Airin bernapas lega setelah menyelesaikan sesi konseling hari ini. Tidak hanya pasien lama, ia juga bertemu pasien baru. Agak disayangkan, pasien terakhirnya tadi adalah seorang remaja SMA bahkan remaja itu datang seorang diri tanpa didampingi walinya.
“Zaman sekarang, tuntutannya ngeri, ya, Dok,” keluh Bayu. “Kasihan, banyak remaja mental health-nya terganggu.”
Salsa mengangguk setuju. “Perasaan pas SMA, kita kebanyakan main. Kerasa stresnya pas kuliah, tapi masih bisa tetap haha-hihi ketemu teman.”
Airin tersenyum kecil. “Setiap orang punya problem-nya masing-masing dan seberapa kuat dia meng-handle dirinya sendiri. Yang sangat disayangkan, kadang rasa sakit itu datangnya dari orang terdekat dan nggak semua orang beruntung lahir di keluarga yang sehat.”
“Berarti saya termasuk beruntung, ya, Dok. Meskipun cerewet, tapi Mama nggak pernah nuntut apa pun. Papa juga lempeng aja waktu tahu nilai matematika dapat nol.” Salsa terkikik mengingat pengalamannya zaman SMA.
“Bangga banget dapat nol,” cibir Bayu.
“Iyalah, usaha sendiri, Bos. Daripada kamu, udah nyontek, tetap aja nilainya cuma sepuluh,” balas Salsa, tak mau kalah.
“Masih mending, daripada nol, wleee.”
“Cukup, ya. Nggak ada yang bagus, udah,” lerai Airin.
“DOKTER!”
Airin hanya tertawa dan mengundurkan diri untuk kembali ke ruangannya. Ia melepas sepatu high, mengganti dengan sandal bulu. Lalu duduk santai di kursi putar.
Netranya mengawang. Airin jadi kepikiran Sean. Sampai sekarang, adik sahabatnya itu tak kunjung datang.
“Arjune pasti susah banget bujuk dia,” terka Airin. Ia juga tidak bisa memaksa jika bukan atas kemauan yang bersangkutan.
= DMG =
Harusnya malam ini, Selgi bisa istirahat dengan tenang, tetapi tertanggu oleh telepon dari sang mama. Tentu ia akan sangat senang jika mamanya bertanya tentang kabar ataupun kegiatannya selama ini, bukan malah mengajak debat dan berakhir memojokkan pekerjaannya. Selgi sadar sebagai anak tunggal, ia adalah satu-satunya harapan dan tentu saja orangtua ingin yang terbaik untuk anaknya, terutama menyangkut masa depan. Namun, apakah salah kalau ia memilih jalannya sendiri?
“Ma, aku baru aja selesai training. Ini juga udah mulai kerja, kok.” Selgi terduduk lunglai di sofa. Telinganya terasa panas mendengar omelan sang mama.
“Halah, sebelumnya juga bilang gitu, tapi mana? Hasilnya nggak kelihatan juga.”
“Semuanya, ‘kan, butuh proses, Ma. Aku masih harus ningkatin branding di perusahaan baru biar banyak yang lirik tulisanku.”
“Kamu udah nulis berapa tahun, Gi? Kalau kayak gini terus, mending pulang, bantuin bisnis keluarga.”
“Aku masih mau berusaha, Ma. Tolong dukung, Gigi, sedikit lagi.”
“Berhenti ikut-ikut Joya, Gi! Joya sukses bukan hanya jadi penulis, tapi juga memimpin Graydaction. Joya mewarisi bakat ayahnya dengan sangat baik, sedangkan kamu? Dulu, mama nggak usik lagi pilihanmu karena papamu dan Papa Joya meyakinkan kalau kamu akan sukses nantinya. Tapi bukannya berusaha lebih keras, kamu malah pindah perusahaan.”
“Ma, Gigi –”
“Apa? Pulang, Nak. Mama cuma mau yang terbaik buat kamu. Mama nggak tega lihat kamu kesulitan.”
Selgi termenung, tidak fokus dengan apa yang dikatakan selanjutnya. Sakit rasanya saat dijadikan pembanding, terlebih orang itu adalah mamanya sendiri. Wanita yang telah melahirkannya itu tidak tahu struggle yang ia lalui selama ini. Bagaimana caranya untuk tetap bertahan di bawah tekanan yang selalu menghantui pikirannya. Kesulitan? Tentu saja, itu adalah bagian dari kehidupan. Meskipun menyiksa fisik dan mental, setidaknya ada rasa bangga saat berhasil menyelesaikan sesuatu yang ia mulai.
Mama nggak salah. Dia cuma nggak tahu, gimana susahnya keluar dari lingkungan se-toxic itu.
Ponsel di genggaman Selgi luruh saat mama mengakhiri panggilan. Saat itu pula, ia tidak bisa membendung lebih lama liquid bening yang menggenang di pelupuk mata. Selgi menangis tanpa suara, amat menyesakkan menahan keluhan di dalam dada.
“Selgi ….”
Panggilan lembut itu mengambil alih atensi Selgi. Pipinya kian banjir kala Airin mendekat dengan tangan terbuka. Sekali lagi, Selgi menangis hebat dalam pelukan wanita itu.
“S-sakit, Kak,” lirih Selgi terbata. “Ma-mama nggak mu-mukul a-aku, tapi kenapa rasanya se-sesakit ini.”
Airin menepuk-nepuk pelan punggung Selgi, membiarkannya mengungkapkan semua yang dirasa. Sekiranya cukup dan tangisnya reda, Airin mengurai pelukan. Ia tangkup pipi basah itu disertai usapan lembut. Tak lupa tersenyum untuk menyalurkan ketenangan.
“Aku tahu kamu lagi nggak baik-baik aja sekarang. It’s okay nangis sepuasnya, but remember you are beautiful, talented, and awesome.”
“Ma-mama – ”
Airin menggeleng pelan. “Apa yang kamu perjuangin itu nggak sia-sia. Kamu udah sejauh ini, tolong bertahan sedikit lagi, ya. Mamamu hanya takut, tapi kamu lebih kuat, hm?”
= DMG =
“Hal terbaik bukan datang terlambat, tetapi hadir di waktu yang tepat. Bertahan sedikit lagi, ya?”