Ting
Lift berhenti di lantai 5. Sean melangkah santai menuju ruangan yang biasa digunakan idol atau trainee KE berlatih dance. Sepanjang jalan terasa lengang, hanya segelintir orang yang berpapasan dengannya, mengingat jam kerja baru berakhir.
Masuk ruangan yang didominasi warna abu, Sean langsung disambut alunan musik beat yang memekakkan telinga. Punggungnya bersandar pada tembok dengan kedua tangan menyusup dalam saku celana training. Bola mata Sean turut bergerak, mengikuti tarian sosok pria berkaos singlet putih. Power full dan karismatik, seperti yang diharapkan dari main dancer X9.
Prok … prok … prok
Sean bertepuk tangan saat musik berhenti. Ia mengambil sebotol air mineral yang sengaja disediakan di meja pojok, lalu memberikannya pada Kaiven.
“Thanks.” Kaiven menerima botol itu dan meminumnya setengah. Ia berselonjor di lantai marmer yang dingin. Napasnya memburu, rambut hitam legam itu juga lepek dengan tubuh penuh keringat. Singlet putihnya bahkan tidak mampu menyembuyikan hartu karun sang idola, mencetak jelas enam kotak pada perut basah itu. Para penggemar pasti berteriak histeris jika melihatnya.
“Gimana? Aku membuat koreo buat title track comeback kali ini.”
“Kamu memintaku datang ke sini untuk melihatnya?” Sean duduk bersila di samping Kaiven. “Penting untuk kujawab?”
Tanpa validasi darinya, semua orang sudah tahu kalau Kaiven adalah salah satu penari terbaik di industri ini.
Kaiven terkekeh, menyangga tubuhnya ke belakang. Netranya menatap ke atas, sekelebat bayangan masa lalu muncul di benaknya. “Kalau aja kamu nggak mundur waktu itu, kita pasti masih terus latihan bersama dan menciptakan koreo-koreo yang keren.”
Kaiven berdecak, meninju pelan lengan Sean. Semakin kesal karena pria itu tetap tidak merespons. “Dasar manusia batu!”
“Apa salahku?” tanya Sean tanpa dosa.
Rasanya Kaiven ingin menjual wajah sok polos itu. “Nggak, tuan muda mana pernah salah.”
Sean hanya tersenyum kecil menanggapinya.
“Hah, meskipun dia nggak tahu apa-apa, kadang aku masih agak kesal dengannya.” Kaiven tersenyum lebar, merangkul pundak Sean. “Tapi tenang aja, kamu tetap adik tersayang.”
Sontak Sean melirik. “Kita seumuran.”
“Ey, tetap aja lebih tua aku tiga bulan.”
“Serah.”
Kaiven tertawa, mengacak gemas rambut depan Sean.
“Meskipun nggak jadi idol, aku bisa lebih kaya darimu.”
Kaiven semakin terbahak. “Sial, mau ngelak, tapi fakta.”
Sean pergi setelah para anggota datang dan bersiap untuk latihan. Langkahnya sempat terhenti ketika berpapasan dengan anggota termuda X9. Ia menatapnya sekilas sebelum melangkah menjauh masuk lift.
Tidak langsung pulang, Sean menuju lantai teratas gedung ini. Dahinya mengernyit saat tidak mendapati sosok Jayden di tempat. Ruangan Arjune yang kosong membuatnya kian bingung. Adalah hal langka jika memang kakaknya meninggalkan pekerjaan di jam yang masih bisa dibilang sore.
Nomor yang Anda tuju sedang berada di luar jangkauan, silakan ….
“Nggak aktif.” Sean mengantongi ponselnya kembali, sepertinya Arjune sedang tidak ingin diganggu sampai menon-aktifkan ponselnya.
Berdiri di depan kaca besar yang menampilkan seluruh kota dibalut gedung-gedung pencakar langit menciptakan ketenangan tersendiri bagi Sean. Untuk beberapa saat, ia hanya mematung dengan pandangan kosong. Pikirannya ramai, tetapi ia tidak berniat melerai.
Berada dalam practice room, acap kali membuka kenangan yang telah lama terkubur. Ingatan masa trainee yang menemani pertumbuhan remajanya mendadak berputar bak kaset rusak. Dulu, setiap pulang sekolah, Sean selalu datang ke ruangan itu untuk berlatih dance, berlanjut mengikuti kelas vokal, dan kembali berlatih dance. Saat itu, teman dekatnya hanya Kaiven. Mereka selalu lupa waktu jika sedang berlatih bersama bahkan bisa sampai pagi hari dan berakhir dimarahi oleh orang rumah.
Iya, dulu, Sean masuk line up debut X9 sebelum memutuskan untuk mundur dan beralih menjadi seorang aktor yang merangkap sebagai model. Sean pernah seambisius itu sebelum berserah diri mengikuti alur kehidupan yang dijalaninya sekarang. Ia melupakan fakta bahwa dirinya bisa hancur kapan saja dan meninggalkan grup bahkan sebelum debut adalah langkah yang tepat karena dia tidak boleh mengacaukan segalanya.
“Rasanya masih sama, tetap sakit saat mengingatnya. Apa aku harus pergi agar lupa?”
= DMG =
“Nah, makin cantik, deh,” puji Airin. Ia baru selesai menyisir rambut sebahu ibu cantik.
Panggil saja Bibi Elaine. Nama yang cantik selaras dengan visualnya yang memukau, perpaduan antara Indonesia dan Perancis. Akhirnya, Airin mengetahui namanya setelah siang tadi, dua anggota kepolisian datang untuk memeriksa identitas ibu itu menggunakan pemindai sidik jari. Mereka berjanji akan segera datang kembali saat sudah menemukan data keluarganya.
“Cantik?” tanya Bibi Elaine lugu seraya menyentuh pelan wajahnya.
Airin tersenyum tulus. “Hm, sangat cantik.”
Bibi Elaine memperhatikan Airin dengan seksama. “Kamu juga cantik.”
“Benarkah?” Airin sedikit salah tingkah mendengar pujian dadakan itu. “Terima kasih.”
Melihat jam di pergelangan tangan kanannya, Airin tidak menyangka waktu berlalu sangat cepat. Ia sudah berada di ruangan ini sejak jam kerjanya berakhir hingga saat ini pukul delapan malam lebih sedikit. Menemani Bibi Elaine bersih-bersih sambil mengobrol membuatnya lupa waktu.
Airin baru bisa meninggalkan Bibi Elaine dengan tenang setelah wanita itu minum obat dan tertidur. Menelusuri lorong demi lorong menuju ruangannya, Airin memijat pundaknya yang baru terasa pegal setelah keluar dari kamar inap. Perutnya juga kompak berdemo meminta nutrisi karena dirinya juga melewatkan makan malam.
“Pengen rebahan aja rasanya, tapi lapar,” keluh Airin. Fokusnya terbagi antara perutnya yang keroncongan dan pundaknya yang sangat pegal sampai ia tidak sadar ada yang mengikutinya dari belakang.
Saking tidak fokus, Airin hampir menabrak tong sampah andai tidak ada yang menarik lengannya. Airin mengerjap gugup. Saat ini, kepalanya berhadapan langsung dengan dada bidang berbalut kemeja putih. Ia tidak berani mendongak untuk melihat sosok yang tengah mendekapnya.
Bulu kuduk Airin berdiri. Pasokan udara seakan menipis disertai detakan jantung yang kian bergemuruh kala mulut pria itu berbisik tepat di samping telinganya. “Ai, do you miss me?”
= DMG =
“Terkadang berusaha melupakan memang bukan solusi. Rasa sakit akan terus ada sampai kamu terbiasa dan seakan melupakannya.”