Ting
Lift membawa Airin menuju lantai di mana ruangan para petinggi perusahaan berada. Di dalam kotak besi itu, ia mematung seorang diri. Kedua sisi tangannya menenteng masing-masing kota makan siang dan juga minuman.
Keluar lift, Airin mengambil arah ke kanan, tersenyum senang kala melihat Jayden yang tampak tekun di depan komputernya.
“Jayden …,” panggil Airin seraya mengetuk meja pria itu.
Jayden mendongak, terkejut melihat sosok di hadapannya. “Loh, Ai, kamu di sini?”
Airin mengangkat tangannya, menunjukkan apa yang ia bawa. “Belum pesan makan, ‘kan? Makan bareng, yuk!”
“Untung aja belum pesan makan. Presdir tahu kalau kamu ke sini?”
Airin menggeleng. “Jadwalku agak longgar, jadi kupikir aku harus ke sini sekalian membicarakan … ya, kamu tahulah. Arjune nggak datang lagi setelah hari itu.”
Jayden mengangguk, mengerti kalau memang sulit membujuk adik atasannya.
“Eh, tapi kalian nggak lagi sibuk, ‘kan?”
“Presdir nggak ada meeting hari ini, cuma menyelesaikan pekerjaan biasa.”
Airin bergidik. “Agak aneh mendengarmu memanggilnya Presdir.”
“Hahaha, kamu harus terbiasa. Bagaimanapun, dia bosku sekarang.”
Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian dua orang itu. Sean mematung, dahinya mengerut melihat keberadaan sosok yang sudah lama menghilang tanpa kabar. Tidak ada ekspresi berarti, pun sapaan hangat. Sean melengos, berlalu setelah berpamitan pada Jayden.
“Dia marah?”
= DMG =
Turun ke lantai dasar, Sean melihat Tomi dan Nara di depan resepsionis. Seperti biasa, asistennya itu tidak berhenti mengoceh, meskipun tidak ada tanggapan dari lawan bicara. Berjalan mendekat, ia bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.
“Benar, lho, ya, hiatusnya Sean, aku libur juga.”
“Hm.” Tomi menatap malas gadis itu. Bertahun-tahun bekerja sebagai partner tidak menjadikannya kebal dengan omong kosong yang sering gadis itu lontarkan.
“Awas aja kalau tiba-tiba aku dipindahkan sementara ke artis lain.”
Tomi menghela napas pasrah, entah sudah berapa kali Nara mengulang kalimat itu. Demi Tuhan, ia lelah mendengarnya.
“Akan ….” Nara menutup kembali mulutnya. Tatapan penuh peringatan Tomi membuatnya ciut. “Oke, aku diam.”
Diam-diam, Tomi bernapas lega, telinganya sudah aman sekarang. Kedatangan Sean pun membuatnya siaga. “Oh, kamu udah di sini? Mau makan di mana?”
“Drive thru aja, Kak.”
“Oke, let’s go,” pekik Nara tanpa tahu malu, tidak peduli orang-orang menertawakannya. Ia berjalan riang, meninggalkan dua pria yang menatapnya aneh.
“Aku tidak mengenalnya,” lirih Sean.
“Aku juga.” Tomi melirik Sean. Keduanya tertawa kecil, berjalan beriringan menyusul Nara.
= DMG =
Satu jam terpapar flash kamera, pemotretan sore itu akhirnya selesai. Tidak butuh waktu lama untuk berbenah, Sean pamit menunggu di mobil. Ia mengotak-atik ponselnya untuk membunuh kebosanan. Tidak ada yang menarik di sosial medianya, terlampau muak melihat berita-berita sampah kalangan artis yang ia yakini adalah permainan media.
Sean mematikan ponselnya bertepatan dengan masuknya Nara dan duduk di sampingnya. Tomi berada di depan, menemani Pak Sopir.
“Sean, pemotretan hari ini adalah jadwal terakhirmu. Kamu yakin akan hiatus dulu?” tanya Tomi. Sekali lagi, ia memastikan tidak ada yang berubah dari keputusan Sean.
Sean mengangguk pelan. “Sesuai rencana aja, Kak.”
Nara bertepuk tangan senang. “Akhirnya, aku bisa pulang kampung juga.”
“Senang banget?!”
Nara menatap Tomi sinis. “Iya, dong, kapan lagi bisa libur dengan tenang sampai akhir tahun.” Ia tersenyum manis pada Sean. “Apa pun alasanmu memilih hiatus, aku harap kamu akan lebih bersinar saat kembali nanti.”
“I hope so,” lirih Sean. “Mau kupesankan tiket?”
“Ey, nggak perlu repot, Tom-Tom bisa mengurusnya untukku.”
Tomi berdecak, lagi-lagi dirinya yang menjadi tumbal.
Sean memusatkan pandangan ke luar jendela. Sore ini, langit tampak cerah, lalu lintas pun lancar meskipun agak padat. Netra tajamnya memindai setiap objek yang dilewati hingga fokusnya tertuju pada satu titik.
“Pak, tolong berhenti di depan,” pinta Sean.
“Baik.”
Nara menatap Sean penuh tanya. “Kenapa berhenti? Kamu butuh sesuatu?”
“Ada yang ketinggalan?” Tomi turut bertanya.
Sean menggeleng pelan. “Aku turun di sini. Kakak langsung pulang aja.”
“Kamu mau ke mana? Nggak usah aneh-aneh, deh, kalau ada yang mengenalimu, gimana?” cegah Nara.
“Aku akan baik-baik aja.” Sean memakai topi dan maker hitam, tidak lupa mengantongi kembali ponselnya. “Aku pergi dulu.”
“Kalau ada apa-apa langsung kabari aku,” pesan Tomi sebelum Sean melangkah jauh.
Nara memukul pundak Tomi. “Kenapa kamu mengizinkannya pergi, ha?! Kalau terjadi sesuatu, gimana?”
“Udahlah, Sean bukan anak kecil. Dia bisa jaga diri.”
= DMG =
Helaan napas terus terdengar. Entah sudah berapa lama, Selgi duduk termenung di kursi taman yang langsung berhadapan dengan jalan raya. Tatapan lurusnya berkedip lambat, seolah terhambat beban berat.
Terlampau larut dalam pikiran, Selgi sampai tidak menyadari kehadiran seseorang di sampingnya. Selgi terlonjak saat pandangannya terhalang sosok jangkung yang tengah menyorotnya tajam. Ia bergeming dengan kepala mendongak. Aroma bayi yang menguar dari tubuh pria itu memenuhi indra penciuman, terasa menenangkan. Ia baru menyadarinya setelah beberapa kali mereka bertemu. Entah parfum apa yang digunakan oleh pria itu, pastinya bukan parfum murahan yang dijual di pasar raya.
Beberapa detik saling menatap, Sean memutuskan pandangan. Ia merogoh masker hitam dari dalam saku hodie, lalu memakaikannya pada Selgi. “Udara kota lagi nggak bagus, kenapa pergi nggak pakai masker?”
Selgi meringis. “Maaf, aku lupa. Makasih maskernya.” Ia sedikit bergeser, memberikan ruang agar Sean bisa duduk. Kepalanya menengok sekitar, memastikan tidak ada seorang pun yang memperhatikan mereka. Selgi tentu saja ingat sedang bersama siapa sekarang. Terciduk paparazzi itu sangat mengerikan.
Selgi melirik Sean melalui ekor matanya. Tanpa sadar, senyum tersungging di bibirnya. “Ose ….”
Sean menoleh sekilas. “Hm?”
“Sadar nggak, sih, kalau kamu selalu ada pas aku down?”
Dahi Sean mengerut, tidak mengerti.
“Kamu emang selalu gitu, ya? Nyamperin orang-orang yang kelihatan putus asa atau cuma ke aku aja?”
“Hm, kamu aja.”
Jawaban spontan Sean membuat Selgi tertawa kecil. Ia bersandar nyaman, mulai menikmati suasana sore yang sebelumnya tertutup pikiran rumit. Kehadiran Sean seolah membebaskannya dari jeratan rasa sesak yang memenuhi rongga dada.
“Kali ini, apa lagi?” Sean bertanya hati-hati, takut menyinggung privasi gadis itu.
Selgi menunduk, memainkan jari tangan. Ia belum pernah bercerita perihal kehidupannya pada orang lain, kecuali Airin. Namun, saat ini, ia ingin mencurahkan segalanya pada pria yang duduk tenang di sampingnya.
“Mama … sampai sekarang, dia nggak setuju dengan apa yang kulakukan. Dari dulu, Mama selalu membandingkanku dengan temanku.” Selgi tertawa miris. “Ah, aku nggak tahu apa dia masih bisa kusebut teman.”
“Pertemanan yang berakhir buruk?” tanya Sean, tertarik mendengar cerita Selgi.
Selgi membenarkan. “Ada sesuatu yang membuat hubungan kami renggang. Meskipun tindakannya salah, tapi aku nggak bisa benar-benar membencinya. Setiap bertemu pun, dia nggak pernah absen memprovokasiku. Kadang aku diam dan berakhir menangis, seperti yang pernah kamu lihat dulu. Kadang aku juga kepancing kalau dia udah keterlaluan.”
Sean berperan sebagai pendengar yang baik, menyimak cerita Selgi tanpa menyela. Ia perhatikan setiap detail ekspresinya saat berbicara. Terpancar amarah diliputi kekecawaan di balik hazel indah itu.
“Ose … aku emang sedikit lambat, tapi apa mereka nggak bisa lihat perjuanganku aja daripada menuntut hasil di saat mereka nggak pernah memberi dukungan?”
Sean menarik satu tangan Selgi agar tidak terus menyakiti tangannya yang lain. “Kebanyakan orang emang cuma peduli sama hasil. Apa yang kamu harapkan dari itu?”
Selgi mengerjap saat Sean tiba-tiba berdiri seraya menarik lembut tangannya.
“Kamu bawa motor?”
Selgi mengangguk. Tangannya yang bebas mengambil kunci berbandul bebek kuning di dalam tas selempang. “Kenapa aku nggak boleh berharap?”
Sean mengambil kunci dari tangan Selgi, menatap gadis itu dalam. “Karena terlalu berharap sama manusia, hanya akan menjatuhkanmu ke jurang.”
= DMG =
“Bualan yang terucap tanpa berpikir itu tidak ada artinya. Tutup telinga dan fokus saja. Pelan-pelan, start-mu pasti berakhir di garis finish.”