Read More >>"> Lullaby Untuk Lisa (#Track 9 - Two Different Sides) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lullaby Untuk Lisa
MENU
About Us  

Ketika bel pulang berbunyi, Zidan buru-buru keluar kelas, memanggil ojek online, lalu melaju menuju tempat yang selalu menjadi tujuannya kala ia butuh tempat untuk bercerita.

Setelah sampai di sebuah kawasan pertokoan, ia turun dari motornya lalu berlari kecil menyusuri deretan toko dua lantai. Ia baru berhenti ketika sampai di depan sebuah toko dengan tulisan ROSEMERRY Cake & Bakery ukuran besar tertempel di jendela. Tampilan toko kue ini cukup simple dan minimalis. Dengan nuansa putih gading yang dicampur dengan warna-warna kayu membuat pengunjung akan merasa seperti di rumah.

Aroma campuran mentega dan kayu manis langsung memanjakan indra penciuman Zidan begitu ia membuka pintu. Ada tiga meja kecil serta dua kursi yang menyertai di masing-masing meja yang diatur rapi di tengah-tengah ruangan.

“Oh, halo Mas Arka. Baru pulang sekolah?” Salah seorang pramusaji favoritnya menyapa ramah, papan nama yang tersemat di kemejanya bertuliskan nama ‘Nina’. “Yang biasa?” tanyanya lagi.

Zidan mengangguk lalu berjalan ke salah satu meja yang menghadap langsung ke jendela. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat jalanan ibu kota dengan jelas. Ia lalu memandangi punggung pramusaji favoritnya yang tengah sibuk meracik minuman kesukaan ibunya itu.

Pertama kali Zidan mengenal pramusaji itu sekitar setahun yang lalu. Ketika itu, ia marah besar karena ayahnya membawa wanita asing—yang sekarang menjadi ibu tirinya—ke rumah. Berita mengejutkan datang setelahnya. Ayahnya ingin menikahi wanita itu, padahal belum ada setahun setelah kepergian ibunya. Zidan jelas tidak terima. Menurutnya itu adalah pengkhiantan besar yang tak termaafkan.

Selama seminggu itu Zidan luntang-lantung tanpa tujan bersama motornya. Saat kelelahan ia akan berhenti di pom bensin untuk melepas lelah. Begitu pun di malam hari, ia akan tidur di mana saja asalkan tempat itu aman. Ia memang sengaja tak menginap di rumah teman karena ayahnya pasti akan cepat menemukannya. Ia juga tak menyewa kamar hotel karena uangnya pas-pasan.

Hari ketujuh adalah hari tersial karena ban motornya pecah dan uang yang tersisa di dompetnya hanya selembar lima puluh ribu. Sialnya lagi, perutnya kelaparan karena tak diisi sejak kemarin. Saat itu, rasanya ia ingin jadi kucing yang bisa hidup di jalanan dengan gampang. Ia yang hampir pingsan di halte kemudian didatangi oleh seorang ibu-ibu ramah.

Ibu-ibu itu menanyakan keadaannya dan Zidan menjawab sekenanya. Tiap pertanyaan yang terlontar dari mulutnya seolah sihir karena tanpa sadar Zidan mengeluarkan segala keluh-kesahnya. Ia bahkan sampai menangis tersengguk-sengguk. Setelah puas, ibu-ibu itu memberikannya sejumlah uang, katanya untuk makan, dan kemudian ibu-ibu itu pergi begitu saja tanpa memberikan wejangan-wejangan mengenai pentingnya menghormati orang tua. Padahal, tadi ia sudah membayangkan bakal diceramahi panjang lebar.

Setelah itu, ayahnya menemukannya. Coba tebak apa yang ia dapatkan? Apakah permintaan maaf? Oh, tentu tidak. Yang ada ia malah ditinju sampai pipinya biru. Ayahnya memang punya temperan buruk dan suka main tangan. Kejadian selanjutnya Zidan tak ingin ingat lagi. Sudah cukup ia menyumpahi ayahnya. Sesungguhnya ia tak ingin jadi anak durhaka karena ibunya tak pernah mengajarkan demikian. Ia hanya benci pada perempuan perusak rumah tangga itu dan bukan ayahnya.

Dua bulan berlalu, ia yang masih diselimuti kedengkian mulai jarang ada di rumah. Sebenarnya, boleh dibilang, dirinya adalah anak rumahan yang jarang sekali main setelah pulang sekolah. Ia lebih suka menghabiskan waktunya untuk bermain game online atau bermain musik. Temannya juga tak banyak. Namun, kali ini situasinya berbeda. Sebisa mungkin ia tak bertemu ayahnya dan salah satunya cara adalah mampir ke warnet sampai larut malam. Ayahnya juga tidak akan menyadari karena sibuk.

Suatu ketika, karena ia bosan ke warnet, ia mengunjungi toko roti favorit ibunya karena ia tak sengaja melihat foto ulang tahun terakhir ibunya. Ia melihat beberapa kotak kue dari toko yang sama. Samar-samar, ia ingat jika ibunya sering sekali membeli berbagai macam kudapan dari toko itu.

Seperti keajaiban, sewaktu pertama kali menginjakkan kaki di toko kue itu, pramusaji yang menyambutnya adalah ibu-ibu yang pernah memberikannya uang. Ia masih ingat betul bagaimana tangan lembut ibu-ibu itu mengusap punggungnya dan menepuk-nepuk kepalanya. Sangat sepele memang, tapi dua hal itu adalah hal yang paling ia rindukan dari sang ibu.

Sayangnya, pramusaji itu seperti lupa kalau mereka berdua pernah bertemu sebelumnya. Namun, biar begitu, keramahan si pramusaji tetap sama. Bahkan, pramusaji itu mengajaknya berbincang-bincang sejenak. Ia yang tak pandai berinteraksi pun cukup nyaman mengobrol dengannya. Ia seakan-akan tengah berbicara dengan ibunya yang telah tiada. Sejak saat itulah ia akan datang ke toko kue ini untuk bercerita.

Sepuluh menit kemudian pramusaji bernama Nina itu menghidangkan pesanannya di meja. “Satu coffee mocca dengan gula sedikit dan dua croissant cappucino dengan taburan bubuk gula di atasnya khusus buat Mas Arka.”

Zidan menarik dua sudut bibirnya. “Terima kasih, Aunty.”

“Sama-sama.” Pramusaji hendak undur diri, tapi tiba-tiba dicegah oleh Zidan.

“Aunty—umm.” Zidan berhenti sebentar, ia terlihat kesulitan untuk mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. “Jadi gini—eum ....”

“Ya?” si pramusaji menunggu dengan sabar.

“Aunty—Aunty lagi lowong? Aku—aku mau ngobrol sebentar, boleh?”

Pramusaji itu menoleh ke salah satu temannya yang tengah menjaga kasir, meminta izin. Karena temannya mengizinkan ditambah toko sedang sepi, ia pun mengiyakan. “Boleh. Mau ngobrol apa?” Ia pun mengambil kursi dan menempatkannya di hadapan Zidan.

Nada bicara yang keluar dari mulut pramusaji itu terdengar familier. Dulu, ibunya juga sering menggunakan nada ramah itu jika ia ingin meminta sesuatu dari sang ibu. Ah, hatinya terasa nyeri karena rindu.

Zidan berdeham sekali sebelum berkata, “Hari ini—hari ini aku pindah sekolah, Aunty,” ujarnya sambil memerhatikan gestur tubuh yang diberikan si pramusaji dengan cermat, lalu tersenyum tipis. Setelah sekian banyak waktu yang dihabiskan mengobrol bersama, dirinya menyadari satu hal. Saat pramusaji wanita setengah baya itu sedang fokus mendengarkan sesuatu, ia pasti akan memainkan ujung-ujung jarinya. Sangat unik.

“Oh ya? Pantas, badge di dasinya beda." Si pramusaji memandangi Zidan dari kepala sampai ujung kaki. “Tapi sepertinya Aunty kenal badge sekolah kamu ini. Di SMANDEL, kan?”

Zidan terkejut. “Aunty tahu?”

Pramusaji itu tertawa renyah. “Tahu, dong."

“Tahu dari mana?” Zidan terperanjat lantaran sadar kalau pertanyaannya mungkin terdengar kurang sopan. “Maaf,” lirihnya menyesal.

“Nggak apa-apa kok, Mas Arka.” Si pramusaji menepuk-nepuk pundaknya dan tertawa. “Tapi buat pertanyaan kamu tadi, jawabannya rahasia.”

Senyum kecil tersungging di wajah Zidan. Benar kata pepatah, tawa itu menular.

“Oh ya, Aunty” Zidan menggigit bibirnya sebelum berkata kembali. “Aku—aku juga mulai ambil alih bisnis clothing line milik mama. Setelah—setelah itu, aku pengin coba bikin merek clothing line punyaku sendiri.”

“Oh, bagus, dong.” Wajah si pramusaji tampak gembira. “Selamat ya, Mas Arka. Semoga sukses buat bisnisnya.”

“Aunty—eum, Aunty punya anak perempuan seumuran aku, kan? Karena bisnis clothing line mama target pasarnya perempuan, aku—aku boleh kirim beberapa pakaian buat anaknya Aunty?”

Si pramusaji tersentak. “Nggak usah repot-repot, Mas Arka.”

Zidan menggeleng. “Aku—aku nggak kerepotan. Justru—justru, aku malah senang. Alamat rumah Aunty masih sama, kan? Nanti—eum, nanti bakal aku kirim ya beberapa pakaiannya ke sana sebagai ucapan terima kasih aku karena—eum, karena Aunty mau aku ganggu kayak sekarang.”

“Terima kasih banyak, lho, Mas Arka. Padahal, Aunty ikhlas mengobrol sama kamu.”

Tepat di saat yang bersamaan, lonceng yang dipasang tepat di atas pintu berbunyi, dibarengi dengan satu wanita dewasa yang tengah menggendong bayi sekaligus menuntun anak laki-lakinya yang masih balita. Pramusaji itu kemudian mohon pamit kepada Zidan, lalu menghilang ke balik etalase besar yang berisi aneka macam kue dan roti.

Satu jam terasa sangat cepat bagi Zidan. Ia yakin berbagi cerita selama semalam suntuk bersama si pramusaji pun tak akan rugi. Sebab, pramusaji wanita setengah baya itu orang yang supel dan cerdas sehingga bisa menimpali obrolan apapun. Ia juga pintar mengambil alih suasana. Lagi-lagi persis ibunya.

Zidan melangkah menuju motornya dengan bahu ringan dan senyum terkembang. Baru saja ia ingin menstarter motornya, sebuah pesan dari sang ayah masuk ke ponselnya.

Zidan, ada yang mau papa obrolin. Papa tunggu di rumah.

Ada apa ini? Seingatnya, ia tak membuat masalah apapun, tapi kenapa ayahnya mengirim pesan dengan nada marah begini?

Tak mau membuat ayahnya menunggu, ia akhirnya pulang, sambil misuh-misuh tentu saja. Ia yakin sekali jika ayahnya telah dipengaruhi oleh ibu tirinya.

Di saat yang sama, tapi di tempat berbeda, Lisa juga tengah menggerundel sambil memandangi surat pemberitahuan dari pihak sekolah. Bukan. Itu bukan surat tunggakan apalagi skorsing. Itu cuma surat iuran penggalangan dana acara HUT sekolah yang ditujukan kepada murid-murid.

Kenapa pula sekolah yang mengadakan acara tapi para siswi yang harus menanggung biayanya? Memangnya uang pangkal sekolah yang jumlahnya fantastis itu masih kurang? Dikira orang tua murid-murid itu pabrik uang semua, hah?! Memangnya kemana anggota OSIS? Biasanya kan mereka yang sibuk cari dana dari sponsor!

Lisa benar-benar tidak habis pikir, bagaimana ia bisa menghasilkan uang sekian ratus ribu hanya dalam dua minggu? Ia tidak mungkin meminta pada ibunya. Uang tabungannya pun tak boleh diganggu-gugat karena ia yakin masih banyak hal penting lain. Atau ... pinjam pada papi atau Mas Andri? Ah, tidak. Tidak. Dua orang itu pasti akan mengadu pada ibunya meski ia telah memohon-mohon untuk merahasiakan hal ini. Bagaimana kalau dengan Tirta? Ah, jangan. Ia yakin Tirta juga sama saja.

Argh! Terus dia harus bagaimana? Meminta kerja sambilan lain pada papi dan Tirta juga jelas tidak mungkin. Mereka berdua pasti akan bertanya ini-itu. Sampai berbusa mulutnya menjelaskan pun hasilnya sama saja; pasti akan ditolak. Kata mereka, ia tidak seharusnya bekerja. Tugasnya sebagai anak hanyalah belajar dan bukan mencari uang.

Papi sebenarnya siap membiayai pendidikannya sampai lulus kuliah, tapi ibunya menolak. Karena menurut ibunya, papi sudah banyak sekali membantu. Rasanya tidak enak jika mereka terus-terusan menerima kebaikan dari papi. Lisa juga sependapat tentang ini, sih. Ia tidak ingin ibu dan dirinya dicap parasit oleh orang-orang julid.

 

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Seiko
359      258     1     
Romance
Jika tiba-tiba di dunia ini hanya tersisa Kak Tyas sebagai teman manusiaku yang menghuni bumi, aku akan lebih memilih untuk mati saat itu juga. Punya senior di kantor, harusnya bisa jadi teman sepekerjaan yang menyenangkan. Bisa berbagi keluh kesah, berbagi pengalaman, memberi wejangan, juga sekadar jadi teman yang asyik untuk bergosip ria—jika dia perempuan. Ya, harusnya memang begitu. ...
Jelita's Brownies
2902      1246     11     
Romance
Dulu, Ayahku bilang brownies ketan hitam adalah resep pertama Almarhum Nenek. Aku sangat hapal resep ini diluar kepala. Tetapi Ibuku sangat tidak suka jika aku membuat brownies. Aku pernah punya daun yang aku keringkan. Daun itu berisi tulisan resep kue-kue Nenek. Aku sadar menulis resep di atas daun kering terlihat aneh, tetapi itu menjadi sebuah pengingat antara Aku dan Nenek. Hanya saja Ib...
SORRY
14374      2686     11     
Romance
Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tiga) sahabat cowok yang super duper ganteng, baik, humoris nyatanya belum untuk terbilang cukup aman. Buktinya dia malah baper sama Kale, salah satu cowok di antara mereka. Hatinya tidak benar-benar aman. Sayangnya, Kale itu lagi bucin-bucinnya sama cewek yang bernama Venya, musuh bebuyutan...
Call Kinna
3892      1564     1     
Romance
Bagi Sakalla Hanggra Tanubradja (Kalla), sahabatnya yang bernama Kinnanthi Anggun Prameswari (Kinna) tidak lebih dari cewek jadi-jadian, si tomboy yang galak nan sangar. Punya badan macem triplek yang nggak ada seksinya sama sekali walau umur sudah 26. Hobi ngiler. Bakat memasak nol besar. Jauh sekali dari kriteria istri idaman. Ibarat langit dan bumi: Kalla si cowok handsome, rich, most wante...
Allura dan Dua Mantan
2954      944     1     
Romance
Kinari Allura, penulis serta pengusaha kafe. Di balik kesuksesan kariernya, dia selalu apes di dunia percintaan. Dua gagal. Namun, semua berubah sejak kehadiran Ayden Renaldy. Dia jatuh cinta lagi. Kali ini dia yakin akan menemukan kebahagiaan bersama Ayden. Sayangnya, Ayden ternyata banyak utang di pinjol. Hubungan Allura dan Ayden ditentang abis-abisan oleh Adrish Alamar serta Taqi Alfarezi -du...
Negeri Tanpa Ayah
8608      1925     0     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...
Palette
3918      1575     6     
Romance
Naga baru saja ditolak untuk kedua kalinya oleh Mbak Kasir minimarket dekat rumahnya, Dara. Di saat dia masih berusaha menata hati, sebelum mengejar Dara lagi, Naga justru mendapat kejutan. Pagi-pagi, saat baru bangun, dia malah bertemu Dara di rumahnya. Lebih mengejutkan lagi, gadis itu akan tinggal di sana bersamanya, mulai sekarang!
RUMIT
4124      1399     53     
Romance
Sebuah Novel yang menceritakan perjalanan seorang remaja bernama Azfar. Kisahnya dimulai saat bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang menimpa kota Palu, Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018. Dari bencana itu, Azfar berkenalan dengan seorang relawan berparas cantik bernama Aya Sofia, yang kemudian akan menjadi sahabat baiknya. Namun, persahabatan mereka justru menimbulkan rasa baru d...
Aku Benci Hujan
4924      1391     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...
Hujan Paling Jujur di Matamu
5403      1482     1     
Romance
Rumah tangga Yudis dan Ratri diguncang prahara. Ternyata Ratri sudah hamil tiga bulan lebih. Padahal usia pernikahan mereka baru satu bulan. Yudis tak mampu berbuat apa-apa, dia takut jika ibunya tahu, penyakit jantungnya kambuh dan akan menjadi masalah. Meski pernikahan itu sebuah perjodohan, Ratri berusaha menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik dan tulus mencintai Yudis. Namun, Yudis...