Jakarta hari itu terik. Tari menyeka keringat di pelipisnya sebelum membuka pintu apartemen. Wangi lemon menusuk hidung bangir wanita itu saat ia meletakkan kopernya di dekat sofa. Perlahan, Tari melangkah menuju salah satu kamar di dekat dapur. Cukup luas dengan view menghadap ke taman dan kolam. Seprainya bersih dan bantalnya kelihatan empuk. Wanita itu tersenyum sebelum manik matanya kini tertuju pada balkon yang menawarkan pemandangan kota. Kalau malam tiba, pasti makin cantik dengan kerlipan lampu dan gedung tinggi pencakar langit.
“Indri memang jago milihnya. Aku pasti betah tinggal di sini,” ujar Tari.
“Hmm, bagus ya. Sepupunya dilupain.”
Tari menoleh ke belakang dan menemui Indri yang tengah menyusun beberapa kardus. “Eh, In. Ya ampun, sorry, ya nggak bermaksud ninggalin kamu. Abis kamu bilang tadi nggak perlu bantuan. Aku pikir office boy bakal bantuin juga,” jawab Mentari dengan santai.
Indri hanya menggelengkan kepala mendengar pengakuan saudaranya itu.
“Dasar nggak peka kamu. Setidaknya kamu bawain lah, satu box. Tapi, aku maklum karena kamu udah nggak sabar mau lihat unit ini. Tar, mendingan sekarang kamu siapin makan siang buat kita. Bisa cari di bawah. Tapi pakai uangmu dulu ya, hehe. Aku kan belum gajian.”
Tari mengembuskan napas sambil membenarkan letak tas selempangnya.
“Untung aku masih peduli sama kamu, In. Ya udah, tunggu,” jawab Tari sebelum berjalan keluar.
Hal yang menjadikan apartemen Vela unik adalah karena keberadaannya di tengah kota dan terintegrasi dengan pusat hiburan dan perbelanjaan. Jadi, mereka yang menginap bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan mudah dan cepat.
Tari sangat menyukai konsepnya dan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama saat Indri menyewa ruangan selama setahun. Waktu yang Tari tetapkan untuk menyembuhkan lukanya karena kepergian kedua orang tuanya dan perlakuan seniornya yang sangat tak manusiawi.
Setelah masa pengungsiannya, Tari yakin ia bisa meraih hal lain yang lebih baik. Yang Tari butuhkan saat ini adalah ketenangan dan kebebasan. Dan hari ini adalah awal baik bagi wanita itu untuk meraihnya. Ah, ia bahkan sudah merasakannya.
Tari kini menekan tombol lift, memerintahkan alat transportasi itu untuk berhenti di hadapannya. Lift terbuka, menampilkan beberapa orang yang reflek menatapnya. Tari mundur selangkah saat seorang pria yang membawa koper hendak keluar. Tari memberi jalan padanya saat gantungan tasnya malah mengenai kucir rambut seorang anak perempuan. Hal yang menyebabkan kuciran itu terlepas.
“Aduh, maaf ya Dek. Tante nggak sengaja. Untung kamu nggak jatuh,” ujar Tari, menatap anak itu.
“Makannya Tante harus hati-hati lain kali,” jawab anak itu dengan lugu.
Tari ingin marah mendengar anak kecil malah menasehatinya, tapi urung saat suara bariton pria memenuhi telinganya.
“Naomi, nggak sopan bicara begitu sama orang yang lebih tua. Hm, maaf ya, Mbak. Silakan kalau Mbaknya mau jalan lagi.” Bintang mengangguk sopan pada Tari sebelum menggandeng tangan Naomi dan membawanya pergi.
“Pa, kita mau ke mana sih? Kenapa kita pindah kemari?” tanya Naomi dengan suara cukup kencang hingga Tari bisa mendengarnya.
Rupanya aku nggak sendiri. Ada juga orang lain yang memutuskan pindah dengan tujuan dan alasan mereka, batin Tari sebelum berlalu.
“Kita perlu suasana baru, Sayang. Papa yakin, Naomi pasti suka,” jelas Bintang, berharap tidak ada lagi pertanyaan lanjutan dari anak kesayangannya itu.
“Apa Papa mau ketemu sama Mama di sini?”
Bintang mengelus pelan kepala Naomi dan tersenyum tipis. “Mama kan, di Bandung. Jauh dari kita. Sekarang, Omi sama Papa di Jakarta. Dan kita pasti punya cerita seru buat diceritakan ke Mama nanti.”
Mata cokelat hazel Naomi menatap wajah Bintang dengan lekat, seakan mencari kebenaran dari perkataan pria itu. Selama ini, Bintang selalu berhasil merangkai cerita bohong untuk meyakinkan Naomi tentang keberadaan ibunya. Bintang yakin, Naomi anak yang pengertian dan selalu mendukungnya. Ya, setidaknya sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
“Okay, Omi ngerti.”
Bintang menghela napas lega dan memasuki unit apartemen yang bersebrangan dengan unit Tari. Ya, dengan menetap di sini, Bintang yakin ia bisa sepenuhnya memulai hari baru tanpa bayang-bayang mantan kekasih gelapnya, Jingga.
**
La Belle. Adalah toko bunga Tari yang mulai hari ini resmi beroperasi. Senyum Tari mengembang sempurna ketika manik hitam matanya tertuju pada bangunan tingkat dua dengan cat warna salem. Buket bunga mawar dan desi memenuhi hampir seluruh rak. Ember yang berisi bunga dan tanaman lain turut menyemarakkan suasana.
“Gimana, Tar?”
Tari menoleh dan menemui Indri yang menatapnya lekat. “Perfect, In. Aku suka banget sama konsepnya. Semoga kita bisa jalanin bisnis ini dengan baik, ya.”
“Amin,” jawab Indri mengatupkan kedua tangan di depan dada. “Ini kita udah resmi launching. Mau langsung ke dalam?”
Tari mengiakan dan melangkah masuk menemui etalase dengan pot-pot kecil dan dekorasi lain. Semua persis seperti yang Tari harapkan. Dan tadi sudah ada seorang pelanggan, kenalan Indri yang memesan buket bunga untuk acara wisuda.
“In, aku mau merangkai sebentar buat temanmu. Kamu nanti bisa tolong antar, kan?”
Indri memberi hormat dengan sikap berdiri tegak. “Siap, Komandan. Ada lagi yang perlu aku kerjain?”
Tari mengulas senyum tipis melihat tingkah sepupunya. “Itu aja. Tapi nggak perlu bilang kayak tadi, ah. Nggak enak aku.”
Indri terkekeh geli sambil melihat Tari yang sudah sibuk dengan florist kit dan pita besar. Tari pernah ikut kursus merangkai bunga dan ia bersyukur bisa menggeluti bidang yang memberinya penghasilan dan kesenangan dalam waktu bersamaan.
Tari sedang asyik mengatur bunga mawar saat terdengar suara musik kencang yang diikuti orang menyanyi dengan suara sumbang. Sangat mengganggu hingga Tari harus menutup telinganya.
“In, itu siapa, sih? Bisa suruh diam gak?” teriak Tari.
Indri berjalan tergopoh-gopoh dengan pot di tangan kanannya. “Mana kutahu. Paling orang iseng dan cuma sebentar. Udah selesai belum, by the way?”
Tari menggeleng dan berusaha kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, seiring waktu berjalan, musik malah makin kencang.
“Gak bisa dibiarin.” Tari segera beranjak dari tempatnya dan berjalan cepat, mengabaikan Indri yang terperangah melihatnya.
Tari menajamkan pendengarannya, mencari sumber suara yang mendistraksi pekerjaannya. Tari menyadari musik itu berasal dari bangunan di sebelahnya. Sepertinya ada penghuni baru, tapi kalau dia mau menetap di sini, jangan harap bisa berisik. Wanita itu menghambur masuk tanpa mengetuk pintu yang kebetulan tidak dikunci. Rambut lurus sebahu Tari yang tergerai ikut bergerak seiring langkahnya menuju pantry.
Di sana, seorang pria dengan celemek sedang sibuk membuat adonan entah apa. Yang Tari tahu, si pria menggoyangkan badannya sambil sesekali menganggukan kepala mengikuti irama lagu Linkin Park yang sangat tidak ramah bagi telinga Tari.
Wanita itu melambaikan tangannya sambil berteriak, menuntut perhatian si pria. Namun, yang dituju malah makin asyik dengan pekerjaannya. Dengan kesal, Tari akhirnya mengambil sendok di meja dan mengetuknya berkali-kali di hadapan si pria. Kehadiran Tari yang tiba-tiba dan suara ramai sendok mengalihkan atensi si pembuat adonan. Cepat, pria itu mematikan MP3nya yang tersambung dengan speaker. Pantas saja Tari bisa mendengarnya dengan jelas.
"Ada apa ya Mbak? Oh, maaf. Mbaknya siapa?"
Tari menarik napas panjang sebelum menjawab. "Masnya bisa menjaga ketenangan nggak, sih? Saya Tari, florist di toko bunga sebelah. Saya lagi merangkai bunga buat pelanggan pertama dan Masnya udah merusak konsentrasi. Nggak tahu apa ya, kalau pekerjaan saya itu perlu konsentrasi tingkat tinggi," jelas Tari dengan nada bicara ketus.
Si pria, Bintang, mengangguk sambil menatap wajah Tari yang sedang kesal. "Oh, maaf ya, Mbak. Tapi saya perlu musik biar lebih semangat buat adonan. Kalau Mbaknya keganggu, gimana kalau kita buat jadwal biar sama-sama nyaman? Saya lagi percobaan buat adonan dan akan selesai dua jam lagi. Mbaknya bisa pakai waktu itu buat merangkai bunga."
Tari membulatkan mata tak percaya dengan tawaran Bintang. "Loh, kenapa Masnya malah jadi ngatur? Pokoknya saya nggak suka kalau Masnya nyetel musik kencang. Masnya kan bisa pakai headset biar orang lain nggak dengar. Lagian, saya mana bisa kerja dengan jadwal begitu? Jam kerja saya itu fleksibel. Nggak bisa diatur kapan ada pesanan," jelas Tari sambil bersedekap.
Bintang mengangkat bahunya dengan santai. "Terserah sih, Mbak. Yang jelas Mbaknya udah nggak sopan masuk kemari tanpa izin dan langsung marah-marah."
Tari mengembalikan sendok yang dipegangnya ke meja. "Saya juga nggak begini kalau Masnya nggak mulai duluan. Tolong diperhatikan, ya. Saya-"
"Pa, kok ramai banget sih? Roti vanillanya udah jadi? Omi lapar, nih."
Tari dan Bintang reflek menatap anak perempuan dengan boneka Teddy Bear di pelukannya. Sejenak Tari teringat kejadian kemarin. Ya ampun, betapa dunia hanya selebar daun kelor. Bisa-bisanya Tari bertemu dengan orang yang sama. Dan mereka juga yang akan menjadi tetangga toko bunganya.
Bintang tersenyum manis, seakan melupakan pertentangannya dengan Tari barusan. "Sebentar lagi, Omi. Kamu main dulu dan Papa selesaikan semuanya. Habis itu, kita makan bareng, ok?"
Naomi melonjak bahagia sebelum pandangannya tertuju pada Tari yang berdiri mematung.
"Tante yang kemarin buat kucir rambutku lepas, kan? Tante mau pesan roti Papa? "
Tari dengan cepat membuat alasan sambil menatap anak kecil itu. "Um, Tante cuma kebetulan lewat."
Naomi mengangguk sebelum berlalu ke dalam, memberi kesempatan pada Tari untuk menyelesaikan urusannya dengan Bintang. "Ya udah kalau gitu, saya permisi. Tolong ingat kata-kata saya tadi."
Bintang hanya menggeleng, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Wanita selalu mau diperhatikan dan dimengerti tapi kadang mereka lupa dan abai kalau pria juga perlu hak yang sama. Bintang menekan tombol play di gawainya, melanjutkan lagi lagu dan pekerjaannya yang tertunda. Di sebelah, Tari makin sulit berkonsentrasi.
"Ih, lihat ya besok," ujar Tari menggenggam erat ranting bunga desi, menyalurkan kekesalannya.
**