Sudah berapa hari aku menangis?
Sial, aku ini laki-laki. Tapi malah jadi cengeng setelah melihat si brengsek itu.
Badanku terbangun dari kasur. Ku tatap wajahku di cermin. Rambutku tambah memanjang dan acak-acakan. Mataku bengkak dan muncul kantung mata di bawahnya. Sangat tidak terawat. Aku merapikannya sekedarnya. Ku cuci wajahku dikamar mandi. Ku raih ponselku yang sudah ku charge entah dari kapan. Banyak chat yang masuk. Dari Maurice, Claudia, Claire, dan lain-lain. Tidak ada chat dari Reval. Seharusnya kalau dia mencintaiku, dia akan segera menghubungiku dengan berbagai alasan kan?
Sudahlah. Aku tidak ingin berhubungan dengan orang itu lagi.
Aku mengecek semua chat yang dulu dan sekarang. Reval tidak pernah online lagi. Ariel tidak pernah berinteraksi denganku. Randa apalagi. Angga....
Oh, aku sudah lama tidak membalas chatnya. Dia pernah mengirim chat padaku untuk minta maaf atas perbuatannya di gunung. Kalau dilihat, aku belum membalasnya sejak waktu itu. Kasihan juga ya.
Mungkin aku bisa bermain-main dengannya hari ini.
"Iya gapapa. Kamu ada kuliah gak hari ini? Aku ingin bolos."
***
Aku duduk di depan tangga mall. Berharap orang yang ku tunggu datang. Berkali-kali coba ku benahi rambutku yang mencuat. Beberapa hari ini aku tidak merawatnya dengan baik seperti biasanya. Tapi tak apalah, rambutku sudah terlihat rapi sekarang. Wajahku juga sudah ku tata agar tidak terlihat kusam dan kacau. Aku harus terlihat lebih baik didepannya hari ini.
"Halo, Vick!" panggil seseorang yang tiba-tiba muncul dihadapanku.
Aku berhenti bercermin di ponsel dan menoleh. Itu Angga, orang yang ku tunggu. Aku segera meraih lengannya dan mengajaknya jalan. "Ayo!"
"Eh, kemana?"
"Pokoknya jalan!"
Aku segera mengajaknya keliling. Main di game center, melihat baju-baju, karaokean, dan lain-lain. Aku ingin bersenang-senang hari ini. Melupakan semuanya tentang orang itu.
"Tumben lo ngajak gue main? Elo habis diputusin Reval ya?" tanya Angga ketika kami duduk di salah satu food court untuk menikmati coklat klasik.
Aku menyemburkan minumanku. "Siapa yang bilang??"
"Randa yang bilang kalau kalian pacaran. Gue gak nyangka, elu dulu ngotot ngaku normal, eh malah jadian sama brandalan itu. Apa sih yang elo lihat dari dia?"
"Gak tahu. Gue dipelet keknya."
Angga tertawa keras sampai terdengar orang-orang sebelah. "Gila! Gue gak nyangka lo kalian pacaran! Dia udah ngapain aja sama lo?!"
Sial! Angga masih kampret kaya dulu. "Mau tahu aja!"
"Udah pernah ke hotel?"
Aku menyemburkan minumanmu lagi. Gila! Pertanyaannya gak ngotak. "Ngapain sih elo penasaran sama hidup privasi orang? Lagian gue gak pernah gituan. Elo kok mikir gitu?!"
"Haha. Sorry. Kalian kan udah tidur berdua pas di tenda dulu. Jadi gue pikir semua berawal dari situ."
Aku merenung. "Reval orangnya sopan dan gak macam-macam. Dia gak pernah minta aneh-aneh."
"Lalu kenapa kalian putus?"
"Dia brengsek."
"Semua orang sudah tahu kan??"
Aku merenung. Mungkin wajahku sedang mendung. Angga merangkul pundakku. Kalau ini aku yang dulu, aku pasti sudah menghajarnya. Tapi sekarang, aku malah menyandarkan kepalaku ke bahunya.
"Jangan bilang lo pengen jadiin gue pelarian aja!" celetuk Angga.
"Kalau iya, gimana?" balasku manja.
"Sialan lo!" katanya sambil menarik pundaknya hingga kepalaku hampir terjatuh. Aku segera menyelamatkan kepalaku dan memukul punggungnya. Akhirnya kami malah saling mengejek dan bercanda bersama. Beberapa kali aku memukulnya, dia hanya tertawa keras menanggapiku.
Entah sudah berapa lama aku tidak tertawa seperti ini....
"Wah, enak banget ya yang lagi mesra-mesraan....," sindir seseorang dibelakangku. Aku dan Angga menoleh.
Bruk! Orang itu langsung menghantam pipiku hingga tubuhku limbung. Seluruh pengunjung di food court tersebut kaget dan histeris, termasuk Angga. Dia segera menahan badan pelaku tersebut. Kami berdua terkejut. Orang itu Ariel, yang tengah bernafsu untuk menghabisiku.
"Eh, elo ngapain sih bikin ribut disini?" tanya Angga heran dan menahan lengan Ariel.
"Lepasin gue! Beraninya nih bocah malah enak-enakan disini, sementara dia menderita," kata Ariel dengan emosi.
Aku segera berdiri dari lantai. Semua orang disini tidak berani bergerak, kecuali satpam yang ingin membantu Angga untuk menenangkan Ariel. "Apa sih lo? Gue gagal paham sumpah!" kataku sambil mengusap pipiku. "Dan maksud lo, siapa yang menderita?"
"Elo brengsek! Elo nuntut dia buat tanggung jawab sama perasaan elo! Tapi elo sendiri malah mainin dia dengan seneng-seneng kaya gini!"
Oh, aku paham. Ini tentang 'orang itu"' "Emang gue peduli," jawabku cuek, "Dia juga seneng-seneng di belakang gue."
Ariel hendak menonjokku lagi, tapi ditahan oleh Angga dan satpam. Bahkan si satpam mengancamnya untuk lapor polisi jika tetap berbuat onar. Tapi Ariel tampak tidak peduli. Dia terus membentak, "Sial! Kenapa si dia lebih milih lo daripada gue, sementara dia sedang memperjuangkan nyawanya!"
Aku terkejut dan menatapnya. "Hah? Maksud lo apa?"
"Dia lagi operasi sekarang! Dan gak tahu apakah dia bisa bertahan apa gak setelah itu!"
"Hah?" Aku kaget, bingung, heran. Kenapa...
Tidak. Aku sudah putus komunikasi dengan Reval selama ini. Jangan-jangan dia tidak menghubungiku karena seharusnya dia menjalani perawatan sebelum operasi. Aku jadi linglung dan lupa sekitarku.
"Dia dirawat di rumah sakit mana?" tanyaku.
"RS Setia Hati."
Tanpa mempedulikan Angga, aku segera berlari meninggalkan tempat itu. Aku berlari mencari sembari ojek online ke rumah sakit itu.
Aku ingin segera tahu keadaan Reval!
***
Terlihat hiruk pikuk di rumah sakit. Ada suster yang tengah mondar-mandir, dokter yang melihat kondisi pasiennya, dan aku yang terengah-engah di depan resepsionis. Petugas di hadapanku pun bingung melihat tingkahku.
"Val... Reval....," kataku pada resepsionis dengan terengah-engah.
Petugas di hadapanku pun bingung. "Maaf, apa yang bisa saya bantu?"
Aku menegakkan badanku dan berusaha menegaskan perkataanku. "Saya mau cari ruangan tempat pasien bernama Reval dirawat."
Perempuan itu pun segera melakukan tugasnya secara profesional. Dia mencari nama Reval di komputer. Sementara aku terus memikirkannya. Reval, Reval, Reval..... Kamu baik-baik saja kan?
"Oh, yang baru saja operasi tumor di rahim ya?"
"Hah?" Aku tercengang. "Mbak, Reval itu cowok. Tolong cari lagi."
Petugas itu mencari lagi nama Reval di komputer. Padahal pasti ada kolom pencarian nama di komputernya yang bakal memudahkan pencarian, tapi kenapa lama sekali? Lagian gak mungkin....
"Vicky, kamu disini rupanya," ucap seseorang dibelakangku.
Aku menoleh. Itu mamaku. "Loh, Ma? Kok gak kerja? Malah disini?"
"Ini mama lagi kerja? Klien mama gak bisa ke kantor karena disini, jadi mama kesini," kata mama sambil membawa tas kerjanya. Walaupun ke rumah sakit, tampilannya seperti orang yang mau bekerja. Totalitas sekali mama yang malah menghampiri kliennya sendiri. Beliau bertanya, "Kamu sendiri ngapain disini?"
Aku menunduk. Aku takut mama marah saat aku mengatakannya, "Jenguk Reval, Ma."
Aku tidak tahu bagaimana reaksinya. Mungkin beliau marah sekarang. Padahal beberapa hari yang lalu, aku sudah bilang padanya kalau aku putus dan tidak mau berhubungan dengan orang itu lagi. Tapi aku tidak mau membiarkan Reval kesakitan disini. Kalau dia sakit, aku....
"Kenapa kamu masih ingin menemuinya?" tanya mama dingin.
Aku diam dan tidak berani menjawab.
"Kamu itu laki-laki, jawab yang tegas!"
"Aku... Gak bisa...."
Mama segera menarikku. "Kalau tetap ragu, mending gak usah jenguk orang itu. Kamu pulang aja, mama harus segera ketemu klien mama," katanya sambil berjalan cepat sambil mencari kamar seseorang.
Aku tidak bisa berkutik dan menunduk. Mama selalu begitu. Walaupun menerima keadaanku yang androgini dan cita-citaku, tapi beliau sangat tegas dalam mendidikku sebagai laki-laki. Sebenarnya selama ini aku sudah merasa dewasa dan rasional dalam berfikir. Tapi semua berubah sejak aku bertemu orang itu.
Aku harus tegas saat bertemu orang itu. Tentang perasaan ini. Tentang hubungan ini.
Aku harus membicarakannya dengan mama yang kebetulan psikolog. Mama memang memintaku untuk tegas, tapi beliau selalu terbuka jika aku meminta pendapat darinya agar aku tidak salah arah. Ku ikuti langkah kakinya yang tengah memasuki kamar. Pasti itu kamar kliennya. Aku mengucapkan salam dan masuk....
Hah?
Brak! Bunga yang dibawa kilen yang dikunjungi mama jatuh seketika. Dia dan mama terkejut, begitu juga aku. Tampak wajah yang sangat ku kenal mengenakan pakaian pasien terbaring disana dan menatapku dengan kaget dan berkaca-kaca. Sementara aku melihatnya dengan rasa tidak percaya.
"Re... Val....," panggilku lirih. "Itu kamu?"
Bukannya menjawab panggilanku, dia malah menoleh ke mama dan marah. "Apa maksudnya ini?! Bukankah anda sendiri yang berjanji tidak akan memberitahunya!"
Apa-apaan ini? Reval terbaring di tempat ini dan mama mengunjunginya? Mama dan Reval diam-diam bermain sesuatu dibelakangku. Mengunjungi klien apanya?! Omong kosong! Aku ingin melihat kondisi Reval yang kata Ariel habis dioperasi, tapi sekarang tidak lagi. Beberapa hari yang lalu dia dikelilingi cewek, sekarang dengan mamaku.
Cukup! Semuanya cukup!
Bahkan dia tidak menatapku sama sekali, apalagi memberi alasan tentang apa yang terjadi. Aku muak. Aku memilih berbalik dan meninggalkannya.
Aku tidak ingin....
"Wih, ada cewek cantik nih!" goda seseorang yang tiba-tiba muncul dari kamar mandi. Aku menoleh kembali. Gila! Ada seorang wanita yang sepertinya baru mandi disana dengan penampilan sangar sedang menatapku dengan seksama dan senyuman jahil. Dari kelihatannya, dia tidak mungkin punya hubungan keluarga dengan Reval. Jadi sebelum mama kesini dia sudah berduaan sama tante-tante girang yang berani mandi di kamar pasien cowok??
Aku berbalik lagi dan tidak memperdulikannya.
"Oh, suara laki-laki! Maaf, aku gak tahu!" Ucapnya meminta maaf, tapi tidak ada raut penyesalan di wajahnya. Aku taidk memperdulikannya dan tetap berjalan maju. Reval tidak mengejarku atau memanggilku, seperti beberapa hari yang lalu. Haha, seharusnya aku tahu kalau dia hanya main-main denganku.
"Hei, jangan mengabaikan aku dong cowok cantik!" panggil tante girang usil itu sambil memegang pundakku.
Aku segera menyingkirkannya dan membentaknya. "Gak usah pegang-pegang! Elu tuh bukan siapa-siapa gua!"
Dia terdiam. Sepertinya dia terhenyak dengan bentakanku barusan. Tapi aku salah. Bukannya kesal atau merasa bersalah, wanita itu terbahak-bahak. Membuatku bingung. Di tengah tawanya, dia berkata, "Hahaha. Aku gak nyangka.... Omongan dia benar! Hahahaha."
"Hah??"
"Dia bilang dia punya pacar cantik tapi cemburuan. Haha. Aku kira dia bohong karena dia gak kaya dulu lagi. Tapi apa-apaan ini? Ternyata pacarnya datang sendiri dan aku bisa melihatnya. Hahaha. Dia gak bohong!"
"Apa sih? Gak jelas," kataku sambil berlalu. Tapi wanita itu tetap memegang tanganku. Sial, tangannya kuat. Pasti dia preman atau kriminal kaya Reval, kalau dilihat dari tampilannya.
"Makan siang bareng tante yuk! Nanti tante traktir deh, Sayang!"
"Jangan panggil sayang ke orang gak kenal. Gue gak sudi makan bareng lo."
"Gue traktir," dia menatapku tajam, "Traktir cerita tentang orang itu. Karena aku yang membesarkan psikopat itu."
Mataku terbuka lebar. Tatapannya gak main-main. Apalagi ajakannya. Aku langsung mengangguk mantap.
***
Aku duduk di depan wanita itu. Dia mengajakku ke kantin rumah sakit, letaknya di belakang gedungnya. Wanita itu bersemangat untuk memakan nasi pecelnya yang katanya untuk sarapan. Sementara aku hanya mengambil air mineral.
"Beneran cuma air aja? Elo kaya kurusan sekarang," sindir wanita tak dikenal itu, "Jangan sampe elo bikin dia nangis."
"Kita gak saling kenal sebelumnya, kok bisa tahu aku kurusan? Lagian cowok kaya dia gak mungkin nangis."
"Ternyata elo gak kenal sama sekali sama pacar sendiri," katanya lalu melahap makanannya.
Aku menggebrak meja. "Berhenti bicara aneh-aneh. Cepat katakan apa yang ingin lo katakan! Elo bilang kalo elo yang besarin dia, tapi elo sama sekali gak kaya ibunya dia! Elo mau bohongin gua?"
Dia mengunyah makanan sambil menatapku tajam. "Yang sopan sama orang tua! Atau ku bunuh kau nanti!" ancamnya lirih tapi menakutkan.
Aku terdiam. Wanita ini dan Reval memang tidak terlihat seperti ibu dan anak. Tapi dari cara mengancamnya, mereka mirip.
Aku baru paham. Hubungan mereka bukan ibu dan anak. Tapi seperti guru dan murid.
"Apa saja yang kamu ketahui tentang orang yang sedang terbaring di kamar itu?" tanyanya sambil melanjutkan makannya.
Aku menunduk. "Dia laki-laki brengsek yang pernah membantai banyak preman di gang timur sendirian dan pernah dipenjara karena membunuh empat orang, lalu bebas beberapa bulan kemudian dan berhasil masuk kampus karena orang dalam."
"Tunggu, kamu tahu dia pernah membantai para preman di daerah timur?"
"Pernah. Aku melihatnya sendiri."
"Lalu kamu mau pacaran dengan pembantai itu?"
Aku menutup wajahku. "Ku mohon jangan buat aku tambah menyesal karena itu...."
"Kamu menyesal pacaran dengannya? Lalu kenapa kamu bisa berpacaran dengannya? Apalagi katamu dia itu cowok brengsek," katanya sambil terus makan dan main ponsel.
"Aku tidak tahu. Itu salahku sendiri. Aku merasa sangat nyaman dengannya sampai aku ingin memilikinya. Aku keceplosan memintanya untuk bertanggung jawab atas perasaanku. Dia malah menerimanya langsung dan mengajakku jalan."
Wanita itu terbatuk, karena sedang menahan tawa. Dasar dia yang bertanya, tapi dia yang tertawa. "Oh ya satu hal lagi," katanya sambil tersenyum. "Pernahkah kalian bersentuhan?"
Wajahku langsung memerah. "Bicara apa kau?? Tentu saja...."
"Seperti gandengan tangan, berpelukan,...."
"Ah." Aku memalingkan wajahku agar tidak pernah kelihatan merahnya. "Kalau itu bolak-balik."
"Berarti ada yang lebih parah lagi ya?"
Wajahku tambah memerah. Aku segera menyembunyikannya di meja. Ku tutupi dengan tanganku.
"Kenapa? Orang seperti dia tidak mungkin tidur denganmu!"
"Tentu saja tidak!"
"Lalu apa? Paling sebatas dia cuma mencium pipimu kan?"
"Kumohon, jangan buat aku tambah menyesal lagi! Laki-laki sebrengsek dia tidak cuma melakukan itu!"
Wanita itu sepertinya berhenti makan. Terlihat bahwa dia mengangkat wajahku yang berusaha ku sembunyikan dan menatapnya. Aku berusaha mengalihkan pandanganku, tapi wajahku masih merah. "Kalian pernah berciuman bibir? Dan dia yang mulai?" tanyanya serius.
Mataku masih memandang ke arah lain, tapi kepalaku mengangguk tanda iya.
Tiba-tiba wanita itu mencubit kedua pipiku. Aku kesal dan melepas tangannya. "Gila! Ternyata dia segila ini sama elo! Dia benar-benar cinta sama elo! Dan elo menerima dia padahal gak kenal sama sekali dengannya! Apalagi aku salut dengan kisah cinta kalian berdua!"
"Apaan sih?" Keluhku sambil melepas tangannya. "Jangan tambah memperburuk suasana hati orang! Laki-laki itu...."
"Dan kamu menerimanya meskipun dia itu cowok. Kamu gak takut dengan konsekuensi itu? Semua orang akan memusuhi kalian yang jadi pasangan gay, terutama keluargamu sendiri?"
"Aku gak tahu. Akal sehatku lumpuh sejak bertemu dia. Aku sudah sering bertengkar dengan ayahku juga."
Wanita itu tersenyum, lalu menunjukkan sesuatu di ponselnya. "Bagaimana semisal hubungan kalian bisa diterima oleh akal sehat, tapi konsekuensinya lebih besar dari yang kamu bayangkan?" tanyanya.
Aku lihat layar yang ditunjuknya. Ada berita tentang seorang perempuan yang diperkosa tiga orang. Diduga ayah tiri dan saudara tirinya sendiri juga ikut menjadi tersangka. Berita itu dimuat tiga tahun yang lalu. Aku terkejut. Aku ingat. Pada tahun itu memang ada berita besar ini yang dimuat di TV dan koran nasional. Namun sayangnya pelakunya tidak ditahan dan berkeliaran bebas. Alasannya tidak ada saksi dan bukti yang menyatakan kejadian itu. Entah apa yang terjadi pada mereka, tapi perempuan itu mengalami depresi berat. Kalau tidak salah, mamaku ikut terpanggil ke dalam kasus itu untuk menangani kejiwaan perempuan itu.
"Perempuan yang sudah dalam keadaan begini biasanya akan kehilangan harga dirinya. Bukannya dibantu, masyarakat malah akan melihatnya dengan kotor, karena dia tidak suci lagi. Menjijikkan. Padahal dia hanyalah korban," terang wanita itu.
"Aku ingat. Namanya Nana kan?" tanyaku sambil memperhatikan foto perempuan yang muram dan wajahnya diblur itu. "Aku pernah bertemu dengannya ketika mamaku merehabilitasinya.
"Apa yang kamu katakan?" tanya wanita itu. "Ulangi lagi."
"Namanya Nana. Dia klien mamaku dulu yang pernah menghilang."
Wanita itu membuka foto lain dan menunjukkannya padaku. Aku terhenyak. Mataku melebar saat membaca tulisan di layar ponselnya. Itu hanya foto dari buku tahunan SMA biasa dengan gambar seorang perempuan cantik dan nama yang tampil di bawah wajahnya.
REVALINA ISKANDAR.
"Laki-laki yang selama ini kamu pacari adalah perempuan malang ini, klien mamamu yang pernah menghilang," terang wanita itu. "Selamat, sebenarnya kamu adalah laki-laki normal selama ini."
Aku segera merebut ponselnya. Ku perhatikan baik-baik wajah perempuan di layar itu. Wajah itu memang wajah Reval yang polos dan manis, seperti yang biasa aku lihat saat dia tersenyum. Tapi kenapa?
"Apa yang terjadi padanya hingga dia jadi begini?" tanyaku dengan penasaran dan mata melotot. "Apa kamu yang melakukannya? Dan sebenarnya siapa kamu?"
"Oh, maaf. Aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Renata. Kata dia, kamu pernah cemburu padaku karena pernah memanggil pacarmu 'sayang'. Aku minta maaf. Aku tidak berniat merebut pacarmu karena aku masih normal. Aku tidak menyukai sesama perempuan. Eh, tidak deh. Aku tidak ingin mencintai siapapun. Aku tidak ingin menikah," katanya panjang lebar.
Aku jadi teringat. Saat di gunung, Reval juga pernah mengatakan hal ini. Dia tidak ingin menikah, karena dia tidak ingin mencintai siapapun. Perlahan aku mulai sadar kenapa dia berkata seperti itu. Aku jadi merasa bersalah telah berpikiran buruk pada wanita di depanku.
Wanita itu mulai bercerita tentang orang yang ku sayangi itu. Mereka bertemu saat berada di penjara bersama. Wanita di depanku ini adalah ketua geng preman yang sering bermasalah di daerah utara kota dan ditangkap setelah melakukan penganiayaan serta penjarahan di sebuah rumah orang kaya disana. Walaupun cerita tentang dirinya sangat terlihat terkesan buruk, tapi wanita itu malah terlihat bangga dengan aksinya itu. Sementara Reval ditangkap setelah membunuh tiga orang yang telah memperkosanya, termasuk ayah dan saudara tirinya serta teman ayahnya itu. Dia juga hampir membunuh teman kakak tirinya juga, namun entah kenapa orang itu selamat hingga dapat bertemu lagi dengan Reval di kelas. Itulah alasan Reval mengamuk saat kuliah dan berakhir dicabut mata kuliahnya. Jadi di berita tercatat empat korban Reval, tiga orang meninggal dan satu orang luka berat. Oh ya, masih ada satu korban meninggal lagi namun tidak tercatat di berita. Yaitu anak yang berada di kandungan Reval sendiri. Dengan depresi berat dan gilanya setelah semua orang tidak ada yang membantunya untuk menangkap para penjahat yang menyerangnya, dia menusuk sendiri perutnya sendiri beserta janinnya dengan harapan dia ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Tidak lama kemudian, dia segera ditemukan oleh ibunya dan dibawa ke rumah sakit. Janinnya yang telah mati diangkat dan rahimnya dijahit kembali. Namun karena perbuatannya itu, mengoyak perut dengan pisau yang tidak steril atau sisa janin yang mungkin hancur dan belum diangkat sepenuhnya, muncul masalah di rahimnya yang membuatnya bermasalah hingga sekarang : kanker rahim. Sakit perut yang dideritanya selama ini adalah penyakit itu, bukan penyakit maag yang ku kira selama ini. Dan alasan dia masuk rumah sakit ini untuk mengangkat kankernya itu.
Aku masih ingat saat pertama kali bertemu dengannya di rumahku, saat dia akan direhabilitasi oleh mamaku. Dia lebih seperti orang gila. Rambutnya panjang sedikit acak-acakan dengan poni panjang yang hampir menutupi wajahnya -inilah yang membuatku tidak bisa mengenalinya sekarang. Baju lusuh yang mungkin tidak pernah berganti satu minggu itu. Raut wajah suram dan tertutup. Tangan yang bergerak sendiri seperti orang kejang, yang terlihat bolak-balik memukul perutnya. Dan suaranya yang hening, meski aku berusaha mengajaknya bicara. Aku masih ingat saat itu, dan Tante Renata juga tahu. Perempuan malang itu berakhir menjadi seperti itu karena tidak ada yang menerimanya sama sekali. Dia jadi korban pemerkosaan keluarga tirinya, tapi dia juga menjadi korban kekejaman masyarakat. Digunjing sebagai perempuan nakal yang tidak pandai menjaga diri, dibenci ibunya sendiri yang mengiranya telah terjerumus pergaulan bebas dan menggoda ayahnya sendiri, dicacimaki, dianggap sampah masyarakat, padahal dia cuma korban. Sebelumnya dia hanyalah perempuan polos dan ceria yang tidak tahu apa-apa. Dan yang paling parah lagi, pacarnya dulu. Pacarnya yang seharusnya jadi saksi mata pada sidang para penjahatnya malah menutup mata dan mulut. Dia tidak berterus terang tentang apa yang terjadi pada Reval dan malah membela para pelaku. Katanya pacarnya diancam para pelaku dengan foto aibnya di masa lalu dan dituntut keluarganya untuk mulai menjauhi Reval. Sejak itulah, Reval mulai gila dan membunuh orang-orang yang telah membuatnya menderita, termasuk janinnya sendiri.
Kembali ke waktu di penjara, saat Tante Renata bertemu dengan Reval, awalnya gadis itu terlihat ketakutan. Tapi setelah itu, mereka malah terlihat sangat dekat seperti sahabat. Bagi tante Renata, Reval sudah seperti anaknya sendiri. Hal ini karena Tante Renata juga mempunyai masa lalu yang sama dengannya. Beliau mengaku pernah dihamili pacarnya yang preman dan ditinggalkan begitu saja. Setelah itu, tante membalas dendam dengan menghajar pacarnya itu dan merebut gengnya hingga menjadi bawahannya. Dan jadilah tante Renata menjadi ketua geng. Tante Renata mengajari Reval untuk bertahan hidup dengan cara seperti itu. Bertarung dalam kegelapan demi menyelamatkan perempuan seperti dirinya. Reval mengubah penampilannya menjadi laki-laki agar tidak diketahui bahwa dia adalah korban masyarakat seperti dulu. Dia juga mulai pindah tempat tinggal ke rumah tante Renata daripada ibunya sendiri. Tante Renata sendiri yang menguliahkan Reval seperti sekarang dan berkat beasiswa juga. Jadi masuknya Reval ke kampus bukan karena orang dalam, tapi karena murni kepintarannya, walaupun dia tetap dicap sebagai kriminal yang telah keluar dari penjara. Saat siang, dia bekerja di bengkel dan malam dia berjalan di gang-gang sepi untuk menghajar preman. Dia lakukan semua itu sampai dia bertemu denganku kembali. Katanya.
Tante Renata sempat kaget mendengar Reval minta izin untuk ikut gunung, padahal dia tidak pernah bersosialisasi dengan orang lain. Apalagi ada mantan pacar yang dibencinya ikut ke gunung itu. Namun tante Renata baru tahu alasan sebenarnya Reval ikut ke gunung setelah melihat status WhatsApp-nya. Yaitu sebuah foto Reval yang sedang mencium laki-laki cantik yang tidak lain adalah aku sendiri. Aku malu mendengarnya. Bahkan sekarang pun tante Renata masih menyimpan screenshot dari status WhatsApp tersebut. Aku dulu tak menyangka, bahwa saat itu dia sudah mulai menyukaiku. Apa karena aku masih terlalu takut padanya waktu itu. Tante Renata juga bercerita bagaimana Reval sangat senang mendapat kode dariku, yang menyatakan ingin jadian. Tidak hanya itu, saat hari jadian, jalan kemanapun, apapun yang dilakukan Reval untukku atau bersamaku, selalu diceritakan pada tante itu dengan semangat dan bahagia. Tidak seperti dirinya sebelumnya yang selalu suram dan gila. Dia seperti tidak pernah menjadi korban kejahatan apapun dan menjalani kehidupan cinta seperti orang normal, walaupun dia berusaha menutupi identitasnya didepanku sebagai laki-laki. Dia tidak ingin aku menyadari bahwa dia adalah klien mamaku yang pernah menghilang dulu, karena setiap orang yang melihatnya sebagai perempuan pasti menganggapnya jijik. Perempuan yang sudah tidak suci dan menjadi sampah. Dia takut aku menganggapnya jijik jika aku tahu dia adalah perempuan. Apalagi saat aku yang keceplosan dulu. Aku bilang ingin tanggung jawab darinya atas perasaanku, walaupun kita sama-sama laki-laki. Reval mengira aku menyukai laki-laki alias gay, bukan perempuan sepertinya. Ini sungguh rumit baginya. Makanya dia selalu bertindak sebagai laki-laki saat jalan denganku.
Namun semua berubah ketika dia bertemu ibuku, saat dia jatuh sakit dan ku ajak dia istirahat di rumahku. Mama langsung mengenalinya dan memergokinya tanpa sepengetahuanku. Tante Renata tidak mengerti apa yang mamaku ucapkan, karena cerita Reval tidak jelas saat itu. Yang jelas, Reval langsung mengurus operasi kankernya ke Rumah Sakit. Mengundurkan diri dari tempatnya kerja, menjual barang berharga termasuk ponselnya, dan pulang ke rumahnya sendiri, ke tempat ibunya sendiri yang dia benci. Makanya aku tidak bisa menghubunginya sama sekali. "Mungkin ibumu menantangnya untuk segera menyembuhkan penyakitnya jika dia benar-benar serius padamu," kata tante Renata. "Tapi sayangnya pas dia lagi reuni dengan teman-teman cewek semasa SMA-nya, kamu buru-buru cemburu dan minta putus, lalu dia down lagi. Dasar, kamu pacar manja dan merepotkan!"
Aku hanya bisa menunduk dan memahami setiap ceritanya. Jadi selama ini aku laki-laki normal yang berpacaran dengan perempuan? Dan perempuan itu adalah klien mamaku sendiri yang pernah menghilang dulu? Jadi selama ini Reval adalah Nana itu?
Aku tidak bisa mengungkapkan apa yang ada di pikiranku sekarang. Entah senang, sedih, kecewa, lega, miris, semuanya campur aduk.
"Reval dulunya anti disentuh cowok setelah kejadian itu, walaupun dia sendiri sudah merubah penampilannya jadi cowok. Tapi dia berubah sejak bertemu denganmu. Apalagi sampai dia menciummu. Pasti dia sudah berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk serius ingin memilikimu," cerita tante itu setelah meminum es jeruk.
Aku teringat saat kejadian di gunung dulu. Reval langsung menyerangku saat aku memanggilnya dari belakang. Pasti dia memiliki trauma dengan penjahatnya saat itu. Atau saat dia menyerang Angga setelah laki-laki itu menyerangku, lalu menangis sesenggukan di pelukanku.
Aku segera berdiri dari kursi dan berterima kasih atas cerita itu. Ada banyak sekali pikiran yang mengikutiku, tapi tentu saja tidak berani ku katakan pada Reval. Kakiku berjalan di lorong rumah sakit, tanpa tahu kemana.
Kring!! Ponselku berbunyi. Ternyata dari ayahku sendiri yang mengomel karena aku menghilang dan bolos kuliah beberapa hari ini. Aku mengabaikannya dan bertanya hal lain, "Pa, masih main ditempatnya Mbak Tia?"
"Hah? Ada apa? Tumben kamu nanya itu?"
"Gak ada apa-apa. Kangen aja pengen ketemu mainan papa. Aku lagi sebal dengan mama."
Suara marahnya berubah jadi ceria. "Hoho. Siap! Besok sore ya. Tapi jangan kasih tahu mamamu kalau kita main berdua."
"Tentu saja, Pa," jawabku sambil tersenyum sinis. "Aku kangen pergi kesana."
***