Pria itu berdiri di bibir jembatan, menghadap ke arah gemuruh laut yang memecah kesunyian. Malam telah bertengger, membisukan riuh manusia, membekap setiap tanda tanya yang belum terpecahkan, melenyapkan segala intensitas kehidupan. Hanya ada sepotong bulan purnama bercahaya temaram tertutup beberapa awan legam dan seorang pria dengan api rokok yang terlihat seperti seekor kunang-kunang yang kesepian.
“Pulanglah, kami merindukanmu,” ucap pria itu lamat-lamat membacakan sebuah pesan singkat di telepon genggamnya. Dia terlihat tak cukup senang. Sekilas kebingungan tersirat di wajahnya.
Dia menghadap ke arah jalan. Kemudian dihentikannya bus yang mendekat. Dia masuk, lalu duduk di bangku paling belakang. Tidak banyak penumpang bus itu. Hanya ada seorang nenek tua yang sibuk mengerjakan kerajinan tangan terbuat dari wol, seorang remaja yang berulang kali meneguk minuman keras sampai-sampai dia tidak menyadari celananya yang telah melorot hingga ke lutut, dan seorang pria berumur sekitar empat puluhan yang sedang membaca majalah dewasa berisi gambar telanjang anak-anak dibawah umur. Mereka semua duduk di bangku paling belakang.
Bus itu melaju membelah kesunyian. Hanya sesekali bunyi klakson memecah senyap. Lampu-lampu kota berpendar, namun tidak mampu menguatkan eksistensinya di malam yang terlalu gulita.
Pria itu turun di sebuah perkampungan. Dia merogoh sakunya yang dalam. Sebatang rokok mencuat dari tangannya yang baru menyembul dari saku celana. Dipetiknya korek api, lalu dia duduk di salah satu kursi kosong di tepi jalan. Dan kembalilah dia pada aktivitas favoritnya: mengisap rokok sembari memikirkan apa yang perlu dipikirkan. Walaupun dia tak yakin berpikir adalah hal yang mutlak mampu memecahkan masalah. Dan dia pun tak yakin ada masalah yang harus dipikirkan. Yang jelas, dia hanya ingin berpikir saja. Dan yang pasti, dia hanya tahu dirinya memiliki nama Tawil Burhanudin. Itulah yang tertera pada KTP. Dia tak tahu kapan dan di mana dia lahir. Karena hanya bagian nama saja yang masih terlihat jelas di kartu identitas tersebut.
Tawil tidak kehilangan jati diri. Dia yakin akan hal itu. Namun dia percaya ada sesuatu yang mengganjal. Dia tahu yang bisa dia lakukan hanyalah merenungi sesuatu yang sempat terlewatkan di kehidupannya.
Setelah hampir satu jam dia mengisap rokok, jarinya terasa kram. Hampir seharian jarinya menjepit rokok, seakan menjepit rokok adalah rutinitas layaknya bernapas.
Matahari mulai menunjukkan keberadaanya. Langit gelap berangsur membiru. Dia bangkit lalu berjalan. Berjalan entah ke mana. Ada ketukan kecil di hatinya, menyuruhnya tuk berjalan saja.
Dia melintasi tepian kali. Deru air terdengar jelas, saking sepinya. Kemudian dia melewati beberapa petak sawah. Beberapa petani sudah turun dari rumah dan mulai menggarap padi-padi di sawah.
Tawil terus berjalan. Dia masih menerka-nerka akhir dari tujuannya ini.
Sebuah rumah kecil terlihat ramai dari kejauhan. Ketika dia mendekat, barulah dia tahu mengapa ada keramaian seperti ini. Ada bendera kuning yang ditancapkan di depan rumah. Ramai sekali orang-orang berdatangan, dan tak sedikit tangis yang pecah. Mungkin sang almarhum adalah orang yang sangat baik dan dekat dengan warga, sehingga mereka merasakan kehilangan yang mendalam.
Diintipnya ke dalam dengan wajah lusuh. Tawil masuk terburu-buru seakan dia adalah kerabat sang almarhum, padahal ketergesaannya tidak lebih karena rasa penasarannya akan sosok orang mati di hadapannya. Dia menghampiri tubuh kaku yang terbujur di tengah kerumunan. Dipandangnya wajah jenazah itu. “Aku tak kenal,” pungkasnya lirih. Dia mengisap rokoknya makin dalam.
Keranda telah bangkit, dan jenazah dibawa beramai-ramai oleh warga kampung. Tawil mengikuti rombongan tersebut dari belakang. Toh, tak ada salahnya melihat prosesi pemakaman. Tak ada ruginya juga, pikirnya. Barangkali di tengah jalan dia akan menemukan jawaban untuk apa dia berada di sini.
Di sebelah keranda yang masih dibopong, ada seorang wanita yang tersedu-sedu. Berulang kali dia mengucapkan, ‘Ibu... Ibu... Ibu...” Tampaknya ia adalah anak sang almarhum.
Sebuah pemakaman umum terlihat tak lama kemudian. Rombongan warga yang melayat memasuki pemakaman tersebut. Sudah ada satu liang kubur yang menganga. Di sebelahnya ada dua kuburan yang berapatan. Ketiga kuburan itu sengaja dirapatkan karena mereka adalah satu keluarga. Barangkali dengan cara itu mereka bisa bereuni di dalam liang kubur sambil bercerita tentang kenangan indah semasa hidup.
Jenazah tadi diturunkan dari keranda, lalu beberapa laki-laki menurunkan jenazah tersebut ke liang lahat. Tanah mulai ditimbun kembali, menutup tubuh si jenazah. Tangis mulai pecah. Langit malam mulai rontok digantikan langit berseri-seri yang dijilati sinar mentari pagi. Ada duka yang menyambut pagi yang seharusnya disambut gembira oleh setiap orang.
Semua orang berkabung. Sanak keluarga tidak memancarkan ekspresi apa pun kecuali sendu yang pekat. Hanya Tawil yang tidak merasakan kesedihan apa pun. Tepatnya, dia tak tahu bagaimana harus bereaksi. Tak sedih, namun tak pula bersuka cita. Seolah jenazah yang ada di hadapannya itu bukanlah seseorang yang pernah dikenalnya. Seakan adegan yang terbentang di hadapannya hanyalah sebuah drama yang diputar berkali-kali pun tak akan mengubahnya menjadi kenyataan. Hatinya telah beku. Atau memang dia tak memiliki hati lagi?
Berpuluh-puluh manusia yang mengarak pemakaman telah bubar dan berpencar seperti asap yang dikibas angin. Tawil menyulut api dari pemantik dan melekatkannya ke ujung rokok. Dia mengisap perlahan dengan nikmat, lalu diembuskannya dengan perlahan pula, hingga apinya mengepul seakan mengiring kepergian orang yang pernah dekat dengannya selama berpuluh tahun di masa hidup silam.
Dia memperhatikan nisan di kuburan yang baru ditimbun tadi. Nama sang almarhum adalah Zulaikha Rasyid. Dua kuburan di sampingnya yang berdempetan, tertulis pada nisannya nama Burhanudin Nazwir dan Tawil Burhanudin. Sepasang suami istri dan seorang anak laki-laki yang telah meninggalkan dunia.
Tawil berdiri di tepi jalan, menunggu bus menuju kota. Sebuah bus merah yang penampilannya kusam menghampiri Tawil. Lalu dia naik dan duduk di kursi paling belakang. Dalam pikirannya, dia akan menuju kota dan pergi ke kantor. Kemudian malamnya dia akan pergi ke tempat hiburan malam, menghabiskan waktu bersama para gadis sewaan.
Tawil tak sadar ajal telah menjemputnya. Bahkan ketika ruhnya tak berikatan dengan dunia pun dia tak peduli dengan orangtuanya. Sama seperti ketika dia masih hidup. Setelah menjadi orang sukses, dia lupa dengan kehidupan di kampung, termasuk dengan keluarganya. Ketika orangtuanya berkirim kabar, tak sempat dia balas. Setiap kali sang ibu menghubunginya, ada saja alasan untuk mengindikasikan bahwa dia sedang sibuk. Dia terlambat untuk sadar, hidup tak abadi seperti kelopak melati yang bisa gugur kapan saja. Waktu akan mencekik hayat secara perlahan. Ketika kematian mengetuk pintu rumah, tak akan ada lagi kesempatan kedua apalagi ketiga.
Kematian dan sekelebat dosa masa lalu mengikis ingatannya hingga tidak menyisakan ingatan apapun kecuali keasyikan dunia yang menggerus kemanusiaan.