Lempar... Tangkap! Lempar... Tangkap!
Itulah yang dilakukan seorang laki-laki yang tengah terbaring malas di atas kasur. Tapi tangannya sangat giat melempar ponselnya ke udara lalu menangkapnya lagi. Matanya menatap nanar ke langit-langit. Ibunya hanya geleng-geleng kepala melihat putranya yang gabut itu.
"Yudha, kamu itu sebentar lagi harus masuk kuliah. Jangan malas-malasan! Cuti kuliahmu sudah habis!" omel ibunya sambil menaruh beberapa baju yang sudah terlipat ke dalam lemari kamarnya. "Berduka boleh, tapi kamu harus melanjutkan hidupmu!"
Laki-laki yang sedari tadi memainkan ponselnya itu pun berhenti pada tangkapan terakhir. Sesekali dia menggosok kedua matanya yang merah dan menjawab, "Iya, Bu. Aku mandi dulu."
Dia segera bangkit dari tempat tidur dan melempar ponsel ke atas kasurnya dengan kasar. Tiba-tiba ponselnya menyala karena ada chat masuk. Tampak sebuah foto seorang perempuan cantik dan tersenyum ceria di layar ponselnya. Dengan seragam SMA-nya dan rambut panjangnya, serta watermark di bagian bawah foto itu. Bertuliskan Nana.
***
Ahh, nikmatnya....
Berendam di air hangat memang benar-benar membuatku nyaman. Apalagi setelah hari kemarin....
Setelah selama liburan semester kemarin aku dihantui rasa bimbang akan perasaanku pada Reval, dia malah mengajakku jadian. Bukan hanya itu, cara dia menjawab perasaanku dengan langsung mencium bibirku. Aku sampai tidak bisa berkata apa-apa. Aku yang terus-menerus memikirkan persamaan gender yang menjadi penghalang kami, dia malah dengan mudahnya menerima itu semua. Dan aku tersadar. Sepertinya aku benar-benar gay, tidak seperti yang ku pikirkan selama ini. Perasaanku kepadanya memang benar-benar perasaan suka. Aku pun tidak merasa jijik saat dia menciumku. Padahal biasanya kalau sama-sama cowok pasti akan illfeel jika melakukan hal itu. Tapi aku tidak merasakan hal itu dengannya. Aku malah senang. Aku bahagia dia melakukannya.
Mungkin hanya berlaku untuk Reval saja rasa jijikku hilang, hingga yang tersisa adalah rasa bahagia dan kasmaran tak terkira. Apalagi dia ternyata semanis dan romantis itu.
Reval, aku benar-benar....
Tiba-tiba ponsel disampingku berdering. Aku tersentak hingga hampir tenggelam ke dalam bathtub, tapi aku sanggup bertahan. Bagaimana tidak, ada telpon dari Reval yang mengajakku video call. Dengan senang hati aku mengangkatnya.
"Halo, darling," salamku ketika melihat wajah cerianya dan penampilan rapinya dari seberang sana.
"Halo say-"
Tiba-tiba video call diputus secara sepihak darinya, setelah wajahnya yang segar itu berubah menjadi merah dengan mata melotot. Aku sempat kaget dan heran.
Apa-apaan dia? Tiba-tiba menelepon dan membuat orang senang, lalu tiba-tiba memutuskan telpon seenaknya dan membuat mood-ku down.
Hingga akhirnya dia menelponku lagi secara biasa dan berteriak hingga telingaku berdenging, "APA-APAAN KAMU?! KENAPA KAMU TELANJANG HAH??"
"Aku kan lagi mandi. Kamu sendiri yang menelponku tiba-tiba."
"KENAPA KAMU TAK BILANG DARI TADI HAH??!!" Bentaknya panik.
"Gimana aku bilangnya, kamu nelponnya mendadak," jawabku sambil bermain air bathtub. Terciptalah suara gemericik air hingga terdengar ke seberang telpon. "Lagian kenapa kamu malu? Kita kan sama-sama cowok."
Aku seperti mendengar suara berisik gelisah. Entah suara garukan di kepalanya yang kasar atau kakinya yang mengetuk lantai. "A.. aku kan... Pacarmu.... Kamu lupa?"
Aku terhenyak. Sebentar....
"V-val? Ka-kamu gak mikir aneh-aneh kan?" tanyaku gemetar dan setengah malu.
"Udah ya, aku berangkat kuliah dulu. Aku punya kuliah pagi. Sebenarnya aku ingin jemput kamu dulu, tapi karena kamu masih mandi dan waktuku mepet, aku tinggal ya. Bye, sayang. Muach," ucap Reval secara bertubi-tubi dan cepat tanpa mau disela lalu mematikan telponnya.
Sementara aku masih terpaku di dalam bathtub.
Reval itu pacarku ya. Dia gak mikir aneh-aneh kan pas lihat aku telanjang? Aku hanya berpikir kita sama-sama cowok. Apalagi yang terlihat di layar ponsel hanya badanku bagian atas. Tapi wajahnya...
Apa perasaannya padaku sampai begitu? Aku terlalu naif.
Satu pesan chat muncul di ponselku dari Reval. Isinya :
Nanti kita makan siang bareng ya. Aku jemput kamu. Aku tahu tempat makan enak. Love you, sayang.
***
Aku masih memikirkan tentang Reval tadi pagi ataupun yang kemarin. Dia menjawab perasaanku dengan menciumku. Memelukku setelah kita berlarian bersama di taman. Wajahnya juga langsung memerah setelah melihatku telanjang. Sial, ini waktunya mengikuti kuliah pertama di mata kuliah utama, tapi aku malah tidak bisa konsen.
Ternyata Reval seperti itu melihatku? Pikirku dengan wajah memerah juga. Aku sampai tidak tahu harus senang atau malu saat mengingat itu. Memikirkan bagaimana perasaannya itu murni bukan karena paksaan atau kasihan padaku.
"Vick, lu gapapa?" bisik Maurice disampingku. Otomatis membuatku kaget.
"Hah? Emang kenapa?" tanyaku heran. "Gue baik-baik aja kok."
"Lu aneh. Muka lu merah kaya demam, tapi senyum-senyum sendiri. Abis dapet rejeki apa lu?" candanya lirih.
Sial, ketahuan. Aku hanya terkekeh ringan. "Rahasia," jawabku singkat.
Dia melirikku aneh dan heran. Aku tak bisa memberitahunya yang sebenarnya, meski dia teman terdekatku. Kalau aku bilang aku pacaran dengan Reval, laki-laki yang pernah dia bilang sebagai kriminal yang harus dijauhi, pasti.... Ah! Aku tidak bisa membayangkannya bagaimana dia nanti.
Kelas pun berakhir. Aku bergegas ke gerbang fakultas karena Reval sudah siap disana, tanpa memperdulikan Maurice yang mengajakku makan siang bersama.
***
Kantin yang ditunjuk Reval ternyata cafetaria yang cukup jauh dari gedung fakultasku, tapi dekat dengan fakultas hukum. Karena Reval mengajakku kesini dengan mobil, aku tidak merasa capek. Katanya disini enak, jadi aku nurut saja. Dan sepertinya benar, terbukti dengan ramainya tempat ini. Untungnya Reval masih menemukan bangku kosong di pojok ruangan.
Kini aku duduk disampingnya. Perasaanku masih canggung karena video call tadi pagi. Ku lirik dia. Wajahnya biasa saja. Apa dia lupa bagaimana wajahnya tadi pagi?
"Mau makan apa, Vick?" tanyanya dengan nada semangat.
Oh, iya. Karena ini tempat umum, dia tidak berani memanggil 'sayang'. Aku harus mengikutinya. "Terserah, Val. Yang penting bukan nasi," jawabku.
"Bakso mau?"
Aku mengangguk. Ku rogoh sakuku untuk mengambil dompet.
Dia pun segera menghentikannya. Tangannya meraih rambutku yang berantakan dan menyibakkannya ke balik telingaku, sedangkan mulutnya mendekat dan berbisik, "Aku pengen traktir pacarku dengan hasil jerih payahku."
Ya ampun, apa-apaan itu? Semoga saja wajahku tidak memerah sekarang! Reval benar-benar berbeda ketika jadi kekasih. Dia sangat lembut dan perhatian.
Rasanya aku tidak menyesal melakukan kesalahan fatal ini.
"Halo, Vicky!" panggil seseorang dari kejauhan.
Aku menoleh. Itu Ariel dan Randa. Ku lambaikan tanganku pada mereka. Mereka pun menghampiriku dan duduk di depanku.
"Tumben elu makan disini. Ada angin apa nih?" tanya Ariel penasaran.
"Haha. Pengen aja. Kenapa? Emang anak vokasi gak boleh kesini?" Tanyaku balik.
"Haha. Elu gak takut? Bukannya elu punya banyak fans gelap gitu," sindirnya.
"Fans gelap?" Randa bingung dengan kata-kata itu.
"Itu lo! Cowok gay yang ngejar-ngejar Vicky! Dia punya fans lo! Kaya si Angga!"
Oh, Angga! Haha. Aku hampir lupa dengan dia atau fans gelap.
"Ariel? Randa?" panggil seseorang dengan bingung. Itu suara Reval, dengan tangan yang membawa nampan berisi dua bakso dan dua es teh. Dia meletakkan satu bakso dan satu es teh di depanku lalu yang lainnya di depannya, lalu dia duduk disampingku. "Aku gak nyangka kalian disini."
"Elo... Makan... sama Vicky...?" tanya Ariel dengan gugup.
"Iya," jawab Reval singkat. "Ada yang salah?"
"Oh, jadi gitu! Biasanya kan cuma anak Teknik dan Hukum doang yang makan disini. Makanya tumben si Vicky makan disini!" ucap Randa. "Lain kali gua bakal kasih rekomendasi tempat makan enak deh!"
"Oh ya, makasih banget!" jawabku dengan tersenyum manis.
Tapi aneh. Aku merasa ekspresi Ariel tidak biasa. Seperti syok.
"Gak perlu ikut dia, Vick! Pasti abal-abal tu mah," sela Reval sewot. Mungkin dia cemburu. Lucunya.
"Kamu jangan jahat gitu dong, Val! Kali aja rekomendasinya emang enak. Kan lumayan," kataku.
"Woy, woy, woy. Apa-apaan ini? Apa yang terjadi dengan kalian berdua?" tanya Ariel sinis. Dia memandang kami dengan marah yang terpendam. Aku sampai kaget dengan tatapannya. Reval menggenggam tangan kiriku yang tersembunyi di bawah meja tanpa diketahui oleh mereka.
"Ada apa? Apakah masalah buatmu?" tanya Reval dingin.
"Sejak kapan Vicky bisa sesumringah itu sama elo? Sejak kapan Vicky bicara pakai aku-kamu?"
Randa kaget. Dia baru tahu kenapa Ariel terlihat marah. Aku menelan ludah. Sebenarnya aku tahu, pasti suatu hari nanti hubunganku dengan Reval ketahuan dan ada yang protes. Tapi aku tidak menyangka akan secepat ini. Sementara Reval seolah tidak peduli. Dia gantian menatap Ariel dengan marah. Laki-laki yang ku sayangi itu memandangku, seakan-akan minta persetujuan. Sementara aku memberi isyarat, bahwa tidak ada gunanya menyembunyikan ini dari Ariel. Dialah yang mempertemukan kami, jadi dia pasti langsung sadar jika ada perubahan pada kedekatan hubungan kami. Akhirnya Reval menarik tangan kiriku ke atas meja dan memperlihatkannya, betapa erat tangan kanannya menggenggam tangan kiriku. "Ini bisa jadi jawaban kan?" Tanya Reval.
"Ini gak mungkin kan?" tanya Randa bingung. "Ini gue lagi mimpi? Atau jangan-jangan ini prank? Iya kan, Vick?" tanyanya padaku.
Aku malah gugup. "Se.. sebenarnya...."
"Apa gua harus cium dia di depan banyak orang disini? Tapi aku mau melindungi nama baiknya," kata Reval blak-blakan dan tidak kenal tempat, membuat wajahku memerah.
"Haha. Ini gila! Elu ikutan prank-nya si Reval?" tanya Randa padaku.
Aku tidak berani menoleh padanya. Tapi malah tersenyum melihat Reval, yang akhirnya membuat wajah seramnya jadi lembut dan manis kembali. Dia ingin menjawab pertanyaan itu, tapi langsung ku dahului dengan menatap Randa dan Ariel sungguh-sungguh, "Iya, kami benar-benar pacaran."
Deg! Sunyi. Hening. Sepi. Suasananya jadi mirip kuburan. Tegang dan bikin merinding. Aku segera melepas genggaman tangan Reval. Sentuhannya terasa tidak baik untuk jantungku. Deg-degan terus bawaannya.
"Val, minta tolong bentar boleh gak?" pinta Ariel dengan muram. "Aku baru ingat. Motorku mogok. Tolong perbaiki bentar sekarang."
"Oh, iya," jawab Reval, lalu dia menoleh ke arahku dengan tersenyum. "Aku pergi bentar yak."
Aku mengangguk. Dia beranjak dari bangku dan melambaikan tangan ke arahku, lalu mengikuti Ariel ke tempat parkir. Aku membalas lambaian tangannya. Jadi sekarang, hanya aku bersama Randa di bangku makan sekarang.
"Gimana ceritanya elu bisa pacaran sama dia?" tanya Randa setengah berbisik. "Elu lupa dengan apa yang dia lakukan ke elu pas di gunung?"
"Gue gak lupa. Dia pernah nolong gue dari Angga," jawabku sambil mengaduk es teh.
"Tapi dia juga nyerang elu!"
Aku terdiam. Reval memang menyerangku, tapi entah kenapa aku merasa, pasti dia punya alasan. Aku dapat melihatnya dari bagaimana dia meminta maaf padaku berulang kali setelah itu. Dia juga begitu manis dan romantis. Bahkan aku mulai lupa semua hal yang ku takutkan darinya. "Gue tahu ini gila, dan mungkin gue udah gila. Tapi sebenarnya Reval itu baik dan rapuh, gak kaya yang elo bayangin."
"Gue paham maksud lu. Elu pasti berpikir kaya Ariel, bahwa semua orang itu orang baik. Tapi kenapa harus pacaran dengannya? Kenapa harus Reval, seorang cowok tulen? Bukannya selama ini lu bilang kalau lu normal?"
Aku menunduk lagi. Tanganku tetap mengaduk es teh. Walaupun terdengar suara ribut di luar kantin dan orang-orang di kantin keluar untuk melihat apa yang terjadi, aku masih fokus ke es tehku dan curahan perasaanku. Sementara Randa mendengar alasanku. "Gue baru sadar sekarang. Sejak gue ketemu Reval, gue ngalamin sesuatu yang gak pernah gue alami selama ini. Gue baru tahu yang namanya cinta, sesuatu yang gak pernah gue rasain ke orang lain, apalagi cewek. Cuma dia yang bisa dan satu-satunya. Gue tahu gue gak normal. Jadi plis," pintaku padanya dengan mata memelas. "Tetep terima gue jadi temen lu ya."
Wajahnya yang simpati berubah jadi jijik. "Tapi, Vick. Dia juga kriminal! Pernah bunuh orang!"
"Apaan nih? Kok jadi panas?" tanya Reval dibelakang Randa. "Kamu apain pacarku?"
Randa menoleh kaget. Tiba-tiba dia segera bangkit dan pamit. "Elu bakal nyesel sama keputusan lo, Vick!" peringatnya lirih.
"Berhenti jelek-jelekin Reval! Elu gak tahu apa-apa soal dia!" bentakku padanya.
Randa telah pergi. Untung kantin ini mulai sepi sejak ada keributan di luar, jadi tidak ada yang memperhatikan pertengkaran kami. Sementara Reval kaget. Mungkin dia baru tahu kalau aku bisa membentak. "Haha. Kamu gak kelihatan serem lo, Yang. Malah kelihatan imut pas bentak gitu," ejeknya sambil duduk disampingku.
Aku memitingnya agar dia tak seenak jidat. Dia hanya tertawa. Aneh. Terlihat pahit seperti menyimpan sesuatu.
"Kalau aku serem, emang kamu suka?" tanyaku sambil memakan baksoku. Eh? Aku baru sadar. Ku pegang pipinya secara paksa. Reval terlihat sebal dan ingin menyingkirkan tanganku, tapi aku tetap bersikeras ingin melihatnya. Pipi Reval merah. Sudut bibirnya sedikit berdarah. "Kamu habis ngapain? Berantem sama Ariel?"
Dia tersenyum pahit. "Haha. Olahraga doang kok. Biasa ini mah."
"Dia nonjok kamu?!"
"Udah gak usah dipikirin," ucapnya lalu mengalihkan perhatian ke bakso di depannya. Dia menyantapnya dengan lahap. "Hmm, baksonya enak. Sayang udah dingin."
"Reval...," panggilku dengan kesal. "Apa yang terjadi? Ariel marah gara-gara kita jadian?"
"Vicky!" panggilnya balik dengan tegas. Dia tampak kesal dan meletakkan sendok garpunya di mangkok dengan kasar. Suaranya mengganggu orang sekitar, bahkan ibu kantin di dapur. "Gak usah bahas dia lagi!" ucapnya dengan wajah gelap.
"Val...."
Tiba-tiba Reval memasang senyum manis dan lembut ke arahku. Dia pun melirik ke mangkok baksoku yang sudah kosong. "Udah kenyang belum? Kalau udah, cabut yuk! Aku udah kenyang.”
"Tapi makanmu belum habis?"
Reval hanya menggeleng dan mengajakku pergi. "Oh ya, maaf ya, Vick. Mulai hari ini jangan berhubungan lagi sama Ariel. Kita bukan temannya lagi."
"HEH?! Maksudnya Val? Kita putus pertemanan?!”
Reval tidak menjawab, dia hanya menarikku untuk segera keluar dari kantin dengan tergesa-gesa. Aku tahu, wajahnya tampak mendung dan tidak mengenakkan. Bahkan dia sampai menabrak seseorang yang sedang memegang ponsel dan menginjak ponselnya yang terjatuh. Aku terkejut saat orang itu marah-marah ke Reval, apalagi... uh, layar ponselnya menampilkan... eh, gambar cewek berbikini. Reval semakin menginjaknya dengan kasar hingga layarnya pecah. Pemilik ponsel itu ingin menghajar Reval, namun batal, karena sadar bahwa yang menginjak ponsel itu adalah mantan kriminal yang paling ditakuti di kampus, termasuk dirinya. Aku hanya bingung dan diam mengikuti langkah kaki Reval.
***
Beberapa waktu yang lalu....
Bug! Sebuah tinju melayang ke wajah Reval. Laki-laki yang sering dicap kriminal itu hanya terdiam dan tak membalas. Dia hanya meludah cairan merah yang merusak indra perasanya.
"Eh, Val! Maaf, aku gak sengaja," ucap lawan berantemnya yang tiba-tiba menjadi lembut. Siapa lagi kalau bukan Ariel. Tangannya hendak meraih pipi sahabatnya itu, tapi Reval menolak.
"Gak usah pegang! Najis!" ucap lawannya kasar sambil menyingkirkan tangan Ariel.
"Val!"
Tiba-tiba orang-orang pun berdatangan melihat pertengkaran mereka berdua, bahkan orang-orang dari dalam kantin ikut keluar.
"Plis, Val! Maafin aku! Aku gak sengaja!" ucap Ariel meminta maaf. Wajahnya tampak seperti rasa bersalah.
Reval tampak tak peduli. Bukan. Tapi tampak tak ingin peduli. "Maaf? Kamu sudah bilang berapa kali hah? Gak capek apa? Kamu juga cuma bisa bilang gitu dulu.”
"Tapi, Val. Ini aku beneran...."
"Jangan ganggu aku ataupun Vicky. Kita bukan siapa-siapa lagi," kata Reval, lalu dia berbalik meninggalkan Ariel. Laki-laki malang itu ingin mengejarnya, tapi dia ditahan orang-orang.
"Kamu gapapa? Kamu diapain sama mantan napi itu?" tanya mereka tanpa tahu masalah yang sebenarnya terjadi. Selalu seperti ini. Siapapun yang berurusan dengan Reval, pasti akan dianggap jadi korbannya. Cap kriminalnya telah melekat di benak semua orang hingga dia ditakuti di kampus. Walaupun sebenarnya bukan dia yang salah pada kejadian barusan.
Ariel berusaha menenangkan orang-orang disekitarnya dan keluar dari kerumunan. Dia ingin mengejar Reval, tapi laki-laki itu terlihat sudah pergi bersama pacarnya keluar dari kantin. Ariel merasa tidak enak lihatnya. Antara marah dan rasa bersalah bercampur aduk.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Dia segera mengangkatnya dan kaget. Nama di layar dan suara yang sudah lama tidak dia hubungi pun menyapa, "Halo, Riel. Apa kabar?"
"Yudha?" tanya Ariel kaget. "Ini Yudha? Katanya lu cuti kuliah ya?"
"Haha. Udah habis. Mau cuti lagi entar malah kena DO. Lu gimana? Gak kesepian kan gak ada gua disana?"
Ariel tak menjawab pertanyaan itu. Dia masih fokus melihat mobil yang Reval dan Vicky tumpangi.
"Hello, Ariel? Lu masih disana kan? Masih hidup kan?" tanya Yudha bertubi-tubi.
"Iya."
"Mikirn Nana ya?"
"Hah??!" Ariel kaget. "Ngomong apa sih lu? Dia kan udah-"
"Kalau gue sih kangen banget sama dia, Riel. Apalagi kalau lihat wajahnya di ponsel gua. Lu pasti juga kan?"
Ariel tidak berkomentar apa-apa. Wajahnya tampak pucat tidak mengenakkan.
"Ah, sayang. Dia udah mati. Padahal gua kangen bat sama dia."
Ariel masih memandang mobil itu. Kali ini dia memandangnya tajam. Sangat tajam hingga terlihat menyeramkan. "Yud, lu kangen kan? Ada sesuatu yang mau gue kasih tau ke elu."
***