The Count Of Monte Cristo, Alexandre Dumas (1846)
Perjalanan Edmond Dantes yang berubah menjadi Monte Cristo. Satu orang dengan dua kepribadian berbeda, yang pertama; pria muda baik hati yang polos dan patuh pada tuannya, yang kedua; pria berjiwa muda yang penuh gairah dan memiliki satu tujuan hidup, adalah membalas dendam.
Sebuah balas dendam pada sekumpulan orang jahat yang dipikirkan dengan matang, ia menyusun rencananya selama 25 tahun, empat belas tahun di dalam penjara bersama bapak angkatnya, Padri Faria dan sisa waktunya diluar penjara. Ya, tentu saja Dantes kabur dari penjara itu dengan ide gilanya.
Nam, kisah ini tentang pengkhianatan dan persaudaraan. Kalau kamu menemukan sesuatu di dalam buku ini, artinya semua dendam yang ada di hatimu terhapuskan. Kau akan merasa damai setelahnya, karena dendam itu terbalaskan.
Nam, kalau nanti aku dipenjara karena melakukan kesalahan, akan ku terima. Tetapi jika aku dipenjara karena kesalahan orang lain (atau mungkin ada orang diluar sana, siapapun dia) seperti Edmond Dantes, tentu aku akan marah. Mengamuk. Tidak terima. Menggerutu. Bahkan bisa kabur dengan nekat.
Nam, aku janji akan ku pastikan tidak ada orang yang menimpa hal buruk itu.
-Bulan Poernama
*
Di depan gedung kelas, orang berkumpul sambil sibuk mengerjakan tugas. Semua orang terlihat panik, satu mata kuliah ini memang selalu begitu. Tugas dikumpulkan dua jam setelah selesai kelas. Jika tidak, nilai ancamannya. Mungkin ini yang dimaksudkan Karisma bahwa kuliah itu genrenya thiller dan action.
“Mal, lihat jawaban nomor tiga.” Pinta Okta. Tangannya tidak berhenti menulis menjawab jawaban nomor dua.
Amal yang sedang sibuk juga memberikan selembaran kertas pada Okta. Lalu, ia menoleh ke arah Bulan yang terlihat paling tenang, “Bulan, udah selesai?”
“Tinggal nomor dua puluh, nomor terakhir.”
“Gila! Cepet banget!” Dewi terlihat kaget. Tulisannya terlihat berantakan, ia terburu buru.
“Santai, masih ada satu jam lagi.” Okta santai, ia tersenyum ke arah Dewi.
“Masalahnya, tiga puluh menit lagi aku ada rapat.”
“Rapat mulu, gak bosan? Keluar organisasi aja kalau bikin pusing.” Okta berceloteh.
Dewi terdiam, tentu saja ia tidak mau. Bulan yang sudah selesai dengan tugasnya sedang merapikan alat tulisnya. Akhirnya setelah masuk kuliah satu tahun, ia punya teman dekat. Ya, mereka adalah orang yang sering mengajak Bulan ke kantin pada tahun pertama kuliah. Awalnya memang agak canggung karena tiga temannya ini sudah dekat sedari dulu, dan pantas disebut “trio” saking akrabnya. Bulan menjadi anggota terakhir yang bergabung.
“Tuhan memberikan waktu luang, tetapi kamu memilih organisasi.” Celetuk Amal, nada bicaranya santai tapi tepat sasaran. Okta terkekeh, Bulan juga.
“Iya juga, ya. Udah tau organisasi itu horror, kenapa aku malah terjun?” Dewi ikut terkekeh, tanpa menoleh. Sibuk dengan tugasnya yang acak acakan.
Dari seorang Dewi juga Bulan paham kenapa Karisma bilang kuliah itu genrenya horror. Nyatanya, itu berlaku untuk Dewi saja, mahasiswa yang hobinya rapat sampai lupa rebahan.
“Mau lihat punyaku? Udah selesai, nih.” Bulan menyerahkan beberapa lembar kertas penuh miliknya pada teman temannya. Ia hendak beranjak. Semua temannya menoleh.
“Aku izin nyontek, ya. Gak sama percis, kok. Paling hanya beberapa saja. Nanti aku kumpulkan bareng punyaku.” Dewi kembali fokus pada tugasnya.
“Buru buru amat, disini aja dulu.” Celetuk Okta.
“Kemana, Bul? Langsung pulang?” tanya Amal.
“Nggak pulang, ada janji. Aku ada janji mau ketemu sama-“
Omongan Bulan terputus. Tiba tiba diantara banyaknya orang di depan gedung kelas, seseorang menghampiri mereka sambil menatap Bulan dari kejauhan.
“Ayo, Bulan.” Katanya.
“Aku pergi dulu, ya.” Ucap Bulan pada teman temannya sambil berlalu.
Diantara Amal, Okta dan Dewi tidak ada yang pernah tahu bahwa Bulan kenal dengan seseorang selain mereka. Apalagi dengan laki laki bernama Ghifary itu. Perawakannya tinggi, agak sipit, kulit sawo matang dan kumis tipisnya. Dan yang lebih mencolok dari seorang Ghifay, ia humoris.
*
Jam sembilan malam, Bulan baru saja pulang. Hari itu ia tidak membawa motor, ikut pada Yolanda karena ban motornya tiba tiba saja kempes dan ia hampir terlambat. Untunglah Yolanda datang ke rumahnya layaknya bak ibu peri penyelamat, jam masuk kelas mereka kebetulan sama.
Jangan tanya Bulan pulang dengan siapa, Ghifary yang mengantarkannya pulang. Entah apa yang terjadi hari itu, ada dua helm yang dibawa lelaki itu. Jadi, Bulan tidak risau saat pulang dengannya.
Ghifary mengantar Bulan tepat sampai depan gerbang rumahnya. Sampai Bulan masuk ke rumah, memastikan. Sampai Bulan kembali menutup pintu rumahnya dan tersenyum lalu hilang di balik pintu. Sampai Yolanda beranjak dari kasurnya dan menoleh ke jendela, mengintip dari sana, melihat ke arah rumah Bulan yang hanya terhalang tiga rumah dari rumahnya. Lumayan jauh, tapi terlihat ada seorang laki laki dengan motor disana.
*
“Heh, Bulan. Pulang bareng siapa? Oh, gitu, ya. Udah main rahasia rahasiaan. Kamu bilang gak punya temen di kuliah, kenapa tiba tiba pulang bareng cowok? Parah banget nih anak, mana gak cerita apa apa lagi.”
Bulan tersenyum melihat notifikasi di handphonenya, dari Yolanda.
“Bulan pulang.” Ia berjalan ke kamarnya melewati ruang keluarga. Ibu dan ayahnya yang sedang menonton televisi menoleh.
“Diantar teman?” tanya ibunya.
Bulan mengangguk. Lalu bertanya, “Bintang dimana? Udah tidur?”
“Udah tidur di kamarnya. Baru aja selesai ngerjain PR matematika sama ayah, langsung tidur.” Ujar ayah.
“Motor kamu udah mama benerin. Besok bisa dipakai.” Ucap ibunya sambil tersenyum.
“Terima kasih, ma.” Bulan tersenyum lebar sambil ikut duduk di sofa dan merebahkan badannya disamping ayah.
Terdengar notifikasi handphonenya lagi, dari teman temannya. Tentu saja mereka punya grup chat khusus berempat.
Okta: “Bulan mana, nih? Apa dia gak mau cerita abis pergi kemana sama Ghifary?”
Amal: “Bulan nih parah sih. Gak cerita apa apa, taunya deket sama cowok.”
Dewi: “Woi, Bulan. Keluar! Kita butuh penjelasan.”
Bulan yang baru saja membaca pesan itu dari notofikasi hanphone hanya terkekeh. Rasanya senang punya teman yang peduli padanya. Ya, walaupun temannya itu tidak banyak, bisa dihitung pakai jari. Tetapi, setidaknya ada yang peduli padanya.
Ia menutup handphonenya, belum ada niat untuk membalas pesan pesan itu. Nanti saja, pikirnya. Ia memlikih untuk menatap televisi yang entah sedang menayangkan acara apa.
“Udah, sana istirahat. Besok kuliah lagi, kan? Jangan sampai telat bangun kayak tadi pagi. Jadi repot, kan? Segala buru buru.”
“Siap ibunda.” Bulan beranjak dari sofa lalu pergi ke kamarnya.
*
Setelah membersihkan dirinya, Bulan duduk di meja belajarnya yang menghadap ke arah jendela. Ia sengaja membuka gorden supaya pemandangan malam hari dari jendelanya terlihat. Lalu membukanya sedikit supaya angin malam menyapa kamarnya. Inilah rutinitasnya pada malam hari, ditemani buku yang sedang ia baca juga buku tulis andalannya.
“Aku akan baca buku sampai jam setengah sebelas. Lalu menulis di buku ini sampai jam sebelas. Lalu tidur. Semoga besok aku tidak terlambat.”
Jika bisa memilih dimana Bulan bisa hidup, mungkin ia akan memilih akan hidup di malam hari. Karena, setelah menjalani hari yang panjang, di dalam kamarnya lah ia benar banar merasa hidup. Dengan meja belajar, buku novelnya, buku tulis, seliweran angin malam dan pemandangan jendelanya yang tidak pernah berubah namun tidak pernah bosan.
Sejak awal semester juga Bulan memiliki solusi untuk mengatasi kesepiannya. Ia membuka akun instagram khusus untuk membicarakan bukunya. Jadi, setelah selesai membaca buku, ia akan memotret bukunya dengan indah lalu mempostingnya layaknya itu adalah foto dirinya sendiri. Dengan caption yang panjang berisi ulasan atau apapun yang ia pikirkan tentang buku itu.
“Harusnya, kamu punya ide ini sedari dulu. Alias, keren banget, Bul! Aku mau jadi pengikut kamu yang pertama.” Itulah anggapan Yolanda saat Bulan memamerkan akun instagram barunya.
“Rasanya seperti baru keluar dari penjara, Yolan. Bertahun tahun aku tidak menuangkannya pada apapun, kini perasaannya berbeda. Walaupun tidak banyak yang menyukai postingan bukuku, tetapi aku senang melakukannya.” Seru Bulan bersemangat.
“Itu bagus sekali. Toh, kamu juga melakukannya untuk dirimu sendiri, bukan untuk orang lain, kan?”
Bulan mengangguk mantap.
“Beberapa hari, waktu, kita memang tidak pernah bisa selalu menentukan dengan siapa kita mengobrol, berpapasan di pinggir jalan, meminta bantuan pada orang lain bahkan berjalan bersama di terik hujan dengan dilindungi satu payung biru kecil.
Interaksi interaksi manusia memang tidak dapat dipilih, namun dari kian ratus nan ribu kemungkinan yang terjadi, aku punya satu momen yang lucu dan tak terlupakan bersamamu. Ya, mungkin sejatinya memang seperti itu. Momen momen tak terlupakan bukan selalu tentang hal indah dan sakit hatinya, namun konteks komedi, lucu, random dan aneh memiliki ruangan itu.
Kamu merebutnya. Banyak momen indah dan menyakitkan yang ku punya. Tapi, saat bertemu denganmu, ada satu warna dalam hidupku yang baru kau isi. Nyatanya diisi oleh tinta tinta komedi itu, diisi oleh dirimu sendiri.
Hal semacam itu memang tak terduga kapan terjadinya. Entah satu minggu sekali, empat hari sekali, atau bahkan satu bulan sekali. Sialnya, sial, itulah yang membebaniku. Aku merindukan interaksi yang tidak disengaja itu, amat rindu, sangat, berat dipikul.
Aku merindukan hal hal yang tak bisa di duga, itulah bahayanya. Aku terjerumus pada bahaya komedi yang ku simpan sendirian. Menunggu, tetapi tidak tau apa yang ditunggu. Menceri, tetapi selalu tidak dapat yang dicari. Ku simpan semuanya sendirian, kecuali kalau kamu ingin menemaniku, dengan senang hati.”
Setelah menulis di bukunya, Bulan menutup jendela serta gordennya. Mematikan lampu. Merebahkan tubuhnya di kasur. Terlelap dan mimpi indah.