Bab 5
Akhirnya. Melelahkan banget, mata pelajaran olahraga menguras banyak tenagaku. Aku paling suka jam istirahat setelah olahraga, itu seperti hak istimewa bagi kami, karena hanya kelas yang habis kegiatan PJOK yang mendapatkan jam istirahat lebih awal.
Belum genap kami menjawab salam penutupan dari Pak Rohim, sudah ada beberapa murid yang langsung berhamburan menuju kantin, bahkan ada yang sampai tersandung-sandung. Aku cekikikan melihat tingkah mereka.
“OI! Fatih sungguh lambat sekali jalan kau macam siput saja, nanti kita mengantre lama gara-gara menunggui kau.” Bulan temanku protes.
“Duluan sajalah kalian, aku cape tau.” Aku menjawab santai. Tanpa basa-basi lagi, Bulan bersama Farel langsung lari meninggalkanku. Oi? Sepertinya kalau mereka diberi pilihan antara semangkuk nasi goreng spesial buatan Eceu atau aku temannya, mereka akan memilih semangkuk nasi goreng itu. Aku menghela napas untuk kesekian kalinya, masih keletihan selepas olahraga tadi.
Olahraga hari ini capek sekali. Pak Rohim menggabungkan seluruh gerakan yang ada dari jenjang kelas kelas 1-2, untuk syarat kenaikan kelas 3.
“Ini es jeruk untukmu.” Bulan sekonyong-konyong menempelkan segelas minuman dingin ke pipiku, aku meringis kedinginan.
“Thanks!” Aku menerimanya. Langsung menenggak habis, saking hausnya, menghilangkan dahaga dikerongkongan.
“Farel mana? Kau tinggal?”
“Biasalah, dia malu-malu terus mau bilang pesanannya, gimana mau kepesan coba kalau dia diam saja?” Bulan masa bodoh. Memang sih, Farel orangnya terlalu sungkan, padahal sudah kita beri dorongan berkali-kali untuk lebih percaya diri.
Aku berinisiatif untuk mendatangi Farel. Beranjak pergi meninggalkan Bulan, membiarkannya sendirian menikmati makanan dan minumannya. Aku berlarian kecil, aku sudah bugar kembali setelah meminum es jeruk .
Udara terasa sejuk, pohon-pohon rindang tertiup seakan melambai-melambai. Ini yang paling kusuka dari sekolahku, enakeun kalau kata Eceu mah, karena sekolahku adalah sekolah adiwiyata. Banyak pepohonan dan tempat-tempat nyaman, contohnya tempat favorit kebanyakan murid-murid yaitu saung.
Lapangan dan kantin semakin ramai, murid-murid dari kelas lain sudah mulai berkeluaran. Suasana riuhpun hadir. Seperti biasanya.
“Eceu! Saya pesan nasi goreng 1 porsi dan es teh 1!” Begitu sampai didepan kantin aku langsung berteriak menyebutkan pesanan Farel biasanya. Berusaha melawan suara hingar-bingar disekeliling kantin yang ramai.
“Muhun jang, sakedap.” Inilah ibu kantin kebanggaan kami, beliau orang sunda makanya biasa dipanggil Eceu, yang dalam bahasa sunda artinya ‘Kakak perempuan’. Selain itu Eceu suka sekali berbicara dengan bahasa sunda, kami jadi tahu beberapa kosakatanya.
Eceu cekatan melayani pesanan-pesanan kami. Sesekali terhenti karena menyeka peluh didahi atau memperbaiki tudung.
Sejurus kemudian Eceu mengulurkan pesananku, yang sebenarnya untuk Farel. Aku langsung menunjuk kearah Farel, Eceu menganggguk, menyerahkan ke Farel dan Farel gelagapan menerima lalu membayarnya. Eceu tentu tau sekali perangai temanku yang satu ini, bahwa dia sering terhimpit-himpit dan malu-malu bila hendak memesan, tapi Eceu juga kerepotan dan tidak bisa mengurusnya.
“Eh, Fatih, Terima Kasih ya. Tapi, harusnya kau tidak usah repot-repot.”
“Heh, kalau kau kubiarkan justru yang ada aku jadi repot, dihukum karena telat masuk kelas karena menunggui kau mengantre ditambah kau makan dan minum yang sungguh lama.” Aku mulai sedikit kehilangan kesabaran.
“Maaf.”
“Sudahlah, lupakan saja. Kita itu teman, sudah seharusnya saling membantukan ‘kan?” Aku menghela napas. Hei, aku tidak berharap dia untuk minta maaf.
Farel mengangguk pelan. Aku tersenyum, kemudian dia juga merekahkan senyum simpul diwajahnya. Kami berjalan beriringan menuju tempat Bulan berada.
“Akhirnya kalian datang!” Bulan menyambut kami.
“Makan disaung saja yuk?”
“Kau tidak lihat, Fat? Saung sudah penuh semua sama yang lain. Kita keduluan.” Aku memperhatikan sekitar, Bulan benar saung-saung sudah penuh dengan murid-murid lain.
“Apa boleh buat, kita makan disini saja. Air mancurnya bikin suasana sejuk juga kok, kita tidak akan kepanasan.” Aku beringsut duduk disebelah Bulan.
“Bagaimana kalau makan dikelas saja? Lebih nyaman ‘kan?” Farel memberi usul lain.
Aku menatapnya, menyelidik. Selain pemalu, Farel juga kurang suka ruangan terbuka dan ramai.
“Ayolah kawan, dikelas itu pengap, lebih baik kita menikmati santapan kita disini, lebih nyaman daripada dikelas, ya?” Bulan membujuk seraya merangkul Farel. Yang dirangkul bersungut-sungut. Aku menyeringai, meyakinkan.
Kamipun memakan makanan kami, sambil bercakap-cakap, saling menimpali, dan saling bertukar cerita. Dan tentu saja aku bercerita tentang aku yang ditinggal berdua dengan Kak Nala semenjak kemarin. Begitu juga Bulan, dia menceritakan apapun yang ingin dia ceritakan. Beda dengan Farel, dia hanya menimpali cerita-cerita kami, dan sedikit saja bercerita tentangnya.
Kami sudah beberapa kali mendesaknya untuk jangan sungkan bercerita dengan kami, tapi tetap saja dia beralasan bahwa tidak ada cerita menarik tentangnya. Yasudahlah, dia punya hak untuk itu, kami tidak boleh memaksa lebih jauh lagi.
KRINGG!
KRINGG!
KRINGG!
Bel tanda jam istirahat usai berbahana diseluruh penjuru sekolah. Kami buru-buru berbenah.
“Bulan! Tunggu! Farel mau taruh mangkuk dan gelas ke Eceu dulu!” Aku berteriak, menghentikan langkah Bulan yang sudah terburu-buru ingin menuju kelas.
“Oh iya! Aku juga belum taruh.” Aku menyeringai. Bulan berbalik arah, menuju kantin. Aku membuntuti dari belakang.
“Lain kali kalian bawa bekal saja dari rumah sepertiku, atau minimal bawa wadah sendiri biar tidak perlu repot mengembalikan ke kantin setiap kali habis makan.” Aku memberi usul ke mereka ketika kita berlari menuju kelas.
“Ide bagus!” itu komentar dari Bulan. Kulihat Farel hanya menunduk sedari tadi, dan tambah menunduk lagi ketika aku mengatakan itu.