Cekrek-cekrek
Suara jepretan kamera disertai flash yang menyorot mata menjadi kesibukan di siang ini. Sean bergaya di depan kamera dengan begitu luwes, mengikuti setiap arahan sang fotografer. Puluhan foto yang berhasil diambil pun tampak sempurna, menuai decak kagum dari orang-orang yang ada di sana.
Pemotretan yang dilakukan untuk majalah Alle akhirnya usai. Mereka saling bertepuk tangan atas kerja keras hari ini, terlebih Sean yang merasa puas setelah melihat hasil fotonya. Pria jangkung itu mengucapkan terima kasih sebelum berlalu untuk mengganti pakaian.
Sean tidak langsung pulang. Ia beristirahat sebentar di ruang make up. Nara dengan sigap memberi Sean sebotol air mineral yang langsung diminumnya.
“Sean ….” panggil Tomi yang baru masuk ke ruang make up.
“Iya?”
Tomi menggeser kursi ke dekat Sean. “Pemutaran film-mu akan segera berakhir. Kamu mau ambil projek baru? Ada naskah film dan drama yang bisa kamu pertimbangkan.”
Sean termenung. Jari tangannya tidak bisa diam saling bergesekan. Kelopak matanya berkedip lambat, seolah otaknya tengah memikirkan masalah yang berat. Akhir-akhir ini, semua hal tentang pekerjaan terasa memuakkan untuknya.
Tomi dan Nara saling berpandangan, merasa bingung dengan aksi diam Sean.
“Sean ….” Nara menepuk pelan pundak Sean. Pria itu tersentak, membuktikan bahwa dirinya tengah melamun.
“Kenapa? Ada yang ganggu pikiranmu?” tanya Tomi.
Sean menggeleng. Tentu saja itu bohong. “Kak … aku nggak pengen ambil job dulu.”
Tidak hanya Tomi, Nara pun dibuat bingung dengan keputusan mendadak itu. Sean tidak pernah mendiskusikan masalah ini sebelumnya. Apakah keadaannya sudah di luar kendali sampai pria itu langsung mengambil keputusan sepihak?
“Apa kamu yakin?”
“Hm.”
Tomi menoleh pada Nara. Ketika wanita itu mengangguk setuju, ia hanya bisa pasrah dan menelan kembali pertanyaannya. “Oke. Setelah semua schedule-mu selesai, aku nggak akan terima tawaran apa pun lagi, tapi sampai kapan?”
“Akhir tahun.”
= DMG =
Pekerjaan Sean hari ini selesai lebih cepat dari jadwal yang ditentukan. Ia memutuskan langsung pulang, tidak ke perusahaan dulu untuk mengunjungi kakaknya.
“Udah pulang?”
Langkah Sean berhenti saat melewati ruang keluarga. Ia baru menyadari presensi Arjune di sana, berbaring santai di sofa sembari memeluk bantal. Tangannya juga aktif memegang remote tv, sesekali memencet tombol untuk memindah channel siaran.
Cukup lama Sean berdiri memperhatikan kakaknya. Ia sampai lupa, kapan terakhir kali melihat pria itu sasantai ini. Tanpa setelan jas dan pantofel hitam mengkilat, hanya kaos hitam tanpa lengan juga kolor kotak-kotak selutut. Sungguh pemandangan yang sangat langka.
Sean mengurungkan niat ke kamar, memilih duduk di sofa single dekat Arjune berbaring. “Tumben jam segini udah di rumah?” Ia melirik jam dinding sekilas.
19.51
Arjune tersenyum kecil, meletakkan remote di atas meja. Ia duduk bersila, menopang sebelah tangannya pada lengan sofa, sedang tangan satunya tetap mendekap bantal. “Kita udah lama nggak duduk bareng kayak gini.”
Sean mengangguk setuju. Beberapa bulan terakhir, mereka disibukkan oleh setumpuk pekerjaan. Di rumah pun hanya saling bertegur sapa sebelum berangkat kerja, dan seringnya Arjune pulang ketika dirinya sudah tidur, lebih tepatnya berusaha untuk bisa tidur.
“How was your day?” Arjune menatap lekat sang adik. Tatapan teduh itu menyiratkan banyak kekhawatiran. Entah Sean menyadarinya atau tidak.
“Kayak biasanya, nothing special.” Sean bersandar, merilekskan tubuhnya yang terasa amat pegal.
“Tomi bilang, kamu pengen rehat dulu sampai akhir tahun.”
Sean mengangguk singkat.
“Boleh tahu apa alasannya?”
Sean tidak langsung merespons. Ada jeda sebelum ia menjawab, “Lagi suntuk aja. Pengen cari suasana baru.” Ia menoleh pada Arjune. “Kakak marah?”
“Buat apa marah? Itu, ‘kan, pekerjaanmu. Kamu lebih tahu yang terbaik untuk dirimu sendiri.” Arjune mengalihkan pandangan pada layar televisi yang menampilkan acara komedi.
“Dek ….”
“Hm?” Dahi Sean mengerut. Arjune tidak pernah memanggilnya adik, kecuali ketika membahas masalah yang serius.
Sean setia menunggu apa yang akan dikatakan oleh Arjune, tidak mendesak ketika pria itu tak kunjung membuka suara. Saat bola mata mereka saling beradu pandang, saat itulah Sean sadar, Arjune menatapnya penuh kekecewaan.
“Sampai kapan kamu nanggung semuanya sendiri?”
Sean bergeming. Perlahan pandangannya luruh, tidak berani melihat sang kakak.
“Kakak masih ada, Dek. Masih di sini, di depanmu. Kamu udah nggak anggap kakak keluarga lagi?”
Perkataan Arjune memang lembut, tetapi tusukannya terasa sampai ulu hati Sean.
“Jangan kira selama ini kakak diam, kakak nggak tahu apa yang terjadi sama kamu. Kakak nunggu kamu jujur, Dek, tapi sampai sekarang pun kamu tetap nggak mau buka mulut. Kalau sakit itu bilang, jangan dipendam sendiri. Kakak merasa nggak berguna tahu nggak?”
Sampai di dalam kamar pun perkataan Arjune terus menghantuinya. Bagaimana pria itu tahu akan trauma yang perlahan kembali menguasai dirinya? Selain aduan dari Tomi, apa yang menyebabkan pria itu bertindak tegas, seperti tadi?
Otaknya berpikir keras, detail kecil apa yang ia lewatkan?
“Sial,” umpat Sean kala netranya fokus pada nakas. Ia bangkit, membuka tiga laci itu satu per satu, mencari benda yang selama beberapa bulan ini menemani malamnya.
Sean berhenti mengacak-acak isi laci, membiarkan barang-barang kecil lainnya tergeletak mengenaskan di lantai. Ia tertawa pelan, merutuki kebodohannya.
Dugaannya benar. Pil-pil putih itu tidak ada di tempatnya. Semalam, Sean lupa meletakkannya lagi dalam laci. Saat Arjune masuk, tentu saja pria itu langsung membawanya pergi.
Kakak lega, kamu memutuskan buat berhenti sebentar. Demi kebaikanmu, konsultasi lagi, ya, Dek. Kakak nggak akan sanggup lihat kamu hancur untuk kedua kalinya. Kamu harus tetap bahagia …
tanpa rasa takut.
= DMG =
“Ketakutan hanya akan menjadikanmu lemah. Katakan saja apa yang membuatmu gundah. Kamu berhak berbicara tanpa disanggah .”