HAPPY READING!
Pangsit - pangsit sudah diletakkan di beberapa mangkuk dan para peserta lomba sudah mulai mendaftarkan diri. Mereka mengantri dengan tidak sabar walaupun begitu, posisi antrian tidak begitu ricuh masih dalam antrian yang sama tidak saling menyerobot maupun bertengkar.
"Tantangan ini adalah memakan pangsit sebanyak-banyaknya dengan waktu tiga puluh menit. Siapa yang menang akan mendapatkan hadiah yang tersedia di sana," ujar Bu Pil berseru dengan toa yang dia pegang menatap barisan yang hendak mendaftar sudah sangat ramai membuat Bu Pil tersenyum senang.
Peserta pertama dimulai dan mereka sanggup untuk memakan pangsit dalam jumlah banyak sekaligus. Mulut mereka penuh dengan pangsit yang memiliki kulit bagian luar yang putih dan isian dagingnya yang sangat berasa dalam setiap gigitannya. Ayah Lee sendiri menontonnya sembari membuatkan mie untuk pelanggan yang ikut menonton lomba tersebut.
Lee pulang, dia berjalan bersama dengan Mon sembari sedari tadi bercengkrama, suasana rumahnya yang ramai membuat Lee ingat bahwa lomba makan pangsitnya diadakan sekarang. Lee menawari Mon untuk mencobanya dan Mon tertarik, sangat tertarik.
"Kamu tau, pangsit ayahmu memang tidak ada tandingannya," ujar Mon setelah dia mengantri, untuk masuk ke dalam. Perlombaan masih berjalan terus dan ayahnya tampak kewalahan karena dia tidak pernah membuka lowongan untuk pegawai.
Lee meminta Mon untuk mengantri sementara dia membantu ayahnya yang tampak kesusahan dalam mengantarkan mie ayam pesanan pelanggan. Lee buru-buru meletakkan tasnya dan merebut nampan yang dipegang oleh ayahnya.
"Nomor berapa ?" tanya Lee setelah nampan tersebut sudah berada di tangannya.
"Nomor lima." Ayahnya menjawab dan kembali ke dalam dapur untuk membuatkan pesannya yang lain. Ayahnya setiap hari sibuk, tetapi uang yang dihasilkan tidak pernah kelihatan, sepertinya masuk ke dalam perut Lee semua mengingat Lee memiliki kebiasaan makan dengan porsi yang banyak.
Lee kembali ke dapur kembali dan membantu ayahnya untuk merebus mie satu persatu dimasukkan ke dalam panci rebusan. Ayahnya tersenyum ketika melihat Lee yang membantunya.
"Ayah, apa boleh aku ikut lomba itu ?" tanya Lee sembari memasukkan pangsit mentah ke dalam rebusan panci untuk meja nomor delapan.
"Boleh, sih. Tapi, bukankah lebih baik kamu menikmati pangsit ayah sepuasnya saja ? Biarkan Bu Pil membuat lomba di sini, kalau kamu ikut kamu pasti menang, kamu saja terlatih menghabiskan pangsit ayah seratus biji dalam lima belas menit," ujar ayahnya kemudian menuangkan minyak dan mengaduk mie tersebut di dalam mangkuk berwarna putih susu tersebut.
Lee tertawa kemudian mengiyakan, dari kecil dirinya sudah terbiasa makan pangsit buatan ayahnya dan memang kapasitas perutnya bisa memuat banyak pangsit, bahkan bisa sampai ribuan tiap harinya.
"Ayah, temen Lee ikut daftar lombanya, loh." Lee memulai topik pembicaraan baru sementara ayahnya melihat ke arah perlombaan yang masih terus berlangsung itu menyipitkan matanya untuk melihat lebih tajam.
"Anak dengan seragam sekolah, itu ?" tanya ayahnya kemudian Lee ikut melihat ke arah lomba tersebut, lalu mengangguk.
"Ya, semoga temanmu menang." Ayah Lee berkomentar dan menyodorkan nampan kembali ke tangan Lee, meminta Lee untuk mengantarkannya.
"Nomor tujuh." Ayahnya sudah memberikan nomor mejanya, Lee langsung beranjak dari rebusan mienya dan segera keluar dari dapur dan pergi ke meja pelanggan yang dituju.
Ayah Lee kembali ke dalam, mengambil pangsit yang belum direbus karena Bu Pil sudah memberikan tanda untuk mengiapkan pangsit lebih banyak. Sistem perlombaannya sederhana, siapa yang bisa menghabiskan maka akan mendapatkan hadiah yang sudah disiapkan. Pendaftaran berlangsung sekitar tiga jam. Sembari menunggu penantang mendaftar, lomba sudah diadakan agar tidak memakan waktu yang terlalu lama.
Pangsit-pangsit itu sudah berenang-renang di panci rebusan ayah Lee. Tinggal dipanaskan agak lama dan nanti akan diberikan ke meja yang berisi banyak pangsit yang akan dimakan oleh kontenstan nantinya.
Lee sudah kembali dan meletakkan nampan di tempat semula. Seluruh pesanan pelanggan sudah dikirimkan. Lee dan ayahnya bisa duduk sembari menunggu para pelanggan nanti membayar dan memesan lagi.
"Hadiahnya apa, sih ? Kenapa Bu Pil milih lomba makan pangsit ?" tanya Lee sembari menatap ke arah perlombaan tersebut dan bertopang dagu.
"Bu Pil jualan peralatan makan, khususnya sumpit terbarunya. Piring, mangkok. Banyak, sih." Ayah Lee menatap panci rebusannya menunggu semua pangsit itu siap untuk diangkat,
"Lumayan juga." Lee berkomentar kemudian pamit masuk ke dalam kamar untuk mengganti bajunya karena seragamnya akan dia pakai lagi besok.
"Seragamnya letakkan di keranjang cucian saja, ayah akan cuci nanti. Kamu pakai seragam baru lagi aja besok, sudah ayah setrika," ujar ayahnya berteriak memperingatkan Lee kemudian Lee hanya menjawab dengan jempol yang mengudara, tidak tahu ayahnya melihat jawaban Lee atau tidak.
Mon masih bertahan di kursi perlombaan itu, dirinya sekarang menjadi yang tercepat memang kekuatan orang habis pulang sekolah dengan pelajaran matematika adalah senjata yang pas untuk memenangkan lomba makan pangsit ini. Mon yakin setelah ini dia akan pingsan sesampainya di kamarnya.
***
Di sisi lain, Kamalia menunggu Mon di gerbang sekolah. Kamalia sudah mengumpat dari tadi kalau dirinya tidak membawa pulang Mon. Master Fu akan mengecapnya sebagai anggota legendaris yang tidak bisa memimpin, bahkan ini sudah sore namun, batang hidung dari Mon sama sekali tidak kelihatan. Kamalia menyerah, dirinya masih berusaha berpikir positif, bahwa anak itu sudah kembali ke rumah akhirnya Kamalia melangkah pulang dan menemukan bahwa warung mie Lee masih ramai.
"Warung mie anak aneh yang tiba-tiba dipanggil oleh master Owen." Kamalia menyinggungkan senyum sinisnya, dirinya tidak berminat untuk mengunjungi warung mie tersebut dan berjalan santai untuk melanjutkan perjalanan pulangnya.
Kamalia merasakan ada hal yang aneh dan dirinya kembali melihat ke arah warung mie Lee tersebut dan matanya menangkap siluet yang dia kenal, matanya sudah membulat tidak percaya dan kakinya langsung melangkah besar-besar mendatangi tempat itu.
Ya, Kamalia akhirnya masuk ke dalam demi menangkap anak kecil yang sedari tadi dia tunggu di depan gerbang sekolah sampai kakinya kebas. Anak itu sedang makan pangsit dengan asiknya, Kamalia sudah emosi hendak menjewer telinga anak itu dan melaporkannya ke master.
"Kamalia !" Lee berteriak menyapa perempuan yang sudah menunjukkan wajah marah, walaupun setiap hari dirinya memang berwajah seperti itu.
"Lo yang bawa Mon ke sini ?" tanya Kamalia dengan tidak sabar, dirinya bahkan sudah menarik kaos yang Lee gunakan. Lee terkejut kemudian menaikkan kedua tangannya ke atas, "Santai-santai."
Kamalia sudah menatap Lee dengan amarah, dirinya tidak tahu harus menjawab apa sekarang. Nyali Lee sudah ciut, sepertinya ajalnya adalah hari ini.
***
Lanjut ? Yes or No ?