebentar, ia terlihat kesulitan untuk mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. “Jadi gini—eum ....”
“Ya?” si pramusaji menunggu dengan sabar.
“Aunty—Aunty lagi lowong? Aku—aku mau ngobrol sebentar, boleh?”
Pramusaji itu menoleh ke salah satu temannya yang tengah menjaga kasir, meminta izin. Karena temannya mengizinkan ditambah toko sedang sepi, ia pun mengiyakan. “Boleh. Mau ngobrol apa?” Ia pun mengambil kursi dan menempatkannya di hadapan Zidan.
Nada bicara yang keluar dari mulut pramusaji itu terdengar familier. Dulu, ibunya juga sering menggunakan nada ramah itu jika ia ingin meminta sesuatu dari sang ibu. Ah, hatinya terasa nyeri karena rindu.
Zidan berdeham sekali sebelum berkata, “Hari ini—hari ini aku pindah sekolah, Aunty,” ujarnya sambil memerhatikan gestur tubuh yang diberikan si pramusaji dengan cermat, lalu tersenyum tipis. Setelah sekian banyak waktu yang dihabiskan mengobrol bersama, dirinya menyadari satu hal. Saat pramusaji wanita setengah baya itu sedang fokus mendengarkan sesuatu, ia pasti akan memainkan ujung-ujung jarinya. Sangat unik.
“Oh ya? Pantas, badge di dasinya beda." Si pramusaji memandangi Zidan dari kepala sampai ujung kaki. “Tapi sepertinya Aunty kenal badge sekolah kamu ini. Di SMANDEL, kan?”
Zidan terkejut. “Aunty tahu?”
Pramusaji itu tertawa renyah. “Tahu, dong."
“Tahu dari mana?” Zidan terperanjat lantaran sadar kalau pertanyaannya mungkin terdengar kurang sopan. “Maaf,” lirihnya menyesal.
“Nggak apa-apa kok, Mas Arka.” Si pramusaji menepuk-nepuk pundaknya dan tertawa. “Tapi buat pertanyaan kamu tadi, jawabannya rahasia.”
Senyum kecil tersungging di wajah Zidan. Benar kata pepatah, tawa itu menular.
“Oh ya, Aunty” Zidan menggigit bibirnya sebelum berkata kembali. “Aku—aku juga mulai ambil alih bisnis clothing line milik mama. Setelah—setelah itu, aku pengin coba bikin merek clothing line punyaku sendiri.”
“Oh, bagus, dong.” Wajah si pramusaji tampak gembira. “Selamat ya, Mas Arka. Semoga sukses buat bisnisnya.”
“Aunty—eum, Aunty punya anak perempuan seumuran aku, kan? Karena bisnis clothing line mama target pasarnya perempuan, aku—aku boleh kirim beberapa pakaian buat anaknya Aunty?”
Si pramusaji tersentak. “Nggak usah repot-repot, Mas Arka.”
Zidan menggeleng. “Aku—aku nggak kerepotan. Justru—justru, aku malah senang. Alamat rumah Aunty masih sama, kan? Nanti—eum, nanti bakal aku kirim ya beberapa pakaiannya ke sana sebagai ucapan terima kasih aku karena—eum, karena Aunty mau aku ganggu kayak sekarang.”
“Terima kasih banyak, lho, Mas Arka. Padahal, Aunty ikhlas mengobrol sama kamu.”
Tepat di saat yang bersamaan, lonceng yang dipasang tepat di atas pintu berbunyi, dibarengi dengan satu wanita dewasa yang tengah menggendong bayi sekaligus menuntun anak laki-lakinya yang masih balita. Pramusaji itu kemudian mohon pamit kepada Zidan, lalu menghilang ke balik etalase besar yang berisi aneka macam kue dan roti.
Satu jam terasa sangat cepat bagi Zidan. Ia yakin berbagi cerita selama semalam suntuk bersama si pramusaji pun tak akan rugi. Sebab, pramusaji wanita setengah baya itu orang yang supel dan cerdas sehingga bisa menimpali obrolan apapun. Ia juga pintar mengambil alih suasana. Lagi-lagi persis ibunya.
Zidan melangkah menuju motornya dengan bahu ringan dan senyum terkembang. Baru saja ia ingin menstarter motornya, sebuah pesan dari sang ayah masuk ke ponselnya.
Zidan, ada yang mau papa obrolin. Papa tunggu di rumah.
Ada apa ini? Seingatnya, ia tak membuat masalah apapun, tapi kenapa ayahnya mengirim pesan dengan nada marah begini?
Tak mau membuat ayahnya menunggu, ia akhirnya pulang, sambil misuh-misuh tentu saja. Ia yakin sekali jika ayahnya telah dipengaruhi oleh ibu tirinya.
Di saat yang sama, tapi di tempat berbeda, Lisa juga tengah menggerundel sambil memandangi surat pemberitahuan dari pihak sekolah. Bukan. Itu bukan surat tunggakan apalagi skorsing. Itu cuma surat iuran penggalangan dana acara HUT sekolah yang ditujukan kepada murid-murid.
Kenapa pula sekolah yang mengadakan acara tapi para siswi yang harus menanggung biayanya? Memangnya uang pangkal sekolah yang jumlahnya fantastis itu masih kurang? Dikira orang tua murid-murid itu pabrik uang semua, hah?! Memangnya kemana anggota OSIS? Biasanya kan mereka yang sibuk cari dana dari sponsor!
Lisa benar-benar tidak habis pikir, bagaimana ia bisa menghasilkan uang sekian ratus ribu hanya dalam dua minggu? Ia tidak mungkin meminta pada ibunya. Uang tabungannya pun tak boleh diganggu-gugat karena ia yakin masih banyak hal penting lain. Atau ... pinjam pada papi atau Mas Andri? Ah, tidak. Tidak. Dua orang itu pasti akan mengadu pada ibunya meski ia telah memohon-mohon untuk merahasiakan hal ini. Bagaimana kalau dengan Tirta? Ah, jangan. Ia yakin Tirta juga sama saja.
Argh! Terus dia harus bagaimana? Meminta kerja sambilan lain pada papi dan Tirta juga jelas tidak mungkin. Mereka berdua pasti akan bertanya ini-itu. Sampai berbusa mulutnya menjelaskan pun hasilnya sama saja; pasti akan ditolak. Kata mereka, ia tidak seharusnya bekerja. Tugasnya sebagai anak hanyalah belajar dan bukan mencari uang.
Papi sebenarnya siap membiayai pendidikannya sampai lulus kuliah, tapi ibunya menolak. Karena menurut ibunya, papi sudah banyak sekali membantu. Rasanya tidak enak jika mereka terus-terusan menerima kebaikan dari papi. Lisa juga sependapat tentang ini, sih. Ia tidak ingin ibu dan dirinya dicap parasit oleh orang-orang julid.