Sudah tiga hari sejak aku dioperasi di rumah sakit. Dan sudah dua hari juga, Vicky tidak kesini.
Hah....
Sebenarnya aku sudah mengira akan terjadi hal ini. Vicky menyukaiku yang sebagai laki-laki tangguh dan keren, bukan diriku yang sebenarnya. Pasti dia akan meninggalkanku suatu saat. Tapi saat waktunya tiba seperti sekarang, rasanya aku masih belum siap. Terkadang aku bersembunyi dibalik selimut hanya untuk menyembunyikan tangisanku.
Aku masih ingat. Beberapa hari yang lalu, saat beberapa jam aku baru tersadar setelah dioperasi, psikologku datang menjenguk sambil membawa bunga buket besar. Beliau adalah ibu kandung Vicky, laki-laki yang ku sayangi. "Kamu membuat keputusan yang tepat," pujinya setelah melihatku terbaring. "Aku yakin...."
"Tidak," selaku sambil menutup mataku dengan lengan. "Anak anda tidak akan pernah bisa bahagia dengan saya. Anda hanya membujuk saya untuk memperbaiki tubuh dan hidup saya saja, dengan umpan anak anda sendiri."
"Siapa yang memberi umpan? Anak itu kan yang menyatakan perasaannya duluan ke kamu dan ibu gak tahu apapun. Dan kamu sendiri yang mengajaknya jadian," katanya sambil memberikan bunga padaku. "Kalo gitu siapa yang memberi umpan? Kalian sendiri yang pacaran duluan tanpa kasih tahu ibu dulu."
Aku berusaha bangkit dari tempat tidur dan menerima bunga itu. Ku hirup aromanya. "Iya, tapi sekarang percuma. Aku dan dia...."
Tiba-tiba pintu terbuka. Aku kaget hingga bunga yang ku bawa pun jatuh. Orang yang memanggilku itu adalah orang yang kami bicarakan.
Dia Vicky, dengan wajah cantik yang rusak karena ekspresi kaget dan kecewa ke arahku. "Re... Val....," panggilnya lirih. "Itu kamu?"
Aku tidak bisa berkata apa-apa padanya. Kenapa dia kemari? Kepalaku langsung menoleh ke Bu Lusi. "Apa maksudnya ini?! Bukankah anda sendiri yang berjanji tidak akan memberitahunya!" omelku pada psikologku itu. Aku panik. Jangan-jangan Vicky sudah tahu aku yang sebenarnya! Aku ingin mengejarnya. Tapi perutku masih sakit karena habis operasi. Tubuhku sulit digerakkan akibat obat bius. Aku ingin memanggilnya, tapi....
Tiba-tiba tante Renata muncul dari kamar mandi. Dia mengejar Vicky dengan gaya centilnya.
Sial, ku harap dia tidak tambah salah paham. Tapi kalaupun tidak salah paham....
Ku harap tante Renata mau menutup mulutnya demi aku. Walaupun sepertinya dia akan bocor juga.
Beberapa jam kemudian, Vicky datang lagi dan masuk ke kamarku. Dia tidak berkata apa-apa, hanya lengannya yang langsung mendekapku lama. Aku tidak mengerti dengannya dan bertanya, "Ada apa, sayang?"
"Udah, kamu diam aja. Aku lagi nenangin diri," katanya sambil terus mendekapku lama. Kepalanya tersandar di bahuku. Matanya terpejam seperti menghayati sesuatu. Dia terus mendekapku hingga badanku pegal. Teman-teman SMA-ku yang mau masuk kamar untuk menjengukku pun jadi mengurungkan niat mereka karena Vicky yang manja ini.
"Vick, sudah yuk. Badanku pegal," ajakku.
Dia melepas dekapanku. Ku lihat wajahnya yang kusut. Matanya merah. Sepertinya dia tidak tidur beberapa hari ini. Rambutnya yang biasa terawat jadi terasa kasar. Badannya lebih kurus daripada biasanya. "Apa-apaan ini? Kamu kurusan?" tanyaku memecah keheningan. Aku ingin mendengar suaranya.
Bukannya menjawabku, kedua tangannya memegang kepalaku dan.... Hup! Dia menciumku. Ah, ya. Sudah lama kami tidak melakukannya. Ku pejamkan kedua mataku. Ku hayati bibir hangatnya yang bergetar. Mungkin dia ingin menangis, tapi tidak bisa karena harga dirinya sebagai laki-laki.
Beberapa menit dan jam berlalu, tapi Vicky tidak beranjak dariku. Agak menyebalkan. Aku sudah mengajaknya bicara, tapi dia tidak pernah menjawabku. Dia jadi seperti mamaku sendiri yang tidak pernah akrab denganku. Tapi dia juga tidak meninggalkanku sendirian disini. Entah itu memijat tanganku, menata bunga di vas meja, mengupas dan memotong buah, lalu menyuapnya ke mulutku.
***
Vicky yang sekarang jauh berbeda dengan Vicky yang aku kenal pertama kali. Aku masih ingat, saat itu, setelah kejadian paling buruk dalam hidupku itu, aku terkena depresi berat. Aku lebih seperti orang gila. Mamaku yang harusnya mendukungku, malah menyalahkan semua hal yang ada padaku. Ariel, pacarku saat itu, tidak menolongku sama sekali karena takut dengan para brengsek itu. Para polisi juga kurang bisa membantu kasus dengan baik -sepertinya ayah tiriku melakukan sesuatu pada mereka. Teman-teman SMA-ku tidak ada yang berani menjengukku karena pengawasan polisi dan mama. Tidak ada yang membantuku sama sekali. Hingga aku merasa mulutku terkunci. Aku tidak bisa berkata apa-apa.
Akibatnya, penyelidikan kasus pun tidak bisa berjalan lancar. Polisi pun menugaskan seorang psikolog untuk berhadapan denganku. Namanya Bu Lusi. Mamaku selalu mengantarku ke rumahnya untuk rehabilitasi atau beliau yang ke rumahku. Saat itulah aku bertemu dengannya. Dengan anak laki-lakinya.
Saat itu, aku sedang duduk di ruang kerja bu Lusi di rumahnya. Katanya beliau sedang ada perlu di luar, jadi aku diminta menunggunya di sana sendirian. Mama tidak mau menemaniku. Dia malu bersamaku.
Beberapa menit kemudian, seorang cewek -eh- cowok masuk ke dalam ruangan.
"Eh, ada orang ya. Maaf, gue gak tahu. Permisi ya," ucapnya dengan sopan. Dia pun mengobrak-abrik laci meja kerja Bu Lusi. Aku heran. Wajah putihnya terlihat cantik, namun saat aku lihat di sisi lain, dia terlihat tampan. Namun aku baru sadar dari suaranya. Dia itu laki-laki. Dan anehnya lagi, wajahnya babak belur.
Aku segera berdiri dan memasang wajah panik. Aku ingin bertanya, tapi aku takut.
"Oh, gak usah khawatir. Gue baru gelud sama bokap. Tonjokannya lemah, jadi aku gapapa."
Hah?! Ada ayah yang memukul anaknya sendiri? Bagaimana dia sesantai itu?! Eh bukannya dia anaknya bu Lusi? Kenapa malah ada KDRT di keluarga psikolog???
"Gak usah kaget. Tiap keluarga punya cerita berbeda," katanya yang seperti membaca pikiranku. "Lagian punya bekas luka kek gini keren kok. Keliatan banget kalo gue tuh selamat dari maut, jadi dapatnya bekas luka doang. Ini bukti bahwa gue cowok kuat!"
Aku tertegun mendengarnya. Bukannya malu, dia memamerkan wajahnya yang babak belur itu.
"Tapi gue harus sembunyiin ini. Nyokap gua pasti ngomel-ngomel kalo lihat gue gini."
Ekspresi laki-laki cantik itu berubah jadi senang. Terlihat bahwa dia menemukan sesuatu yang dia cari di laci mamanya. Sebuah BB cream dan cermin. Dia langsung duduk di depanku dan memoles luka diwajahnya dengan cream itu. "Kamu yang namanya Nana ya?" tanyanya sambil memandang cermin dan mulai memoles wajahnya. "Yang... maaf, jadi korban kasus yang ditangani mama?"
Aku mengangguk lemah. Ku lirik dia dibalik poni panjangku. Aneh, biasanya orang akan kaget dan menghindar dariku atau memandangku jijik ketika tahu siapa aku. Tapi dia tidak. Dia tetap duduk di depanku. Mungkin karena dia lebih fokus ke wajahnya daripada aku. Lihatlah! Wajahnya yang babak belur telah kembali menjadi sempurna. Kalau dia cewek, aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya dia jika bertemu para brengsek yang membuatku menderita ini.
"Elo jangan murung terus dong! Gue jadi canggung tauk!" katanya setelah meletakkan cermin dan BB cream di meja. Dia menopang dagunya sambil memandangi wajahku. Aku memalingkan wajah. Sial, wajahnya cantik sekali. Apalagi senyumnya. Kalau Ariel yang lihat pasti klepek-klepek. Sayang dia cowok. Dia pun melanjutkan, "Elo manis juga ya. Semisal jadi model, pasti terkenal."
Aku masih memalingkan muka. Ku tutup wajahku. Aku tidak ingin dia terus melihat wajahku yang tidak bisa dibandingkan dengan wajahnya.
"Oh, i.. iya... Aduh, sorry. Gue lupa. Gara-gara itu, elo dapat musibah itu ya. Gue minta maaf."
Iya! Tepat sekali. Ayah dan kakak sialan! Masa lihat keluarga tiri sendiri yang cakep aja diginiin.
"Gue turut berduka ya sama yang terjadi sama elo. Semoga suatu saat nanti elo bakal bahagia."
Aku mendongak ke arahnya. "Itu gak mungkin," kataku lirih.
"Akhirnya elo mau bicara," ucapnya dengan senang. "Gue yakin suatu saat nanti, elo bisa bangkit dan bahagia! Tapi elo tuh orang hebat! Setelah elo mengalami semua kejadian itu, elo tetap mau berjuang untuk bisa bangkit dengan datang kesini! Makanya gue yakin elo bakal dapat balasan terbaik suatu saat nanti. Mungkin sekarang, banyak orang yang gak mau bantu lo. Tapi suatu saat nanti, pasti ada yang mau meluk elo dengan ikhlas sambil bilang 'semuanya bakal baik-baik saja'!"
Mataku berkaca-kaca. Kepalaku tertunduk. Aku senang mendengarnya. Aku senang laki-laki itu terus mengajakku bicara. Aku senang. Walaupun didalam pikiranku terus bergema, "Gak mungkin! Gak mungkin! Gak mungkin! Semuanya sudah terlanjur jijik melihatku. Tidak bakal ada yang mau memelukku seperti itu!"
"Elo tuh orang kuat! Buktinya elo bisa kembali setelah dapat 'luka' itu! Elo keren!" Pujinya sambil tersenyum melihatku.
Setelah sekian lama aku seperti ini. Akhirnya ada yang mau memberikan senyum seperti itu.
Andai orang yang memelukku itu kamu, wahai cowok cantik....
***
"Takdir itu lucu ya," kata Vicky membuyarkan lamunanku tentang kejadian tiga tahun lalu.
"Oh, akhirnya kamu mau bicara," ucapku, seperti ucapannya dulu. "Lucu apanya?"
"Aku yang nyemangatin kamu, mendoakanmu, semoga suatu ada yang memelukmu ketika kamu sendirian. Kamu tidak menyangka kan, kalau orang itu aku sendiri?" Ucapnya sambil mengulas apel kembali. "Aku sendiri aja gak nyangka. Kaya kena karma."
Aku tersenyum pahit. "Kamu sudah tahu semuanya dari tante Renata?"
Dia mengangguk. Puasa ngomong lagi.
"Jadi kenapa kamu masih disini?" tanyaku. "Aku adalah klien mamamu yang menjijikkan itu."
"Aku tak pernah bilang kamu menjijikkan...."
"LALU APA??!!! KENAPA KAMU DIAM SAJA DARI TADI???!!! PASTI KAMU MIKIR, WAH TERNYATA SELAMA INI AKU DITIPU KLIEN MAMAKU SENDIRI!!! GILA!! AKU PACARAN SAMA KORBAN PEMERKOSAAN! DIA 100% CEWEK! NAJIS GUA! ITU KAN YANG KAMU PIKIRKAN?!"
Aku membentaknya. Tapi dia tetap mengupas buah dengan santai. Seperti tak mendengar apapun. Seperti orang tuli.
"Jika kamu tidak yakin, tinggalkan saja aku. Kamu gak berhak mendapat seseorang seperti aku," ucapku sambil memalingkan wajah. Ku sembunyikan air mataku yang mendesak ingin keluar.
Akhirnya Vicky berhenti mengupas. Dia menaruh pisau dan buah di tempatnya kembali. "Iya, sepertinya aku gak berhak. Maafkan aku," katanya dengan lirih.
Aku kaget. Aku yang sebenarnya menebak isi hatinya, tapi aku tak sanggup menerima kata-kata itu. Tangannya pun mencoba meraih kepalaku, tapi ku tolak. "Lebih baik kamu pergi saja. Gak usah kembali."
Tanpa berkata apapun, dia berjalan keluar dari kamar. Tanpa salam ataupun senyuman. Wajahnya tampak muram. Sementara aku menangis sejadi-jadinya.
Memang bukan ini yang ku inginkan, tapi aku tak bisa memaksanys untuk terus bersamaku. Dia penyuka laki-laki, sementara aku perempuan. Dia punya masa depan cerah, sementara aku sudah rusak. Dia punya keluarga bahagia, sementara aku kacau balau.
Dia benar-benar tak pantas bersanding denganku!
***
Dua hari berlalu. Sudah waktunya aku pulang dari rumah sakit. Aku membereskan tempat tidur dengan dibantu ibu kandungku. Sial, kenapa dia yang datang? Kemana tante Renata? Pasti tante diusir oleh mama sehingga tidak bisa kesini.
"Permisi," kata seseorang yang datang tiba-tiba mengetuk pintu kamarku. Aku dan mama menoleh. "Ini kamar pasien atas nama Revalina?"
"Iya, itu saya," kataku sambil berjalan ke arahnya. "Ada apa, pak?"
"Ini ada titipan," kata bapak-bapak itu yang ternyata ojek daring sambil mengulurkan sebuah buket bunga yang besar. "Saya diminta seseorang untuk memberikan. Dia bilang cepet anterin karena mbak mau keluar hari ini."
"Oh, makasih, pak," kataku sambil menerima bunga itu. "Dari siapa?"
"Anu, saya disuruh gak boleh kasih tahu. Katanya biar apa ya.... Surprais gitu lo katanya. Kata yang mesen tadi juga, setelah lihat bunga itu, pasti mbak langsung tahu."
"Hah?? Apa-apaan itu?" Komentarku sambil mencium bunga itu. Wangi sekali. Aku suka sekali bunga ini. Bunga mawar merah yang sangat harum dan indah. Bagaimana orang itu... Eh? Ku temukan sebuah lipatan kertas diantara bunga itu. Segera ku ambil dan ku baca.
Ayo kita selesaikan sekarang! Ku tunggu di gudang bekas wilayah Kalajengking bagian timur.
Oh, cuih! Sial! Aku menyesal telah mencium bunga itu. Segera ku bunga itu setelah tukang ojek daring itu pergi. Sementara mama kaget melihatku yang tengah kesal sekarang.
"Ada apa, Nak? Itu bunga dari siapa?" tanya mama.
"Sudahlah. Ini bukan urusan mama," jawabanku dingin. "Mama pulang duluan aja. Aku ingin jalan-jalan sebentar."
"Kamu mau kemana, nak?" tanya mama sambil memegang tanganku.
Aku segera menyingkirkannya. "Sudah ku bilang, aku ingin jalan-jalan. Tolong jauhi aku hari ini seperti yang mama lakukan dulu!" Bentakku. Aku tahu aku telah menyakiti hati orang yang melahirkanku. Tapi aku sendiri....
Argh!! Aku memilih segera berlari meninggalkannya. Mama memanggilku berulang kali, tapi tak ku jawab. Sementara aku terus berlari meninggalkan gedung rumah sakit, hingga aku letih. Sial, gara-gara habis operasi, tubuhku jadi tak secepat dan selincah dulu. Ku paksa kakiku untuk berjalan, meski perutku terasa tak nyaman.
Aku harus menyelesaikannya hari ini.
Harus ku akhiri!
Orang-orang brengsek itu!
***
Aku kira pendeitaanku berakhir. Semua orang yang merusak masa laluku sudah lenyap. Apalagi setelah aku bertemu dengan Vicky dan bisa menjalin hubungan dengannya. Tapi ternyata masih belum.
Masih ada sisa sampah masa lalu yang belum dibuang rupanya.
Aku masih ingat bagaimana gilanya aku di masa lalu. Saat orang-orang brengsek itu sedang berpesta miras di rumah ketika mama pergi. Aku tak bisa berpikir jernih kala itu. Yang ku lakukan hanya mengambil pisau dan mengarahkannya ke tubuh mereka satu per satu. Ayah tiriku, temannya ayah, kakak tiriku, dan temannya lagi. Setelah itu, aku membunuh makhluk yang bersarang di perutku sendiri. Gila memang, karena artinya aku melukai diriku sendiri.
Tapi aku tak peduli. Aku sudah tak punya masa depan yang perlu diperjuangkan lagi. Semua sudah memandangku jijik. Aku sudah jadi sampah sekarang.
Dan aku berpikir untuk membuang sampah menjijikkan dari dunia, termasuk diriku sendiri.
Setelah semua ku bereskan, aku lemas tak berdaya. Mungkin efek banyak darah yang keluar dari tubuhku. Hingga akhirnya aku tak sadarkan diri. Begitu bangun, aku sudah di ranjang rumah sakit. Tanganku diborgol. Mamaku menangis sejadi-jadinya dihadapan polisi. Aku tidak tahu apa yang dia katakan, apalagi peduli. Dia sudah menganggapku sampah kan? Untuk apa menangisi sampah? Aku pun terima keputusan polisi untuk memenjarakanku, walaupun keadaan tubuhku sendiri sedang terluka dan lemah. Justru setelah itu aku bersyukur, karena bisa bertemu tante Renata, orang yang mengajariku tentang bagaimana menjadi wanita yang kuat meskipun pernah menjadi korban laki-laki.
Kembali ke masa sekarang, tentang sampah masyarakat. Beberapa bulan lalu, saat aku masih bisa mengikuti kuliah di kelas. Aku masih ingat, saat itu aku ingin segera mengurus administrasi untuk operasi kankerku di rumah sakit dan pamit pada Vicky. Aku ingin bilang pada Vicky kalau aku ingin pergi keluar kota untuk sementara dan akan kembali padanya suatu hari nanti. Itulah rancangan kebohongan yang ku siapkan. Tapi aku tak yakin bisa berhasil. Bu Lusi sudah memperingatkanku tentang hubunganku dengannya. Jika ingin serius dengan anaknya, aku harus jujur padanya. Tidak ada kebahagiaan yang lahir dari kebohongan, katanya.
Di tengah-tengah pikiranku yang kalut, tiba-tiba muncul kakak tingkat yang datang terlambat dan ikut kuliah di kelasku. Diantara bangku yang lain, dia malah memilih duduk disampingku. Aku kaget. Mataku melotot saat dia ingin meminjam buku diktatku.
Bruk! Aku langsung meninjunya saat itu juga hingga dia limbung dari bangkunya. Tak peduli ada banyak orang yang ada di kelas ini, ataupun dosen yang marah dengan aksiku. Amarahku saat itu lebih besar darinya.
"Bagaimana...." Aku terbata-bata bertanya, tapi ku kuatkan untuk menumpahkan segala amarahku. "BAGAIMANA KAMU MASIH HIDUP, BRENGSEK??!!"
Dia kaget dan menatap wajahku lekat-lekat. Tampak ekspresi kengerian di wajahnya. Takut mati. Itu mungkin yang dipikirkannya. "Nana, bagaimana kamu bisa disini?" tanyanya lirih.
"AKU YANG TANYA, KENAPA...."
"REVAL, KE RUANG DEKAN SEKARANG!" perintah dosen yang sebenarnya dekanku juga. "ATAU SAYA TULIS SURAT DO UNTUK KALIAN SEKARANG!"
Aku segera melepaskan orang itu dan mengikuti dosenku. Sementara dia memandangku ketakutan. Teman-teman sekelasku berusaha membantunya bangkit.
Sial, jadi dia malah kelihatan jadi korban dan aku penjahatnya. Padahal sebaliknya.
Dia adalah sahabat kakak tiriku yang ikut membuatku sengsara. Walaupun dia tak pernah menyentuhku, tapi dia yang selalu membantu kakakku dalam melakukan aksinya. Dan dia.. ah, si brengsek itu sering yang sering merekam aksi kakak saat menyentuhku sambil tertawa gila.
DIALAH PSIKOPAT SEBENARNYA!
Dan hari ini, aku mendatangi alamat yang dikirimkan melalui bunga itu. Benar, psikopat itulah yang mengirim bunga dan surat itu.
Yudha, orang itu duduk diatas drum dengan santainya sendirian di dalam gedung kosong. Entah apa yang dipikirkannya. Padahal selama ini aku tak pernah mendengar kabarnya selama ini hingga ku kira dia mati. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengan orang ini.
"Apa kabar, Nana? Dulu kamu cantik, kenapa jadi sangar gini?" tanyanya dengan sinis.
"Seharusnya aku yang bertanya. Nyawa Kak Yudha ada berapa? Kenapa masih hidup?" tanyaku sambil mengayunkan linggis raksasaku ke pundakku.
"Aku ini teman kakakmu, kenapa pertanyaanmu jahat sekali...."
"Seharusnya kamu lebih tahu. Aku sudah jadi penjahat bagi siapapun, terutama dengan orang-orang yang berhubungan dengan kakak. Termasuk orang yang didepanku ini," kataku sambil melempar linggis yang ku bawa arah orang itu.
Brak! Seseorang datang menghentikan senjataku itu. Aneh, aku tak tahu datangnya orang itu dan siapa dia.
"Bentar, Na. Aku mengajakmu kesini bukan untuk berkelahi. Aku hanya ingin menyelesaikan sesuatu diantara kita," bujuknya dengan sok manis.
"SEMUA HAL DIANTARA KITA AKAN BERAKHIR JIKA KAMU MATI!" bentakku. Lalu aku menendang orang yang menahan linggisku dan merebut kembali senjataku. Sayang, walaupun dia sudah melepas linggis, tapi dia tidak jatuh. Tubuhku habis dioperasi, jadi kekuatanku masih lemah. Sial. Sementara dia mendapat bantuan dari seseorang yang tak ku kenal.
"Wah, ternyata orangnya lemah ya...."
"Iya, heran gua kenapa teman-teman kita bisa kalah dari cewek kek dia...."
"Apa? Dia cewek? Pantesan payah!"
Aku kaget. Terdengar suara percakapan dari belakang punggungku. Aku menoleh. Terdapat puluhan preman sangar yang membawa banyak alat pukul masuk ke gedung ini. Aku ingat. Mereka ada orang-orang yang pernah ku hajar saat membantai geng preman sebelah timur kota.
"Apa-apaan ini?" tanyaku bingung.
"Sebelumnya aku udah menduga, kalau kamu bertemu denganku, kamu pasti bernafsu menghabisiku," terang Yudha. "Karena itulah, aku mengumpulkan orang-orang yang mempunyai dendam denganmu. Selama ini kamu sudah sombong dan banyak menghabisi banyak orang. Karena itulah, aku akan mengajarimu tentang karma!"
Seseorang dari mereka menyerang ke arahku dengan tongkat kayunya. Aku segera menangkisnya dengan linggis. Sial, yang lainnya segera memukul punggungku saat aku lengah. Aku membalas perbuatan mereka dengan ayunan linggis hingga mereka limbung. Lagi-lagi, seseorang menendangku dari belakang hingga aku jatuh. Sial, tubuhku masih lemah. Yudha memanggilku sekarang pasti karena tahu bahwa aku habis dioperasi.
Dua orang dari para preman itu menginjak kedua tanganku di lantai, sehingga aku tak bisa meraih senjataku lagi. Lalu, BUK! Salah seorang dari mereka melayangkan tinju ke mukaku. Aku merasakannya. Sakit dan ngilu di pipi dan gerahamku. Bahkan gusi dan bibirku pun berdarah. Yang lain pun menginjak perutku. Astaga, ya Tuhan.... Bekas luka operasi itu terasa lagi. Kali ini aku benar-benar kesakitan saat bergerak sedikit saja. Mereka benar-benar brutal melampiaskan amarah mereka padaku.
"Cukup!" Perintah Yudha pada mereka. "Dia habis keluar dari rumah sakit, jadi dipukul dua kali aja udah pasti sekarat dia."
"Lah, gak seru! Dendam kita masih belum habis! Gara-gara dia, bos kita jadi lumpuh dan gak biss memimpin kita lagi," ujar salah seorang dari mereka. "Dia harus dibuat benar-benar menderita seumur hidupnya. Bukankah kamu mengajak kami karena mau balas dendam juga?"
"Iya sih, gara-gara cewek ini, sahabat terbaikku mati," kata Yudha dengan menatapku nanar dan jijik.
"Kalo begitu ayo..."
"Dasar... psikopat...!" Teriakku lemah.
"Oh ya, aku jadi punya ide setelah mengingat sahabatku itu. Aku jadi kangen momen bersamanya," kata Yudha sambil mengeluarkan ponsel. Perasaanku jadi tidak enak. Ada rasa de javu yang menjijikkan muncul. "Aku suka mengabadikan momen menyenangkan bersama sahabatku dan cewek ini. Aku jadi kangen dengan masa itu."
"Apa maksudmu?" tanya preman itu.
"Ku kasih tahu ya." Yudha menunjukku seperti sampah yang tak berguna lagi. "Walaupun rupanya seperti cowok, sebenarnya dia cewek hot lo. Tubuhnya itu favorit sahabatku dan ayahnya. Dulu, aku suka sekali merekam sahabatku yang sedang bersenang-senang dengannya. Aku jadi kangen masa itu. Jadi tolong, untuk mengenang sahabatku, ada yang bersedia jadi relawan untuk merasakan tubuhnya?"
"Hah?!"
"Dipikir-pikir daripada kalian menghajarnya habis-habisan, kalian hanya akan mendapatkan mayat menjijikkan. Bukankah lebih enak lagi kalau ambil 'enak'-nya dulu untuk membunuh mentalnya dulu? Tubuhnya lumayan gratis, walau udah gak perawan. Rahimnya sudah tidak ada, jadi gak perlu khawatir kalo dia hamil. Tidak ada yang bakal menyalahkan kalian, karena semua orang juga membenci makhluk ini. Kalisn setuju kan?"
Aku melotot geram ke arahnya. "Dasar psikopat!" Umpatku. Sementara para preman itu menatapku berbeda dengan yang tadi. Amarah mereka berubah jadi nafsu birahi. Aku merinding ketakutan. Teringat kembali ingatanku saat malam itu. Ayah dan kakak tiriku juga memandangku seperti itu. Aku gemetar. Sepertinya pikiranku mulai tak waras lagi seperti dulu.
Traumaku kembali. Sosok tangguhku sebagai Reval si kriminal seakan pudar.
Mama... Dia gak bisa menolongku. Malahan dia melihatku jijik dan malu padaku.
Ariel.... Dia meninggalkanku karena ketakutan. Takut dengan ancaman kakakku dan keluarganya yang malu melihat kondisiku.
Vicky.... Tidak! Aku tidak bisa membahayakannya disini. Aku bertekad untuk melindunginya. Dan beberapa hari yang lalu aku sudah meminta dia meninggalkanku.
Tuhan, tolong aku....
Aku tak ingin berakhir seperti ini lagi, seperti dulu....
"Reval?"
Semuanya menoleh ke asal suara. Salah satu preman yang hendak membuka kemejaku pun berhenti. Aku ikut menoleh.
Hah? Aku terkejut. Bola mataku melebar. "Vick...ky....," Panggilku lirih. Kenapa dia bisa ada disini?
"Wih, siapa nih?" tanya Yudha dengan brengsek. "Kamu cantik juga. Temannya si pembunuh ini ya?"
Semua preman itu terpesona dengan kedatangan Vicky. Memang kalau dibandingkan aku yang babak belur sekarang, dia terlihat jauh lebih cantik. Adem sih lihatnya, bagiku juga.
Tapi bagaimana dia ada disini?!
Bukannya menjawab, Vicky segera memanggilku dengan keras. "REVAL!!!" Matanya berkaca-kaca seperti mau menangis saat melihatku.
Semua yang ada di ruangan ini kaget. Itu suara cowok. Mereka pun kecewa.
"Yah, elu cowok rupanya," ujar Yudha kecewa. "Aku kira aku bakal punya dua model cewek disini."
Vicky melihatnya dengan terkejut. Apalagi saat melihat Yudha membawa ponsel, yang berarti dia mau merekam sesuatu. Dia meraih kerah baju si brengsek itu. "Apa yang elo lakuin ke pacar gua hah?"
"Hah?! Elu pa.. pacarnya? Gak salah denger gua?" Yudha melirikku dan mengejek, "Setelah elu putus dari si pengecut Ariel, ternyata elo pacaran sama banci beneran?? Gua gak nyangka elo bakal sesengsara ini."
"Vick, kamu gak usah kesini. Ini urusan masa laluku. Kamu gak perlu terluka karena ini," bujukku pada Vicky. Tapi dia tetap tak mendengarku. Dia malah melepas cengkeramannya dari kerah Yudha dan berjalan ke arahku. Padahal aku dikelilingi banyak preman.
"Vick, jangan kesini!" Larangku padanya.
Dia tak menjawabku dan terus berjalan ke arahku. Sementara Yudha terus mengejarnya. "Elu aneh ya. Dia tuh cewek yang utuh lagi! Udah gak perawan, pernah bunuh orang juga! Dengerin kata-kata gue deh. Mendingan elo...."
BUK!
Aku tersentak, bersama semua orang yang ada disini.
"Gue yang mau bahagian sama dia, kenapa elu yang repot? Emang elo wali nikahnya?" tanya Vicky dingin setelah meninju perut Yudha hingga limbung. Aku kaget. Bagaimana dia bisa sekuat itu. Yudha pun memerintahkan para preman itu untuk menghabisi Vicky. Laki-laki kesayanganku itu berusaha menembus barikade preman itu sambil menonjok mereka satu persatu hingga sampai ke arahku dan membebaskanku dari para preman yang menahanku.
Tanpa basa-basi dia langsung memelukkku. Walaupun ada seseorang yang memukul punggungnya dengan balok kayu hingga kayunya hancur, dia tak peduli. Dia tetap memelukku dan berusaha membuatku nyaman. "Darling, maaf aku telat. Sekarang kamu baik-baik saja."
"Gimana kamu bisa kesini?" tanyaku bingung.
"Nanti aja ceritanya. Sekarang kita pulang."
"Woy, kalian gak akan bisa pulang dari sini!" teriak Yudha.
Tiba-tiba seseorang melayangkan balok kayu ke kepala Vicky hingga patah. Vicky kesakitan dan jatuh ke pelukanku. "Brengsek, jangan lukai dia! Kalian hanya berurusan denganku!" Marahku pada mereka.
"Gapapa, Val. Aku baik-baik saja," kata Vicky lemah namun berusaha melepas pelukanku dsn bangkit. Mungkin dia ingin membalas orang itu.
"Kamu gak baik-baik aja! Kepalamu bocor!"
"Gak, aku baik-baik aja. Soalnya aku gak pantas miliki kamu kalau aku gak gini...."
"Hah?"
Para preman itu pun menyerang Vicky dengan brutal. Tapi entah bagaimana Vicky bisa menghindari pukulan itu dan membalas mereka. Hingga dia mendapat tendangan di perutnya hingga dia limbung. Orang-orang segera bergerak untuk menghabisinya. Aku berteriak. Tapi Vicky bangkit dan berusaha menghabisi mereka hingga akhirnya dia limbung. Aku merangkak ke arahnya tapi dihalangi Yudha. Sementara para preman itu siap untuk menghabisi nyawa Vicky.
Tiba-tiba polisi datang dan menangkap mereka. Aku tidak tahu siapa yang memanggilnya, tapi sku bersyukur. Aku segera merangkak ke arah Vicky. Dia langsung bangun dan memelukku. "Sorry, aku bohong. Aku gak pingsan, week!" Katanya.
Aku memukul dadanya. Dia hanya tertawa lalu menggendongku di punggungnya. "Kamu gapapa? Tadi kamu dipukul berkali-kali!"
"Sudah ku bilang. Aku tidak pantas memilikimu jika aku tak bisa menahan semua ini," katanya sambil menggendongku dan berjalan ke mobil polisi. Kami berdua diminta ke kantor polisi untuk menjadi saksi kejadian ini. "Reval adalah gadis terkuat yang pernah ku kenal, jadi aku harus kuat juga.
"He, bukankah kita udah putus? Kamu sudah meninggalkanku beberapa hari lalu. Dan kenapa kamu ada disini? Kamu kan suka laki-laki! Apalagi aku...."
"Aku bukan suka laki-laki..."
"Hah?"
"Sebenarnya selama ini aku berpikir. Setelah sekian lama, aku masuk kuliah lagi. Aku makan seperti biasa lagi. Nugas. Main. Nongkrong. Tapi semua hal biasa itu jadi gak terbiasa buatku."
"..."
"Aku terlanjur terbiasa hidup denganmu. Segala tentangmu dan denganmu, rasanya menyenangkan. Hingga aku sadar. Aku mencintai Reval bukan karena dia laki-laki ataupun perempuan. Walaupun Reval pernah mengalami hal buruk atau berbuat buruk, aku tetap saja hanya memikirkan Reval. Reval adalah Reval. Karena kamu Reval, aku mencintaimu."
Aku seketika menangis. Ku peluk erat lehernya dan ku sembunyikan wajahku di pundaknya. "Tapi aku...."
"Makasih, Val. Kamu udah datang ke kehidupanku," ucapnya dengan keren.
"Aku yang seharusnya berterima kasih. Kamu orang pertama yang menerimaku, disaat semua orang meninggalkanku. Kamu yang selalu mau bersamaku, meski aku sudah dianggap hina oleh semua orang, entah dimana lalu atau sekarang. Kamu yang selalu nunggu aku disaat semua orang mengabaikanku. Aku benar-benar mencintaimu, Vick! Aku sayang kamu!"
"Aku juga, Val."
Perjalanan kami terhenti sejenak karena ada jalan besar. Banyak kendaraan yang lalu lalang. Orang-orang melihat kami dengan aneh. Di mata mereka, kami seperti dua laki-laki yang sedang bermesraan dengan Vicky menggendongku. Ku cium kening Vicky.
"Ih, apaan sih? Berani ya di tempat umum sekarang?" Godanya nakal.
Aku tersenyum. Ku elus rambutnya yang halus. "Vick, kamu kok bisa berantem?"
"Dari dulu aku emang bisa berantem. Kamu gak ingat pas kita pertama kali bertemu, wajahku babak belur kan?"
"Oh ya, ayahmu melakukank kekerasan...."
"Bukan! Ayahku tidak melakukan KDRT. Kami sparring di arena tinju ayahku. Kami selalu melakukannya jika aku punya permintaan ke ayah. Jika aku menang, ayah harus memenuhi permintaanku. Tapi sebenarnya aku gak suka berantem, jadi jarang aja."
"Emang kamu minta apa sama ayahmu saat itu?"
"Tanda tangan untuk formulir masuk kuliah jurusan Tata rias."
"Oh." Aku tertawa. Aku baru tahu cerita ini.
Kami berjalan dan bercerita lagi. "Sebenarnya kemarin aku melakukannya lagi, setelah aku memikirkan banyak hal."
"Hah? Kamu minta apa lagi?"
Kami berdua berhenti. Ternyata kami sudah sampai ke rumahku. Aku kaget. Bagaimana dia tahu?
"Aku minta sama ayahku untuk merestui hubungan kita," katanya sambil mengetuk pintu rumahku.
Aku kaget. "Hah? Itu tidak mungkin. Aku kan...."
"Selama ayah kalah denganku, beliau mengizinkan keputusanku. Siapapun kamu, ayah harus menerimanya."
"Maksudku, kalau hanya pacaran, kamu tidak perlu melakukan sampai segitu."
"Apanya yang pacaran? Maksudku dia harus menerimamu sebagai menantunya," jawabnya dengan tegas, seperti laki-laki normal. "Ayo kita menikah setelah kita lulus."
Hah? Aku tidak tahu apa yang diucapkannya. Rasanya seperti melayang. Aku tidak sedang bermimpi kan?
Tiba-tiba pintu rumahku terbuka. Mama melihatku yang babak belur pun panik dan membantuku untuk berbaring di tempat tidur, sementara Vicky masih membopongku. Aku merasa tidak enak dengan mama, karena beliau merusak suasana hangat diantara aku dan Vicky.
"Dimana, Ariel?" tanya mama langsung.
Aku cemberut. Apa-apaan? Kenapa yang dicadi selalu anak itu?
"Maaf tante, ada kompres dan es? Wajah Reval harus segera dikompres agar tak bengkak," kata Vicky membuatku senang.
Mama langsung membawa kompres dan es untuk kami berdua. Sedangkan Vicky mengecek ponselnya.
"Dimana, Ariel? Bukankah tadi dia menolongmu kan, nak?" tanya mama padaku.
"Apa sih yang mama harapkan dari dia? Dia gak datang, ma!" Jawabku sebal.
"Tadi dia kabur setelah ngasih kabar aku," sela Vicky.
"Apa? Kabur? Dia kabur lagi? Tunggu, kamu siapa? Kenapa dia ngasih kabar ke kamu?"
"A.. aku..." Vicky gugup.
"Pacarku," jawabku singkat. "Dia pacarku yang sebenarnya, bukan Ariel."
Mama kaget. Seakan-akan tidak percaya anaknya yang nakal ini telah dapat pacar lagi.
"I.. iya... Saya pacarnya Nana. Makanya Ariel ngabarin saya tentang Reval yang dapat surat itu."
Mama pun langsung keluar kamar. Katanya mau memasak dulu untuk calon mantunya yang cantik dan entah darimana datangnya. Vicky tersipu dan berusaha membuktikannya. Aku tersenyum geli. Wajah malunya itu sangat manis walaupun wajahnya babak belur. Aku segera mencubit pipinya dan bertanya, "Oh jadi kamu nyelamatin aku karena dikasih tahu Ariel? Pantesan aja aku heran, kok bisa-bisanya kamu datang pas aku kesusahan."
"Iya, dia dikasih tahu mamamu. Katanya pas kamu keluar rumah sakit, ada yang ngasih bunga sama surat tantangan. Makanya mamamu khawatir dan minta tolong ke Ariel. Aku gak tahu apa yang ada di pikiran Ariel, tapi dia langsung menyuruhku untuk menemuimu."
"Dasar pengecut. Dia masih tak berubah," keluhku sambil menatap langit-langit.
"Anu, aku boleh tanya gak? Tolong sekarang kamu jujur ya."
Aku mengangguk sekaligus heran.
"Sebenarnya hubunganmu dengan Ariel itu apa? Dia mantan pacarmu yang kabur dulu?"
Aku kaget, namun aku berusaha untuk menahan. Ku anggukkan kepalaku tanda iya. "Kamu cemburu ya?"
"Cemburu, sekaligus bahagia," katanya sambil menggenggam tanganku.
"Hah? Bahagia?"
"Aku bahagia memiliki orang yang semulia dirimu. Aku kira kamu selalu dendam dengan orang-orang yang jahat padamu. Ternyata tidak. Kamu bisa memaafkan orang lain. Kamu hebat. Kamu luar biasa." Vicky mengecup punggung tanganku. Mataku berkaca-kaca. Lagi-lagi dia memujiku. Aku tak sanggup berkata apa-apa lagi. Ku tarik kerah bajunya agar badannya limbung ke wajahku. Dia kaget dan berusaha menahan tubuhnya. Cup! Aku segera mengecup bibir manisnya dengan bibir pecahku yang berdarah.
"Apalagi aku. Aku sangat bahagia sekarang."
***