“Ai, do you miss me?”
Airin membeku, semakin tidak berani memalingkan wajah. Ia sangat mengenali suara itu, meskipun sudah sepuluh tahun tidak saling bertegur sapa. Ayolah, apa yang harus ia lakukan sekarang? Benar-benar tidak menyangka akan bertemu secepat ini.
“Setelah sepuluh tahun, kamu diam aja? Nggak ada yang mau dijelasin gitu?” bisik pria itu lagi. Kali ini semakin berani mencium singkat puncak kepala Airin sebelum menjauhkan wajahnya. Ia tersenyum geli ketika melihat pipi wanita itu memerah.
“HEH!?” pekik Airin setelah sadar apa yang baru saja terjadi. Matanya melotot lucu, tidak segan memukul lengan pria itu bertubi-tubi. “Arjune, iih, nggak boleh cium sembarangan, nanti dilihatin orang,” rengeknya tanpa sadar. Airin memperhatikan sekitar, bernapas lega saat tidak ada orang yang melewati lorong ini.
Tidak tahan dengan rengekan Airin yang terdengar menggemaskan, Arjune mencubit pelan sebelah pipi wanita itu. Ia semakin semangat menjahilinya. “Berarti kalau di tempat tertutup, boleh, dong, cium-cium?”
“Yaaak!”
Pada akhirnya, Airin memilih bersikap biasa saja, seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya. Sikap jahil Arjune membuatnya mengurungkan niat untuk meminta maaf karena sepuluh tahun lalu pergi tanpa pamit. Biarkan saja, siapa suruh membuatnya kesal.
“Suuut, nggak boleh teriak-teriak di rumah sakit,” bisik Arjune seraya merangkul pundak Airin. Ia terkekeh geli melihat wanita itu cemberut.
“Ck, kamu, sih.” Airin menyentak pelan tangan Arjune di pundaknya. Sekali lagi menoleh sekitar, memastikan tidak ada yang terganggu karena suaranya.
“Iya, udah, nggak lagi.”
Airin hanya mengangguk, kembali berjalan menuju ruangannya.
“Kamu ngapain di sini? Udah malam, lho,” tanya Airin, melirik sekilas pria di sampingnya.
“Mampir aja, sih. Kebetulan aku habis meeting di dekat sini.”
Netra Airin memicing, tidak percaya. Pria itu pasti mengetahui keberadaannya dari Jayden.
“Beneran.”
Sampai di ruangan Airin, Arjune langsung melempar tubuhnya ke sofa panjang tanpa disuruh. Meeting selama empat jam sejak sore tadi benar-benar menguras energi. “Aku pesenin makanan sekalian, dimakan, ya. Maaf, aku masuk ruanganmu dulu, tadi.”
Airin meletakkan segelas teh hangat yang baru dibuatnya di meja, lalu duduk di samping Arjune. Melihat paper bag berlogo restoran Jepang yang memang dekat dari rumah sakit membuatnya percaya kalau pria itu tidak berbohong. “Ekhm, diminum tehnya.”
“Iya.” Arjune duduk tegak, meminum sedikit teh hangat itu.
“Aku makan, ya,” izin Airin seraya membuka kotak sushi di hadapannya. Ia tidak bisa menahan lapar lagi.
“Meskipun lapar, makan pelan-pelan. Aku nggak akan minta,” ingat Arjune, mengacak gemas poni Airin.
Airin mengangguk, sangat tidak sinkron dengan mulutnya yang menggembung penuh sushi. Lima belas menit kemudian, ia selesai makan malam yang tertunda. Setelah cuci tangan, Airin kembali duduk di samping Arjune.
“Em, aku tahu ini udah basi banget … maaf, ya, aku pergi tanpa pamit dan maaf juga, harusnya aku yang nemuin kamu, bukan kamu yang nyamperin kayak gini.” Airin menunduk, memainkan jari. Sejak dulu, senyum Arjune adalah kelemahannya. Ia semakin merasa bersalah saat pria itu tidak mengatakan apa-apa.
“Maaf –”
“No, aku nggak butuh maaf kamu,” potong Arjune.
Airin membalas tatapan teduh Arjune dengan senyum paksa. Sedikit sesak untuk kembali berucap. “Lain kali, ajak aku ke Om sama Tante, ya.”
“Hm, mereka pasti senang banget ketemu kamu.”
“Dan Sean ….”
“Hm?”
Airin meraih tangan pria itu untuk digenggam. Kali ini, ia menunjukkan senyum terbaiknya. “Selama ini, pasti berat, ya, buat kamu? Sekarang, aku udah kembali. Aku nggak akan biarin kamu berjuang sendiri.”
= DMG =
Blam
Pintu mobil tertutup, meninggalkan Selgi berdiri di tepi jalan. Ia sedikit menunduk untuk melihat Lulu di balik kemudi. “Makasih, Kak, buat hari ini. Hati-hati!”
Selgi melambai saat mobil Lulu perlahan melaju. Ia pandangi mobil itu sampai hilang di belokan. Senyum tidak pernah luntur dari bibir ranumnya. Hari ini, Selgi sangat bahagia. Tidak hanya makan, mereka mengajaknya bersenang-senang di timezone dan berakhir makan malam sambil karaoke.
Memejamkan mata sejenak, Selgi tidak langsung beranjak untuk mengambil motor. Maniknya menatap lama gedung Key Media yang berada tepat di seberangnya. Terkadang, dirinya masih belum percaya akan memulainya lagi bersama rekan yang tidak pernah terlintas dalam benaknya.
Key Media. Angan-angan yang terlalu tinggi bagi Selgi. Namun, Tuhan seakan tidak terima akan keraguan Selgi dan menunjukkan bahwa tidak ada yang mustahil di dunia. Buktinya, ia menjadi bagian dari perusahaan besar itu sekarang.
Keluar dari Key Entertainment, Sean mengurungkan niatnya untuk pulang. Kakinya membatu, menatap wanita yang berdiri beberapa meter di depannya. Cukup lama, ia memperhatikannya, tetapi tidak ada tanda-tanda wanita itu akan pergi.
“Apa yang sedang dia pikirkan?” lirih Sean. Inginnya tidak peduli, tetapi karena sudah hampir tengah malam, ia tidak tega meninggalkan wanita itu seorang diri.
Jalanan masih didominasi kendaraan, meskipun tidak sepadat ketika hari masih terang. Sean semakin heran, sorot lampu yang meyilaukan bahkan tidak memengaruhi wanita itu. Tangannya mengepal, terasa dingin dan ragu untuk melangkah. Berulang kali bola matanya mengarah ke kiri, sebanyak itu pula, pikirannya mulai tidak terkendali.
Selangkah, dua langkah, pelan, ia mendekat. Tarikan lembut pada pergelangan tangannya membuat wanita itu tersentak. Sean bisa melihat jelas wajahnya sekarang. Wanita itu lagi.
“Osean?” gumam Selgi.
“Jangan berdiri di pinggir jalan! Bahaya,” peringat Sean dari balik masker hitam. Ia mengurai lembut tangannya. Memperingatkan wanita itu sekali lagi sebelum benar-benar pergi. “Udah malam, cepat pulang!”
Selgi menoleh kaku, melihat punggung tegap itu menjauh. Lagi-lagi, Sean tidak membiarkannya menjawab. “Aduh, lupa lagi. Kenapa nggak sekalian ngembaliin saputangannya, sih?” Selgi menepuk pelan dahinya. Sepersekian detik, ia tersenyum. “Nggak papa, deh. Jadi ada alasan buat ketemu lagi.”
= DMG =
Ngeng … ngeng … tin-tin
Kamar itu sudah gelap, penerangan hanya mengandalkan cahaya bulan yang menyusup melalui celah sempit. Sean bergerak gelisah dalam tidur. Pikirannya tetap tidak mau beristirahat meski mata berusaha terpejam erat. Suara klakson disertai sorot lampu yang tajam terus saja mengusiknya.
Ngeng … tin-tin
Sean menyerah, terpaksa membuka mata. Keringat dingin membasahi dahi bahkan AC yang menyala dalam suhu rendah tidak mampu meredam rasa panas yang seakan membakar tubuhnya. Ia sungguh lelah dan ingin beristirahat dengan tenang.
“Atau mungkin nggak usah bangun lagi.”
Sean duduk perlahan, melirik jam digital di atas nakas.
02.18
Ia harus tidur agar bisa bekerja dengan baik siang nanti. Tubuhnya condong untuk mengambil sebotol obat kecil di laci. Sean menenggak dua butir pil putih itu tanpa air. Menunggu beberapa saat sampai obat itu bekerja, akhirnya ia bisa tidur nyenyak.
= DMG =
“Don’t give up! Tengok ke belakang. Lihatlah, meskipun sulit, kamu hebat karena tetap bertahan.”