“Kak Tirta, kenapa—”
Belum sempat Lisa melanjutkan kalimatnya, Tirta tahu-tahu sudah mendekapnya erat. “Syukurlah kamu nggak apa-apa. Tadi kakak takut banget karena dapat kabar kamu kecelakaan.”
Lisa meringis malu mengingat perihal kecelakaan yang dimaksud. “Lisa cuma jatuh dari tangga, Kak. Sekarang sudah nggak apa-apa,” akunya sambil menepuk-nepuk punggung Tirta. “Ya, meski kepala Lisa lecet, sih. Tapi serius, aku sudah nggak apa-apa.”
Tirta kemudian melepaskan pelukannya. “Yakin?”
“Yakin. Kakak bisa lihat sendiri, kan?” jawab Lisa sambil mengangguk mantap. Ia paham betul kalau Tirta adalah orang yang overthinking, jadi sebisa mungkin ia menunjukkan kalau dia baik-baik saja agar pemuda itu tak tambah khawatir.
“Hei, kalian mau apa di depan pintu begini? Bikin sempit jalan tahu!” Mas Andri yang baru kembali sekonyong-konyong memisahkan mereka berdua, membuat celah supaya ia bisa lewat.
“Eh, maaf, Mas.” Lisa menyengir, tapi kemudian cengirannya berubah menjadi ringisan karena Mas Andri memelototinya.
“Kamu balik ke tempat tidur sana,” kata Mas Andri sambil mendorong-dorong punggungnya, sementara di belakang Tirta mengikuti sambil geleng-geleng kepala. Mas Andri memang galak terhadap Lisa, tapi tak ada yang tahu jika ternyata di balik sikap judesnya itu, ia menyayangi Lisa seperti adik sendiri. Well, bagian ini sebenarnya hanya Tirta yang menyadarinya.
“Lho, Mas Andri mau pulang?” Lisa menekuk bibirnya melihat Mas Andri memberesi tasnya.
“Saya masih harus bikin laporan. Kamu kan sudah sama Tirta. Lagian sebentar lagi ibu kamu balik ke sini.”
Lisa masih merengut, tapi karena tak mau kena omel lagi ia tak jadi protes saat Mas Andri berpamitan. Sepeninggal seniornya, ia tiba-tiba teringat sesuatu. Dengan cepat ia pun mengalihkan atensinya pada Tirta yang dari tadi memandangi interaksi Mas Andri dengan dirinya dengan penuh minat.
“Kak Tirta pasti bolos kursus, ya,” tembaknya sambil melotot galak.
Tirta tersenyum kecil. Tangan yang tadi digunakan untuk menyangga dagu berpindah ke kepala Lisa. “Tadi kakak sudah bilang kalau kakak khawatir banget, makanya, tadi setelah papi bilang kamu kecelakaan, di tengah jalan kakak langsung mutar arah ke sini,” kilahnya sambil memainkan ujung-ujung rambut Lisa yang sudah tumbuh melebihi bahu.
Lisa seketika memukul lengan Tirta. “Tuh, kan. Memangnya bos—eh, maksudnya, papi nggak bilang kalau aku cuma kepeleset dari tangga?” Hampir saja ia salah memanggil. Tirta sangat tidak suka jika Lisa memanggil ayahnya—yang notabenene adalah bosnya Lisa juga—dengan panggilan seperti itu.
Setelah Lisa meralat panggilannya terhadap ayahnya, raut wajah tak suka Tirta berubah menjadi ramah kembali. “Bilang. Hanya aja, kakak yang ingin lihat dengan mata kepala sendiri kalau kamu memang nggak apa-apa. Lagian, kamu kenapa sampai kepeleset begitu, hm?”
Seketika ekspresi wajah Lisa mengeras. Tirta yang menyadari itu pun menepuk-nepuk kepala Lisa untuk menenangkannya. Pemuda itu sudah bisa menebak apa yang sebelumnya terjadi karena sedikit banyak ayahnya telah bercerita apa yang terjadi di pesta tersebut.
“Sorry,” bisik pemuda itu sambil berusaha mencari topik pembicaraan lain. Tetapi, belum sempat Tirta berbicara lagi, Lisa sudah keburu menangkap tangannya dan meremas kuat.
“Nggak apa-apa. Ini bukan salah Kak Tirta, kenapa kakak minta maaf segala?” tandas sambil menatap Tirta dalam-dalam. “Aku sadar betul kalau aku ini childish banget. Karena sekarang pun aku masih belum bisa hapus bayangan orang itu.”
“Itu manusiawi, Lisa.”
“Enggak!” Tanpa sadar suara gadis itu meninggi. “Aku harus bisa membuang semua ingatan tentang orang itu. Aku nggak mau hidup aku makin hancur gara-gara orang itu.” Setitik air mata meluncur jatuh tanpa diminta. Melihat hal itu Tirta langsung membawa tubuh Lisa ke dalam dekapannya.
“Iya, Kakak mengerti. Tapi, jangan berusaha terlalu keras sampai menyakiti diri sendiri, ya.” Tirta mengelus-elus punggung Lisa, membiarkan gadis itu menumpahkan air mata dan semua beban yang mengganjal dada dengan harapan diaa bisa cepat kembali menjadi dirinya yang biasa.
“Tapi, kalau aku nggak berusaha keras, aku nggak bakal cepat lupa sama orang itu, Kak,” lirihnya disela-sela tangis.
Tirta tersenyum kecil. “Dulu kamu bilang begitu ke kakak, lho! Tapi kenapa kamu nggak bisa menerapkan kata-kata itu ke diri kamu sendiri, hm?”
Tangisan Lisa mendadak berhenti. Ia pun buru-buru melepaskan diri dari dekapan Tirta. “Eh, masa, sih? Kapan aku bilang kayak begitu?”
“Waktu pemakaman mama. Kamu inget?”
Lisa terdiam sejenak, sementara Tirta dengan lembut membantu Lisa untuk menghapus jejak air mata di pipi gadis itu.
“Oh!” Lisa terperanjat. Ia tiba-tiba teringat tentang pemakaman ibu kandung Tirta yang terjadi sembilan tahun lalu dan sekarang ia merasa bersalah. “Maaf, Kak.”
“It's okay, it's okay. Lagi pula, kakak sudah move on.”
Melihat ekspresi wajah Tirta melunak, mau tak mau Lisa ikut mengembangkan senyum.
“Oh, omong-omong, kamu tahu nggak kalau di pesta nikahan minggu depan bakal banyak artis yang dateng, lho!” cetus Tirta tiba-tiba.
“Masa?” Lisa berdecak takjub. “Berarti temannya papi yang mau nikah besok itu artis, dong?”
Tirta menggeleng sambil mengelus dagunya. “Nggak bisa dibilang sepenuhnya artis, sih.”
“Terus apa?”
“Dia itu salah satu petinggi manajemen artis.”
“Oh, pantas.” Lisa mengangguk-angguk. “Eh, tunggu sebentar. Berarti nanti banyak wartawan, juga, dong?”
Tirta mengangkat bahu. “Kayaknya sih enggak, soalnya kata papi pesta pernikahannya tertutup.”
Lisa mengangguk lagi. “Tapi, terus—”
“Hei, pasien kecelakaan yang ada di sini ke mana?”
“Perasaan masih di sini. Mungkin dia ke toilet.”
“Untunglah. Cepat cari sana!”
Suara derap langkah kaki yang tak beraturan kemudian terdengar. Alih-alih melanjutkan ucapannya, Lisa malah bergegas turun dari brankar dan berjalan mendekati tirai yang memisahkan ruangan rawatnya dengan ruang rawat sebelah. Ia kemudian menyingkap tirai itu dan hanya menekuman tempat tidur kosong.
“Kenapa, Suster?” tanyanya pada perawat di hadapannya. Matanya terbelalak ketika ia mendapati bercak-bercak noda darah di atas seprai. Ia menduga kalau itu adalah bekas darah si pemuda mengerikan yang sempat mengisi brankar tersebut.
“Ada apa?” tanya Tirta yang juga ingin tahu. Pasalnya tadi Lisa tiba-tiba saja menghentikan obrolan mereka dan hal ini tentu membuatnya penasaran.
Seorang suster lain kemudian datang tergopoh-gopoh. Wajahnya panik. “Suster, pasien yang ada di sini nggak ada di toilet!”
“Yang benar kamu? Dia kan belum diperiksa sama sekali sama dokter! Dia mungkin masih ada di sekitaran rumah sakit. Ayo, cari.”
Lisa dan Tirta kemudian berpandangan sambil mengirimkan kode-kode untuk tak ikut campur. Pelan-pelan Lisa menutup kembali tirai dan lantas berjalan menuju brankarnya.
“Wah, kayaknya drama seru, nih,” celetuk Lisa, yang langsung dihadiahi cubitan di pipi oleh Tirta.
“Dasar kebiasaan.” Tirta geleng-geleng kepala.
-oOo-
Lisa memandang puas pada hasil karyanya. Rambut serta plester luka yang menutupi lecet di pelipisnya terlihat rapi. Untuk langkah terakhir, ia hanya tinggal menyembunyikan plester itu dengan poni saja.
Ketika sedang menyisir poni, mendadak ia jadi teringat tentang perkataan dokter yang memeriksanya kemarin. Dokter itu bilang, lukanya itu cuma lecet biasa karena ia tak merasakan tanda-tanda serius semenjak jatuh; Minimal benjol biasa yang akan sakit jika ditekan saja. Hasil pemeriksaan pun menunjukkan bahwa otaknya tak terganggu sama sekali. Karena itulah Lisa bisa langsung dipulangkan tanpa perlu dirawat inap.
Selesai dengan urusan luka, gadis itu beralih pada dasi yang tergantung di sebelah cermin.
“Lisa, sudah siap belum, Sayang? Sudah mau jam enam, lho,” pesan ibunya sambil membawa satu plastik besar berisi baju-baju tetangga yang baru selesai disetrika. “Oh, ya, mama mau anter laundry ini dulu, ya. Kalau kamu mau makan, sarapannya ada di meja.”
“Iya!” jawab Lisa cepat. Tanpa sadar ia mengikat dasinya asal-asalan, lalu menyambar tasnya dan bergegas menuju dapur. Di sebelah meja kompor sudah tersedia jatah sarapannya. Dalam waktu lima menit ia mampu menghabiskan semuanya.
Usai mencuci piring, Lisa pun cepat-cepat pergi menuju teras. Namun, baru saja ia sampai di ruang tengah, gadis itu terpaksa kembali lagi ke dapur karena ia lupa minum. Ketika ia tengah fokus menenggak, sosok Tirta yang baru saja masuk ke dapur membuatnya terlonjak kaget hingga menyemburkan air yang belum sempat ia telan.
Bukannya meminta maaf, Tirta malah tertawa-tawa sambil menepuk-nepuk punggung Lisa yang terbatuk-batuk. Beberapa saat kemudian, Lisa yang sudah bisa bernapas dengan normal pun berteriak kesal.
“Kakak kalau masuk bilang-bilang, dong! Aku kira tadi kakak itu setan, tahu!”
“Sengaja,” seloroh Tirta yang langsung dihadiahi pukulan oleh Lisa.
Gadis itu kemudian berjalan melewati Tirta untuk mengambil sepatu. Tetapi, baru dua langkah ia tiba-tiba berbalik karena menyadari sesuatu. “Eh, kenapa kakak ada di sini, sih? Nggak sekolah?” tudingnya sambil menyipitkan mata.
“Ini kakak mau sekolah. Nggak lihat kakak sudah pakai seragam?” Tirta menunjuk seragam yang dipakainya serta tas ransel yang menggantung di punggung.
“Bukan itu maksud aku!” serunya geregetan. “Maksudnya, kakak mau apa pagi-pagi ke sini dan bukannya langsung pergi sekolah, begitu.”
“Kakak ke sini mau jemput kamu.”
Lisa tersedak lagi, kali ini oleh ludahnya sendiri. “Kak, sekolah kita itu beda arah, lho.”
“Terus, masalahnya apa? Kakak bawa motor. Oh, ya, Mama Nina ke mana?” tanyanya celingukan. Lisa yang melihat itu pun menatap sebal.
“Mama lagi antar laundry ke sebelah. Sebentar lagi juga pulang.”
Tirta mengangguk-angguk. Tadinya ia berniat menunggui Lisa di dapur, tapi ketika suara ibunya Lisa terdengar dari luar, pemuda itu tiba-tiba bergegas menuju teras. Lisa yang melihatnya tak mau ambil pusing. Gadis itu lalu mengambil sepatunya sebelum menyusul Tirta.
Begitu sampai di teras, ia sempat menyaksikan Tirta memberikan sesuatu kepada ibunya. Lisa tak tahu benda itu, tapi dari kejauhan bentuknya mirip buku atau majalah, ya?
Usai ia memakai sepatu, dengan rasa penasaran yang tinggi Lisa langsung mendatangi mereka berdua. “Ma, itu apa?”
Dalam sepersekian detik Lisa merasa kalau ibunya terlihat begitu kaget, tapi hebatnya, wanita itu bisa langsung mengubah ekspresinya dengan cepat.
“Cuma majalah biasa, kok,” jawab ibunya sambil tersenyum. Diam-diam wanita itu menyembunyikan majalah pemberian Tirta ke belakang tubuhnya.
“Majalah apa?” tanya Lisa lagi. Kali ini terdengar lebih menuntut.
Ibunya berpikir sebentar sebelum berujar, “Masak.”
Sebelah alis Lisa terangkat. Yang ia tahu ibunya tak terlalu suka memasak. Kalau pun harus, biasanya wanita itu hanya membuat makanan yang mudah dihidangkan. Sejak dulu Lisa tak pernah protes akan hal ini. Ya, meski konsekuensinya ia harus memakan makanan yang sangat monoton selama bertahun-tahun, sih. “Serius itu majalah masak? Lisa mau lihat, dong!”
Ketika Lisa ingin mengambil majalah itu dari tangan ibunya, Tirta tiba-tiba saja menyela, “Lisa, coba ke sini sebentar.”
Lisa spontan menoleh ke belakang dan seketika tercekat, karena tahu-tahu, dada bidang Tirta sudah berjarak sejengkal dari wajahnya. Ketika mengangkat wajah, ia bisa melihat Tirta tengah menatapnya serius. Lisa spontan memejamkan mata rapat-rapat sambil menahan napas.
Melihat pipi Lisa yang menggembung karena menahan napas, tawa Tirta tiba-tiba meledak. “Nggak usah tegang begitu. Muka kamu jadi kayak bakpau daging. Bulet banget,” ejeknya di sela-sela tawa.
Mendengar ledekan Tirta, Lisa spontan membuka mata dan langsung memukul pemuda itu. “Nggak usah ketawa, nggak lucu, tahu!” semprotnya setengah jengkel, setengah malu.
“Memang kamu kira tadi kakak mau ngapain, hm? Kakak kan cuma betulkan ikatan dasi kamu. Nah, sudah selesai. Dasi kamu sekarang sudah rapi.”
“Iya, tahu. Terima kasih,” sahutnya ogah-ogahan. Untuk menutupi rasa malu, ia sengaja mengotak-atik simpul dasi yang telah dibuat Tirta sambil misuh-misuh. Lagi pula, siapa yang tidak grogi ketika ditatap cowok ganteng macam Tirta? Cuma cewek yang matanya rabun, kayaknya.
Tirta yang melihat reaksi Lisa pun menguleni gemas pipi Lisa. Sementara si pemilik pipi lagi-lagi melayangkan pukulannya ke tubuhnya.
“Aduh! Kok, Lisa jahat, sih?” keluh Tirta sambil mengusap-usap lengannya, dengan maksud bercanda.
“Bodo amat!”
Ibunya Lisa cuma bisa tertawa melihat tingkah dua remaja itu. Sebagai satu-satunya orang dewasa di sana, wanita itu pun menengahi sebelum pertengkaran mereka makin tak terkendali. “Sudah, sudah, lebih baik kalian berangkat. Nanti telat, lho.”
“Iya,” Lisa yang menyahut lebih dulu. “Lisa pamit dulu, ya, Ma,” ucapnya sambil mencium tangan sang ibu.
Ketika tiba giliran Tirta berpamitan, ibunya sempat membisikkan sesuatu pada pemuda itu. Lisa yang melihat pun mengerenyitkan dahi. Ia menduga pasti ada sesuatu yang disembunyikan ibunya. Namun, sebisa mungkin ia berpikir positif. Mungkin saja sesuatu yang disembunyikan itu menyangkut pekerjaan yang berhubungan dengan ayahnya Tirta. Ya, mudah-mudahan saja begitu.
Sepeninggal Lisa dan Tirta, wanita itu memandangi majalah di tangannya dengan tatapan sendu. Ia lalu membuka halaman demi halaman sampai ia berhenti di sebuah halaman yang memuat sebuah artikel berita. Air mata lolos begitu saja saat sebuah foto yang menampilkan seorang pernikahan seorang pria asia dengan wanita kaukasia. Sang pria yang berkulit kecokelatan terlihat sangat gagah dengan balutan tuksedo abu-abunya, sementara si wanita terlihat cantik dengan gaun pengantin putihnya. Mereka berdua tampak bahagia.
“Eri, kamu nggak berubah,” lirihnya merana.