Read More >>"> Interaksi (Prolog) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Interaksi
MENU
About Us  

“Heh, kalian kira kuliah itu genrenya romance? Dalam mimpi! Kuliah itu genrenya thiller, horror, action, pokoknya yang bagus bagus kaya di film dan novel itu gak ada. Apalagi kalau udah ikut organisasi, kepanitiaan. Boro boro mau mikirin masalah cinta, ngurusin organisasi aja bikin pusing, apalagi masalahnya sama kakak tingkat. Kuliah itu genrenya bukan romance!”

Habis sudah Yolanda dan Bulan dibentak oleh kakak tingkatnya itu. Sebenarnya, mereka hanya beda satu tahun, tapi sepertinya sifat senioritas kampus Karisma terbawa sampai rumah. Padahal, mereka hanya mengobrol berdua seputar ekspektasi saat masuk kuliah nanti, tiba tiba saja ada seseorang yang membentak di belakangnya dan langsung bergabung duduk.

Malam itu di Pagi Coffee.

“Lagi pula, bukannya masa masa romantis lucu gemes itu udah terlewati, kan? Waktu SMA?”

Yah, dia kayak yang gak kenal tetangganya saja. Yolanda yang terlalu terobsesi dengan cowok Korea tidak sempat memikirkan orang di sekitarnya (kecuali satu fandom) dan Bulan yang kutu buku hidup dengan dunianya sendiri (tidak jauh beda dari Yolanda).

Yolanda hendak menjawab, tetapi Karisma memotongnya dengan ucapan sarkasnya yang saking seringnya hingga terdengar biasa, “Aku tau kamu mengejar yang mustahil. Kamu, Bul?”

Karisma menunjuk ke arah Bulan dengan kepalanya yang terangkat dan sorot matanya yang menyeramkan. Entahlah, sorot matanya selalu terlihat seperti itu.

“Tidak ada laki laki yang suka pada perempuan kutu buku, Risma.” Jawabnya dengan nada pasrah sambil membenarkan kaca matanya.

Yolanda meneguk kopinya, tertegun. Anak ini ada benarnya juga. Orang kutu buku, harus bertemu dengan orang sejenisnya, hingga mereka bisa beternak kutu, gerutunya. Lalu, Karisma menyipitkan matanya sambil melihat sekitar.

“Bang, americano dinginnya satu.” Karisma menoleh ke arah barista yang sedang lewat. Soni, anak Pak RT.

“Siap, Risma.” Ucapnya sambil berlalu.

Karisma sepertinya baru pulang dari magang, itulah yang dikatakan ibu ibu komplek saat mengobrol. Ia menghabiskan waktu liburannya dengan magang, entah apa pekerjaannya, ia tidak memberitahu siapapun. Tetapi, terlihat dari pakaiannya yang rapi dengan blazer coklat, kemeja putih, rok selutut, dan sepatu hak chunky, ia terlihat seperti pembawa berita di televisi.

“Intinya, jangan pernah mikir kuliah itu enak. Jauh dari kata itu. Sebenarnya, banyak banget masalah, sih. Masalah sama teman seangkatan, sama adik tingkat, kakak tingkat, belum lagi sama dosen yang suka aneh aneh. Saking banyaknya masalah, gak akan kepikiran mau pacaran atau bahkan jatuh cinta. Belum lagi cowok yang gak bener itu banyak, jangan mudah percayaan, deh. Nambah masalah, nambah beban hidup, lebih baik kuliah aja yang bener. Lulus cepet, IP tinggi, dapet kerjaan yang baik. Toh, nanti juga laki laki datang sendiri.”

Di saat yang bersamaan setelah Karisma berceloteh, Soni datang mengantarkan pesanannya. Yolanda dan Bulan terkekeh karena yang Karisma katakana seolah terjadi pada dirinya sendiri. Laki laki datang dengan sendirinya.

“Duluan, ya. Dari kalian dulu, nanti pasti ku bayar.” Karisma berlalu sambil membawa kopinya. Ia beranjak dan pergi dengan terburu buru. Entah apa yang ia kejar.

“Risma!” Soni berteriak, memberikan kode. Gelas miliknya.

“Biasa, Son. Nanti ku antar ke rumah, ok?”

Soni hanya mengangguk.

Semua orang di komplek sudah kenal dengan sifatnya. Bahkan Soni, teman kecil Karisma yang sedari dulu segan pada perempuan galak itu. Yolanda dan Bulan adalah duo maut sedari TK bahkan hingga sekarang kuliah. Mereka memang tidak satu program studi, tetapi satu fakultas.

Karisma melambaikan tangannya lalu menancap gas motornya.

“Kamu tadi bilang apa, sih?” ujar Bulan setelah ia memastikan bahwa Karisma sudah jauh pergi.

“Aku hanya bilang, ‘nanti aku mau cari pacar kating, gak mau yang seangkatan.’ Gitu doing.” Jawab Yolanda, ia menopang dagu di atas meja.

Bulan menyeruput kopinya hingga habis.

“Emangnya aku salah bilang begitu?”

“Gak salah, sih. Mungkin Karisma gak percaya ada bakal ada kakak tingkat yang seganteng cowok Korea kamu. Aku tau, kamu cari yang ganteng, kan?”

Yolanda terkekeh, sambil menggigit bibir bawahnya. Ia malu sahabatnya mengatakan hal yang benar, jujur dan akurat. Di sisi lain, ia juga sadar diri.

“Aku gak yakin bakal ada kating seganteng cowokku.” Ya, Yolanda biasa memanggil idonya dengan ‘cowokku’, terlalu berlebihan tetapi itulah adanya.

“Maka dari itu tadi Karisma bilang kamu mengejar yang mustahil.”

“Kalau ada juga kayaknya susah dapetinnya, Bul. Aku juga anak biasa saja. Gak cantik, gak jelek. Netral, lah. Dan kalau ada juga, pasti bukan hanya aku yang suka. Dia bakal jadi idol kampus, dan aku tetap jadi kerang laut, bukan mutiara.” Yolanda berkata sambil menatap kosong, masih menopang dagu.

“Itu mungkin alasan kedua Karisma bilang kamu mengejar yang mustahil.”

Yolanda mengangkat kepalanya, mengatur posisi duduk. Sedari tadi ia tidak bisa diam. Lalu berkata, “Kamu harus menemukan cowok itu.”

“Tapi aku gak suka cowok Korea. Kayak perempu-“

“Bukan, maksudku cowok kutu buku. Cowok yang sama denganmu. Bukannya menyenangkan bisa membagikan hobimu berdua? Selama ini kamu sendirian terus sama buku bukumu, kan?”

Bulan terdiam. Dalam hatinya tidak ada niat seperti Yolanda, tetapi setelah temannya mengatakan hal itu, Bulan mulai berfikir itu cukup hal yang boleh dicoba. Lagi pula, Yolanda benar, Bulan selalu senang sendirian, ia tidak pernah membagikan kesenangannya dengan buku pada orang lain.

“Kita itu anak fakultas ilmu budaya, loh. Apalagi kamu, anak sastra Indonesia. Pasti banyak anak anak sepertimu juga, hobi baca buku. Ya, masa anak sastra gak suka baca, sih?”

Bulan masih terdiam. Tidak ada ekspresi apapun di wajahnya, ia hanya terlihat sedang berfikir dan menimbang nimbang sesuatu.

“Tapi, ya, jangan dipaksakan. Kalau kamu sudah bahagia dengan buku buku itu, mungkin lebih dari cukup. Jangan nambah beban hidupmu sendiri, kecuali kamu mau ambil resikonya.”

Yolanda benar lagi, pikir Bulan. Dan ia lebih memilih untuk kebenaran yang kedua.

“Kalau orang kutu buku pacaran sama buku buku lagi, gak akan bener, Yolan. Bayangkan, mereka mau kencan, paling ke toko buku atau perpustakaan. Sesampainya disana, sibuk masing masing, keduanya sibuk dengan buku. Gak ada bedanya kalau pergi sendirian, kan?” celetuk Bulan.

Yolanda menganggukan kepalanya setuju.

“Tapi, yang tadi dikatakan Karisma itu benar gak, sih?” tanyanya kembali tiba tiba resah.

“Itu benar, Yolan. Kuliah itu genrenya bukan romance, gak seindah di film dan novel.”

“Bukan. Katanya, orang kutu buku, harus bertemu dengan orang sejenisnya, hingga mereka bisa beternak kutu. Apa ada orang yang suka beternak kutu, Bul?”

Bulan menghela nafasnya, “Ya ampun, Yolanda!”

*

Setelah kejadian malam di Pagi Coffee itu, Bulan tidak pernah berharap apa apa lagi di dunia perkuliahannya selain belajar. Bahkan, ia tak peduli dengan Yolanda yang katanya akan membuka lembaran baru dan bersifat tidak seperti kpopers agar semua cowok menganggapnya normal. Ia bahkan membeli casing baru yang di belakangnya tidak bisa ia pakai untuk menyimpan foto pacarnya yang mahal itu.

            “Gak mau pergi bareng Yolanda? Biar gak usah bawa motor.”

            “Ah, ma. Aku bukan anak sekolah lagi. Aku kuliah, loh. Ya, walaupun cuman tiga kilometer dari rumah.” Bulan mengenakan helmnya sambil tersenyum. Sedari SMA, ia memang selalu bareng Yolanda. Pergi dan pulang sekolah.

            “Hati hati, ya, nak.” Itulah yang dikatakan ibunya saat Bulan mencium tangannya.

             Bulan menjalani hari pertama kuliahnya seperti biasa. Sama seperti saat ia pertama kali masuk taman kanak kanak, sekolah dasar, SMP dan SMA. Biasa saja. Bahkan, ia sempat berfikir bahwa hari pertama masuk sekolah lebih menyenangkan dari kuliah. Karena, ia punya Yolanda disampingnya.

            Sebenarnya, Bulan tidak terlalu terobsesi dengan kakak-tingkat-tampan-pintar-pejabat kampus-aktif seperti Yolanda. Tidak ada yang ia harapkan dari kuliahnya selain mendapatkan teman baik. Untuk orang seperti Bulan, mempunyai teman sudah menjadi pencapaian tertinggi.

            Tapi, siapa yang ingin berteman dengan anak yang membosankan sepertinya? Yolanda anak yang menyenangkan, bahkan tadi Bulan sempat melihatnya di depan gedung kelas. Ia sedang bercengkrama dengan teman teman barunya. Bulan melihat Yolanda memegang handphone dengan casing barunya, ia tersenyum, lalu melanjutkan berjalan. Sendirian saja, hanya ditemani earphonenya.

            “Bulan, mau ikut ke kantin? Bareng anak kelas.” Ajak salah satu temannya, mereka baru saja berkenalan tadi.

            “Terima kasih, aku mau pulang saja.”

*

 Satu bulan setelah mereka kuliah, malam hari di Pagi Coffee.

            “Si Viko itu anak rantau, anak ibu kota. Aku sempat tanya kenapa dia pilih kuliah disini, katanya mau cari suasana baru, bosan sama ibu kota. Sheryl tinggal di desa, awalnya aku kira dia anak kota karna namanya keren. Pandu, dia anak pulau sebrang. Pulau yang pernah kamu ceritain tentang anak anak yang semangat sekolah sampai menang lomba cerdas cermat. Novel apa, sih? Aku lupa judulnya.”

            “Laskar pelangi.” Jawab Bulan, tidak sampai satu detik ia bisa menebaknya.

            “Nah, itu. Dia tinggal disana, bahkan pernah ketemu penulisnya langsung. Sayang, dia gak suka baca buku, Bul. Percuma ketemu.” Yolanda menyeruput kopinya.

            “Mungkin, temanmu itu hanya baca buku Shakespeare. Kalian anak sastra Inggris, bukan sastra Indonesia. Wajar dia biasa saja ketemu Andrea Hirata.”

            “Oh, begitu. Jadi, dia mungkin akan senang kalau bertemu Shakespeare?”

            Bulan diam saja, ia tersenyum getir.

            “Mereka bilang, senang punya teman dekat yang punya rumah dekat kampus. Bisa jadi sumber informasi. Nanti aku kenalin kalau mereka main lagi ke rumahku. Ah, besok juga bisa kalau kamu mau.” Yolanda melanjutkan ceritanya. Lebih baik daripada Bulan harus menjelaskan Shakespeare kepada anak sastra Inggris.

            “Nanti aja.” Bulan terkekeh. Yolanda mengerti, temannya ini bukan tidak mau tetapi ia hanya butuh waktu untuk berkenalan.

            “Kamu sering ke kantin?”

            “Sesekali, bareng anak kelas.”

            “Aku setiap hari mampir, gak pernah lihat.”

            “Artinya, aku tidak sedang disana.”

            “Perpustakaan?”

            “Kemana lagi kalau bukan kesana?”

            Yolanda memang paling paham soal Bulan. Baiknya, ia tidak pernah memaksa Bulan untuk berubah, ia menjadi sahabat yang baik dan membiarkan Bulan menjadi dirinya sendiri. Dari percakapan tadi, ia juga bisa menyimpulkan bahwa Bulan belum menemukan teman dekatnya, memang sulit baginya untuk menemukan teman dekat. Ia sangat hati hati saat bergaul.

            “Yolan, Risma kemana?” tanya Soni, tiba tiba berdiri di samping meja mereka.

            “Gak tau. Aku bukan ibunya.” Yolanda mengangkat bahunya.

            “Pasti dia belum mengembalikan gelas.” Bulan menoleh kea rah Soni, menebaknya.

            “Iya, beberapa kali juga aku ke rumahnya. Gak ada di rumah terus.” Soni menghela nafasnya, ia terlihat lelah.

            “Anak yang terlalu sibuk.” celetuk Bulan. “Mungkin dia lupa, coba sesekali kamu bicara aja sama ibunya. Barangkali ibunya bisa bantu bawa gelas kamu. Gak mungkin Karisma bawa gelas kafe ini ke kampus, pasti ada di dapur rumahnya.”

Soni menghela nafasnya lagi. Ia resah. Lalu berkata, “Apa dia pindah rumah, ya? Gak lagi tinggal sama orang tuanya?”

            “Anak organisasi emang gitu, Son. Hobinya pindah rumah.”

*

Waktu berlalu cepat. Tak terasa, satu semester terlewati. Bulan tetap menjadi dirinya. Selesai kelas, sesekali ia ke kantin tapi lebih seringnya ke perpustakaan. Sesekali juga ia memberanikan diri mengajak teman (yang sering mengajaknya ke kantin) untuk pergi ke perpustakaan, sayangnya tidak ada yang berminat. Akhirnya selalu sama, ia pergi sendirian ditemani earphonenya.

            “Aduh, maaf, Bul. Bukannya aku gak mau nemenin, tapi tadi kita abis belajar, masa mau belajar lagi di perpus? Dan, aku lapar, di perpus gak boleh makan, kan?” kata salah satu temannya.

            “Iya, gak masalah, kok. Santai.” Bulan selalu mengatakan ini.

            Ia juga sering melihat Yolanda di kampus. Entah sedang mengobrol, bermain kartu di depan fakultas, naik motor dengan temannya, dan hal hal lainnya yang biasa dilakukan mahasiswa baru. Sementara Bulan, ia tidak berani seperti Yolanda yang rela merubah casing handphonenya demi mendapatkan teman baru. Bulan tidak bisa, maka ia tetap pada zona nyamannya. Jarang sekali ia menyapa orang lain, kecuali teman yang sering mengajaknya ke kantin (walaupun ia sering menolak ajakannya).

            Di semester keduanya, ia diajak ikut kepanitiaan, lagi lagi Bulan menolak. Sedikit demi sedikit teman sekelasnya juga sudah mengerti bagaimana sifatnya. Di kelas saat dosen belum masuk, orang lain mengobrol sana sini sedangkan Bulan sibuk denga buku yang ia baca, hingga siapapun ragu untuk memanggilnya. Pernah seseorang bertanya, sedang buku apa, katanya. Bulan menjawab sambil memperlihatkan sampulnya. Percakapan itu terhenti disana, temannya tidak tau apa isi buku itu dan Bulan hanya asik sendiri.

            Satu semester ini, lagi, Bulan pergi ke perpustakaan sendirian. Tak jarang ia menemukan sepasang kekasih sedang baca bersebelahan. Ada juga yang sedang mengerjakan tugas di laptop. Ada juga yang berdiskusi tentang salah satu buku. Dan hal romantis lain yang sedikit membakar hatinya.

            Beberapa kali ia membayangkan sedang memilih buku di rak lalu ada seorang lelaki menghampirinya. Lelaki yang memiliki hobi yang sama dengannya, hingga mereka bisa melakukan hal yang disukai berdua. Entah awalnya karena buku terjatuh, berpapasan di rak buku, atau memulai percakapan karena buku yang mereka baca sama. Namun, beberapa kali juga ia menggelengkan kepalanya, menjauhi pikiran mustahil seperti itu, mengingat ucapan Karisma, bahwa kuliah itu tidak ada genre romantis seperti di novel, dan itu benar adanya.

            “Ah, dengan buku bukuku juga aku bisa bahagia. Kenapa harus melibatkan orang lain?” Ia selalu berfikir seperti itu, walaupun sebenarnya ia merasa kesepian.

            Tidak ada yang tahu apa yang terjadi hari esok, tetapi Bulan sepertinya lain. Semester selanjutnya ia akan menghadapi hari hari yang sama. Ia akan menjalani semester tiganya. Ia akan menjadi kakak tingkat. Prinsipnya tetaplah sama. Tidak akan pernah membosankan selama aku punya buku, pikirnya. Ia selalu memasang earphone, membawa buku bacaannya, menjalani hari harinya seperti biasa.

            Namun, siapa sangka? Nyatanya ada seseorang yang membuat Bulan bisa menyampingkan buku dan earphonenya. Bukan hanya diri sendirinya yang kaget, Yolanda pun sama, bahkan ia lebih bersemangat dari biasanya. Karisma juga sepertinya akan kaget dan merasa tak percaya jika tahu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Altitude : 2.958 AMSL
667      450     0     
Short Story
Seseorang pernah berkata padanya bahwa ketinggian adalah tempat terbaik untuk jatuh cinta. Namun, berhati-hatilah. Ketinggian juga suka bercanda.
Unending Love (End)
14509      1991     9     
Fantasy
Berawal dari hutang-hutang ayahnya, Elena Taylor dipaksa bekerja sebagai wanita penghibur. Disanalah ia bertemua makhluk buas yang seharusnya ada sebagai fantasi semata. Tanpa disangka makhluk buas itu menyelematkan Elena dari tempat terkutuk. Ia hanya melepaskan Elena kemudian ia tangkap kembali agar masuk dalam kehidupan makhluk buas tersebut. Lalu bagaimana kehidupan Elena di dalam dunia tanpa...
Forbidden Love
8594      1838     3     
Romance
Ezra yang sudah menikah dengan Anita bertemu lagi dengan Okta, temannya semasa kuliah. Keadaan Okta saat mereka kembali bertemu membuat Ezra harus membawa Okta kerumahnya dan menyusun siasat agar Okta tinggal dirumahnya. Anita menerima Okta dengan senang hati, tak ada prangsaka buruk. Tapi Anita bisa apa? Cinta bukanlah hal yang bisa diprediksi atau dihalangi. Senyuman Okta yang lugu mampu men...
Rumah Arwah
986      521     5     
Short Story
Sejak pulang dari rumah sakit akibat kecelakaan, aku merasa rumah ini penuh teror. Kecelakaan mobil yang aku alami sepertinya tidak beres dan menyisakan misteri. Apalagi, luka-luka di tubuhku bertambah setiap bangun tidur. Lalu, siapa sosok perempuan mengerikan di kamarku?
Katamu
2633      970     40     
Romance
Cerita bermula dari seorang cewek Jakarta bernama Fulangi Janya yang begitu ceroboh sehingga sering kali melukai dirinya sendiri tanpa sengaja, sering menumpahkan minuman, sering terjatuh, sering terluka karena kecerobohannya sendiri. Saat itu, tahun 2016 Fulangi Janya secara tidak sengaja menubruk seorang cowok jangkung ketika berada di sebuah restoran di Jakarta sebelum dirinya mengambil beasis...
Melodi Sendu di Malam Kelabu
461      296     4     
Inspirational
Malam pernah merebutmu dariku Ketika aku tak hentinya menunggumu Dengan kekhawatiranku yang mengganggu Kamu tetap saja pergi berlalu Hujan pernah menghadirkanmu kepadaku Melindungiku dengan nada yang tak sendu Menari-nari diiringi tarian syahdu Dipenuhi sejuta rindu yang beradu
Baret,Karena Ialah Kita Bersatu
675      395     0     
Short Story
Ini adalah sebuah kisah yang menceritakan perjuangan Kartika dan Damar untuk menjadi abdi negara yang memberi mereka kesempatan untuk mengenakan baret kebanggaan dan idaman banyak orang.Setelah memutuskan untuk menjalani kehidupan masing - masing,mereka kembali di pertemukan oleh takdir melalui kesatuan yang kemudian juga menyatukan mereka kembali.Karena baret itulah,mereka bersatu.
karena Aku Punya Papa
436      312     0     
Short Story
Anugrah cinta terindah yang pertama kali aku temukan. aku dapatkan dari seorang lelaki terhebatku, PAPA.
Until The Last Second Before Your Death
425      304     4     
Short Story
“Nia, meskipun kau tidak mengatakannya, aku tetap tidak akan meninggalkanmu. Karena bagiku, meninggalkanmu hanya akan membuatku menyesal nantinya, dan aku tidak ingin membawa penyesalan itu hingga sepuluh tahun mendatang, bahkan hingga detik terakhir sebelum kematianku tiba.”
Operasi ARAK
282      193     0     
Short Story
Berlatar di zaman orde baru, ini adalah kisah Jaka dan teman-temannya yang mencoba mengungkap misteri bunker dan tragedi jum'at kelabu. Apakah mereka berhasil memecahkan misteri itu?