Hah~
Capeknya~
Semalaman aku mengerjakan tugas karena targetnya dikumpulkan hari ini. Huah~ Aku ngantuk sekali sekarang. Semoga aku tidak menabrak sesuatu yang aneh saat berangkat kuliah saat ini. Aku begadang demi bebanku itu. Apalagi Reval, si psikopat itu terus menghubungiku dan ingin bertemu denganku. Apa-apaan dia? Ingin membunuh saksi mata kejahatannya gitu? Aku kepikiran sampai tidak bisa tidur, apalagi membalas chatnya. Jadi ku biarkan saja.
Pagi ini, seperti biasa, ayah tidak menganggapku ada. Padahal aku lewat didepannya. Kalau Nicky selalu bersikap judes padaku. Hanya mama yang mau menyalamiku. Yah, aku sudah biasa.
Yang aku masih belum terbiasa adalah, bertemu orang itu.
Aku mulai menjalankan motorku menuju kampus. Jalanan sepi. Nyaman rasanya. Tidak ada kemacetan yang menghalangiku. Sampai di kampus, aku bertemu Maurice yang sedang tersungkur di hadapan Mila cs.
Seperti biasa, dia dibully.
Aku paling tidak suka mereka.
"Elo tuh, udah jelek! Sok cari muka di depan dosen! Kenapa sih lo masuk jurusan sini! Elo tuh gak pantes disini!" ejek Mila dan kawan-kawan. Maurice yang sedang dibully hanya terdiam malas menanggapi.
Dasar, mereka pake kata-kata nyontek dari dialog sinetron ya? Klise sekali ucapannya.
"Wah, ada apa nih? Lagi-lagi para kakak tiri ngerjain Cinderella?" provokasiku tiba-tiba nimbrung dengan mereka. "Kapan sih kalian tobat? Bentar lagi bulan puasa lo. Takutnya kalian ikut diikat."
Para cewek pembully itu pun menoleh ke arahku. "Eh, diam lo! Dasar bencong!" ejek mereka padaku.
"Bencong? Siapa yang bencong? Aku masih cowok tulen tahu!" belaku pada diri sendiri dengan pede.
"Haha. Iya. Elu tuh bencong sampe keluarga lo gak nerima lo! Haha. Kasihan."
"Tapi setidaknya gua lebih berbakat dari kalian. Maurice juga lebih cantik dari kalian. Oh ya, kalian pasti sirik ya sama Maurice. Ya ampun, kasihan banget! Harus remidi banyak pas udah deket ujian semester."
"Diam deh! Dasar, ban...."
Mila ingin menamparku, tapi dihentikan temannya. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku hanya melihat dia dibisik temannya saat melihatku, lalu wajah mereka berubah jadi pucat dan ngeri. Seketika mereka jadi lari meninggalkan ku dan Maurice. Lucu sekali mereka, langsung kabur melihat tatapanku.
"Haha. Dasar pengecut lu pada!" ejekku balik ke mereka dengan senyum kemenangan.
"Elo yang bakal mati!" teriak mereka, tanpa ku ketahui maksudnya. Jadi absurd. Maurice juga. Setelah melihatku, bukannya berterima kasih karena ku selamatkan, dia malah pamit dan kabur. Aku semakin bingung dengan mereka.
"Jadi peranmu disini sebagai pangeran penyelamat ya?" tanya seseorang di belakangku.
Mati! Aku terkejut dan merinding. Kepalaku segera menoleh. Sial!
Itu Reval.
"Akhirnya aku bisa menemukanmu," katanya dengan tersenyum manis dan lega, tapi tetap terlihat mengerikan bagiku yang trauma dengan perbuatannya.
"Eh, ngapain anak teknik disini?! Ini gedung vokasi!" bentakku kaget.
"Tadi malam aku dah chat kan? Aku pengen ketemu kamu. Kamu malah gak balas."
"Terus kenapa? Gu.. gua lagi sibuk tahu! Ada banyak tugas, projek, remidi, dan lain-lain. Kalau elu mau balas...."
"Ya Tuhan, sudah ku duga," potongnya dengan suara lega. Dia segera mengambil sebuah tas belanjaan yang tersembunyi di balik tas ranselnya, lalu menyerahkannya padaku. "Ini peralatan untuk tugasmu kan? Pasti gawat kalau anak tata rias gak punya alat buat praktek."
Eh? Apa ini? Bukan bom kan?
"Kenapa bingung? Ini kan peralatan makeup yang kamu jatuhkan dulu. Aku selalu menyimpannya agar bisa ku kembalikan. Kamu butuh ini kan?"
Aku kaget dan memeriksanya. Benar. Ini adalah peralatan makeup yang ku jatuhkan saat pertama kali aku bertemu dengannya.
Sial, kalau begini aku malah berhutang budi padanya.
Tanpa banyak omong, dia langsung pamit dan berbalik pergi.
"Gitu doang?" tanyaku.
"Memang kamu mau apa, pangeran?" tanyanya dengan jahil.
"Elu ngeledek? Semua orang ngatain gua bencong atau gay, tapi elu malah panggil pangeran. Gila ya?"
Sejenak dia diam, lalu berkata, "Seorang banci gak akan pernah berani nyelamatin cewek yang kena bully. Cuma pangeran yang mau melakukannya." Lalu dia melambaikan tangannya dan pergi.
Oh, dia tahu aku menyelamatkan Maurice.
"Vick!" Panggil Maurice saat aku agak melamun melihat Reval pergi. Napasnya ngos-ngosan. Sepertinya dia habis berlari ke arahku dan mungkin sedari tadi dia bersembunyi saat melihat kami berdua. "Kok lu bisa kenal cowok jahat itu sih?"
"Karena kesialan," jawabku kesal tapi fakta sambil memeluk tas belanjaan yang telah diberi Reval tadi. Oh iya, aku terkejut dengan kata-kata Maurice. “Eh, kok tahu kalau dia cowok jahat?”
"Loh? Elo gak tahu? Satu kampus udah tahu kalau dia mantan napi! Dia pernah dipenjara karena bunuh orang cuma beberapa bulan, lalu bisa keluar dan masuk kampus ini karena ada orang dalam!"
“WHATSSS????!!!!”
***
Dua minggu sudah berlalu, termasuk ujian semester yang baru berakhir tadi siang. Waktunya liburan.
Lagi-lagi Ariel kembali berisik di grup.
Ariel
Libur udah tiba! Naik gunung yok!
Reval
Ogah. Libur waktunya nyari duit lebih banyak
Ariel
Yah, gak seru nih! Padahal gua mau nyewa mobil tempat elo. Nyupir doang gak bisakah?
eval
Hah? Yang bener? Kalau iya, langsung ku bilang bosku dulu.
tapi aku gak tahu bisa ikut gak.
Ariel
Bentar, Val! Si Vicky kenapa gak pernah bales sih?! Padahal udah ku masukkin ke grup dari jaman jahiliyah! Chat pribadi aja gak pernah balas! Telpon malah dimatiin! Bisanya read doang!
Orang yang diomongkan Ariel alias diriku sedang melakukan yang dia duga, membaca chat grup tanpa membalas apapun. Ku pandangi bagaimana Ariel dan Reval berinteraksi disini. Mereka berbicara normal seperti teman biasa. Lalu ku ingat cerita Maurice dulu tentang Reval. Reval adalah anak Teknik yang umurnya setahun diatasku, tapi malah menjadi adik tingkatku. Setelah lulus SMA, dia tidak langsung melanjutkan kuliah. Bukan karena bekerja, tapi karena masuk penjara. Iya, setelah lulus SMA, dia dipenjara atas kasus pembunuhan empat orang yang identitasnya dirahasiakan kepolisian. Kurang dari setahun, anak itu keluar dan mendaftar ke kampus ini sebagai mahasiswa baru. Aneh sekali, seharusnya seorang kriminal tidak bisa masuk karena ada peraturan kampus yang menyebutkan seperti itu. Tapi dia malah masuk dengan mudah. Semua orang menduga bahwa ada orang dalam kampus yang membantunya masuk.
Betul-betul orang yang menjijikkan. Dia bisa masuk ke kampus dengan mudah setelah melakukan kejahatan itu, sementara aku harus susah payah banting tulang untuk meyakinkan orang tuaku untuk merasuk ke jurusan yang ku minati ini.
Aku heran, bagaimana bisa Ariel yang baik pada semua orang bisa berteman dengan Reval? Jika mereka memang teman SMA, pasti Ariel tahu kasus Reval kan? Seharusnya dia takut padanya kan? Tapi Ariel bertindak biasa saja, bahkan bagiku, dia terlihat perhatian.
Ah, sudahlah. Aku tidak mau ikut campur urusan mereka. Lebih baik aku tidur. Besok aku harus bangun pagi-pagi untuk menyiapkan stand makeup wisuda. Lumayan untuk meningkatkan skill dan keuangan. Hehe.
***
Satu hari setelah selesai ujian semester.
Sabtu pagi di depan kos Ariel.
"Om titip anak om ya, Nak Ariel! Dia belum biasa ikut acara ini, jadi mohon dibantu ya!" ucap seorang bapak-bapak sambil mengantarkan anaknya, yang tak lain adalah aku.
"Tenang saja, om! Semua aman di tangan Ariel!" jawab laki-laki kampret bernama Ariel itu.
Kampret! Sejak kapan ayah dan Ariel bersekongkol gini? Perasaan aku tidak pernah memberi kontak ayah ke dia. Wajahku hanya memasang bibir manyun menyebalkan. Ayah langsung menjewerku. "Kamu itu cowok! Jangan pasang wajah sok imut gitu!" protesnya setelah melihat ekspresiku.
"Sok imut gimana, Yah? Setelan wajah Vicky emang gini!" balasku tak terima. "Lagipula kenapa ayah tiba-tiba nyuruh aku ikut Ariel dan gak tanya pendapatku! Sebenarnya aku udah punya aca-"
"Gapapa. Cowok itu ya main sama cowok di acara cowok, bukan main makeup dan kumpul-kumpul sama cewek melulu. Pokoknya ayah bakal jemput lagi kalau kamu udah turun dari gunung!" Setelah menceramahiku, beliau langsung pulang dengan mobilnya. Sementara Ariel mengantarnya dengan lambaian tangan.
Brak!! Ku lempar tas gunungku ke laki-laki kampret tak tahu diri itu. Tubuhnya pun tumbang sambil mengaduh kesakitan. Ya ampun, seharusnya sekarang yang ku bawa adalah peralatan makeup untuk dandan peserta wisuda kampus nanti. Pas libur sabtu minggu, aku sering mengadakan stand buat merias peserta wisuda, biar dapat duit. Tapi sialnya hari ini, Ariel bekerjasama dengan ayah di belakangku. Dia berencana untuk naik gunung sehabis ujian semester, tapi aku mengabaikannya kemarin. Sepertinya setelah itu, dia menghubungi ayahku langsung. Alhasil beliau langsung menangkapku sebelum aku pergi ke kampus dan menyuruhku bersiap untuk naik gunung. Bahkan beliau sudah menyiapkan peralatan untuk mendaki di tas gunung raksasa ini.
Kalau tahu seperti ini jadinya, seharusnya dari tadi malam aku tidur di kampus saja.
"Ampun, bos! Kalau lo gak ikut, gak bakal seru jadinya," kata Ariel memohon ampun. "Gue pengen main sama elu-elu pada."
"Hah? Tapi gue gak butuh main macam gini, kampret!" ancamku dengan amarah.
"Wah, udah rame nih!" seru seseorang dibelakangku. “Aku ikut nimbrung ya!”
"Hah? Maksud-" aku langsung terdiam. Kata-kataku terputus. Aku tak bisa sembarang bicara, karena orang itu adalah Reval. Psikopat sadis dan dingin yang ku kenal. Sial.
"Loh, Val? Elo ikut?" Tanya Ariel yang terlihat girang. "Padahal kemarin elo bilang lagi sibuk, makanya gue minta tolong buat nganter doang."
"Nganter doang ngebosenin. Mending ikut aja," ucapnya sambil memainkan kunci mobil dan duduk di emperan kos Ariel.
"Lah, berarti lo libur kerja sekarang? Nyokap lo gimana? Nanti gak nangis lo tinggal?"
"Gapapa," katanya lalu menguap. "Aku udah biasa bikin mama nangis. Kan kamu tahu kalau aku dah lama gak pulang."
Nih anak kurang ajar banget sih sama orang tua. Bikin nangis nyokap aja bangga.
"Kaya kamu gak pernah bikin orang nangis aja."
Deg! Hening. Ariel langsung terdiam. Aku tidak tahu apa maksudnya itu. Tapi wajahnya jadi sangat tidak enak. Seperti rasa bersalah atau trauma. Sementara Reval hanya memasang wajah cuek dan menguap. Mungkin dia udah persiapan untuk mendaki dari pagi buta, makanya dia masih mengantuk.
"Ok, pokoknya nanti gue telpon nyokap lo," kata Ariel dengan lemas. "Nanti elo jangan keluyuran sembarangan disana ya. Tetep dideket gue atau Vicky!"
"Woy! Kenapa gua dibawa-bawa?!" keluhku padanya. Ariel memohon padaku agar mau menerima permintaannya itu. Reval memandang kami berdua yang beradu pendapat dengan wajah malas. Tapi entah kenapa aku merasa, hanya aku yang diperhatikannya.
Mengerikan! Lagi-lagi cerita horor Maurice dulu terbayang kembali.
Waktu berjalan. Aku, Ariel dan psikopat ini menunggu anak-anak lain yang akan ikut naik gunung. Ariel sibuk menghubungi mereka yang mau ikut. Aku melihat layar ponselku, menata rambutku yang masih tidak rapi. Karena tadi aku terburu-buru, aku hanya bisa menyisir dan mengikatnya secara biasa. Ku rapikan ikatan rambutku yang sebahu ini hingga terlihat sempurna.
Sementara psikopat itu berbaring seenaknya di kursi panjang teras. Sesekali matanya terbuka, melirikku atau ke Ariel. Lalu terpejam lagi. Ariel yang sedari tadi sibuk menghubungi teman-temannya, jadi terlihat emosi saat tahu Reval hanya tiduran saja disini. Tapi cowok dingin itu cuek tak menanggapi. Entah karena sudah tidur pulas, atau malas menjawab omelan Ariel.
Hah~ Aku tak menyangka Ariel seperti itu pada Reval. "Tetap didekat gua atau Vicky!" Maksudnya gua juga suruh jaga dia agar gak nyerang orang gitu? Kalo gua yang jadi korban jiwa gimana nanti??
Satu jam kemudian....
"Ariel, sorry gue telat," kata seseorang yang baru saja sampai di gerbang kos Ariel.
"Kemana aja sih, Ran? Kelar basi nih badan!" Keluh Ariel setelah tahu yang ditunggu datang.
"Sorry, gue tadi mampir dulu," kata orang itu melihatku dan Reval. Dia memperhatikan kami dengan seksama. Aku mengalihkan pandangan ke layar ponsel. Sementara Reval masih tidur. "Oh, ada anak dari jurusan lain ternyata. Kenalin dong, Riel!" katanya sok akrab. Sepertinya sebelas-dua belas dengan Ariel.
"Oh, cowok yang cantik itu namanya Vicky, anak Vokasi jurusan Tata Rias," kata Ariel mengenalkanku. Aku hanya mengangguk tersenyum manis.
"Oh, jadi elo yang katanya cowok paling cantik sekampus itu!" Seru orang itu. "Gila! Suatu keajaiban banget bisa ketemu sama elo!"
"Haha. Terima kasih," jawabku datar. Aku tahu aku cantik, tapi aku selalu tak bisa menanggapi pujian itu dengan baik.
"Kenalin, Randa," salamnya sambil menyalami tanganku, padahal aku tidak menyodorkan tangan.
"Haha. Iya salam kenal," jawabku sambil segera melepas tangannya.
Benar-benar seperti Ariel. Sok akrab banget.
"Oh ya." Ariel memecah ketegangan diantara kami berdua. "Yang lagi tidur ini namanya Reval, anak teknik mesin."
Aku bisa membacanya. Wajah Randa langsung pucat panik. Dia segera menarikku dan Ariel agak menjauh dari Reval. "Eh, lu gak lagi mabuk kan? Kok mantan napi itu ada disini? Jangan bilang lo juga ngajak dia?!" tanya Randa dengan panik.
"Bener kata Randa! Ngapain lu ajak dia dan gua?!" tambahku. “Gua juga gak nyangka dia bakal ikut.”
"Haha. Maaf ya, kawan-kawan," pinta Ariel cengengesan. "Reval orangnya baik kok. Kalian bakal betah temenan sama dia. Gua jamin! Kekurannya dia cuma dikit emosian."
"ELU BILANG DIKIT EMOSIAN??!" seru Randa panik. "EMOSI SAMPE BUNUH ORANG DAN MASUK PENJARA ITU CUMA SEDIKIT KATA LO??!"
"Oi oi, ada apa ni?" tanya seseorang yang baru datang. Ariel dan Randa menoleh terkaget, hingga aku tahu bahwa orang itu bernama Angga. Laki-laki yang tampak menyebalkan dengan senyum nakalnya. Tampilannya kaya orang tergaul dan terkaya sepanjang masa, atau bisa dibilang sok pamer dan berlebihan. Dia pun melihatku. "Wih, ada cecan nih! Elo tahu aja Riel kalo gua suka beginian," pujinya saat mendatangiku. "Hei, aku masih sendiri loh! Kamu udah punya-"
"Dia cowok, Ga!" Sela Ariel. "Namanya Vicky, anak vokasi."
"Oh, ternyata elo yang rumornya cowok yang paling cantik itu. Wih, gak nyangka beneran cantik," kata Angga sambil mengamati wajahku dari dekat.
Aku memalingkan mukaku karena tak nyaman. Apa-apaan cowok ini?! Kok gini banget ya?? Perasaanku tidak enak.
"Oh, ada mantan napi juga to disini," ucapnya tidak tahu malu, saat sadar bahwa ada orang tidur dibelakangku. Dia mendekati Reval yang sedang terlelap. "Nih orang ngapain disini? Mau ngincer siapa hah?"
Buset! Dia ceplas-ceplos! Udah bosan hidup hah??
"Hei, omongan lo dijaga dikit dong!" Seru Ariel.
"Hei, kriminal! Bangun lo! Gua gak takut sama lo!" tantang Angga dengan kurang ajar menendang kaki kursi yang dipakai tidur Reval.
Reval yang semula berbaring, berubah posisi jadi duduk dan menghadap Angga. Kami semua kaget. Caranya bangun seakan-akan, sebenarnya dia dari tadi tidak tidur sama sekali. Dia bangun dan menatap Angga dengan tajam. "Sial, dari tadi aku ngantuk tapi gak bisa tidur karena kalian,” keluhnya. “Ada apa? Ngefans ya? Maaf aku belum buka sesi tanda tangan sekarang."
"Wah wah. Ternyata elo bisa ngelawak juga ya? Tapi gak lucu."
Matanya yang tajam berubah jadi sayu. Reval memancarkan senyum termanis yang pernah kami kenal. “Oh ya, maaf. Aku gak bercita-cita jadi pelawak soalnya. Aku lebih berbakat ngambil nyawa orang.”
Kami semua merinding. Meskipun dia menampilkan senyuman manis, kami dapat merasakan ada aura hitam di sekelilingnya. Aura yang sedang mengancam nyawa Angga. Laki-laki sok itu pun tidak berani mengolok-olok Reval lagi. Ariel pun segera mencairkan suasana dengan mengajak kami semua masuk ke mobil. Dia pun melakukan pembagian tempat duduk. Angga dan Randa ada di jok depan. Aku, Reval, dan Ariel di jok belakang.
Loh kok?
Kenapa aku harus disamping Reval di mobil?!
Katanya dia yang nyetir!!
***