Mengenai traktor sepuh itu, aku sudah mulai menemukan titik permasalahannya.
Terakhir kali aku menyentuhnya, asap yang ia keluarkan menjadi putih, kemungkinan aku terlalu banyak memberinya oli mesin.
Aku bongkar lagi dan kuambil tadah untuk menarik beberapa cangkir oli di dalamnya.
"Nak Nadif telaten sekali merawat traktor yang sudah bandel ini hingga hampir bisa dipakai kembali."
Istri Pak Sukijan selalu mengantar makanan sebelum waktu zuhur tiba, menu kiriman kali ini adalah nasi jagung, ikan asin, sayur santan daun talas, dan sambal pedas. Lengkap!
Aku tertawa, entah itu pujian atau apa, karena aku merasa ini bukan prestasi sama sekali.
"Ini karena aku tidak punya kerjaan lain, Ibu. Jika Pak Bah menyuruhku melakukan hal lain, tentu akan aku lakukan, tapi selama tiga bulan lebih ini tak ada pekerjaan lain untukku selain mengurus toko dan traktor sepuh ini. Jadi aku otak-atik saja semampuku."
"Tapi puluhan tukang sudah coba didatangkan hanya untuk memperbaiki traktor itu, dan tidak ada yang benar-benar bisa memperbaikinya hingga sampai dalam keadaan sekarang ini, Nak Nadif."
"Sebenarnya tukang itu bisa, tapi mereka tidak sabar dan malas saja untuk meluangkan waktu hingga berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan hanya untuk mengurusi satu traktor. Mereka tidak lagi peduli tentang keahlian, yang mereka butuhkan adalah uang."
Dari ujung pematang sawah seorang petani yang badannya berlumuran lumpur memanggilku dan berkata bahwa aku dicari oleh Pak Bah. "Nak Nadif, disuruh menghadap Pak Bah sekarang juga."
Hatiku berteriak “yahh” sesaat, aku belum sempat menyantap bekal dari Ibu Sukijan.
Padahal sudah lama sekali aku tidak menyantap jamuan sedap seperti ini.
Selama perjalanan kembali dari Sawah, anak-anak kecil tengah asyik bermain layangan di sepanjang garis batas persawahan.
Bentuknya macam-macam, ada yang mirip ikan, ada juga yang seperti ketupat lebaran, kemudian muncul bentuk seperti lengkung-lengkung bulan, yang paling unik adalah layangan yang bentuknya seperti nenek sihir dengan rambut yang panjang terbang-terbang ditiup angin.
"Coba kau hubungi orang-orang di kota kabupaten, suruh mereka membuat barang-barang yang stok persediaannya menipis atau habis. Setelah mereka mengirimnya, carilah perkiraan harga yang pas buat barang itu, biar nanti kusuruh orang bagian keuangan sediakan duit dengan sejumlah yang kau kira-kira tadi."
Aku mengangguk, aku telah melakukan ini puluhan kali, sudah terbiasa.
Sebagai tangan kanan Pak Bah, aku sering dipanggil bapak oleh orang-orang, itu membuatku cukup geram, aku yakin aku belum terlihat setua itu.
Dari toko di pusat kota mengirimkan daftar tujuh barang. "Ryu RID 13-1 REB Mesin Beton @Rp.345.000, Mesin Bor Set 13mm RYU Tekiro Bor @Rp.345.000, Mesin Bor Baterai/Charger 12V Tekiro @Rp.520.000, BOSCH Mata Bor Ser bosch/drill & Screw @Rp. 144.000, Mesin Bor Tangan @Rp.340.000, RYU Tekiro Hand Drill 10mm & 22 pcs @Rp.275.000…" masing-masing harga dikalikan dengan jumlah stok barang yang dibutuhkan toko.
Kadang untuk melihat nominalnya saja bibirku berdecak keheranan, bagaimana digit nominal uang bisa sebanyak ini.
Pantas saja dengan hanya berdiam diri di rumah, Pak Bah memiliki aset yang membuat pemasukannya terus mengalir.
Aku harus mulai belajar ilmu yang berbau investasi dan hal-hal semacam ini.
Tapi lihat, setelah aku tahu sekelumit tentang kehidupan Pak Bah, mengerti kisah hidup dan mengurusi sebagian bisnisnya, ia masih saja mengorek-orek rice cooker yang arusnya putus.
Tadi pagi ia sudah berhasil membetulkan kipas angin di rumahnya sendiri. Ia tetap tidak berubah.
"Nak, jika pekerjaanmu sudah selesai, aku ingin kau menemaniku ke rumah seseorang. Sebenarnya ini bukan urusanku, hanya saja sepertinya ada kesalahpahaman di antara kalian. Dan aku merasa pernah menghubungkan kalian berdua, maka dari itu aku akan bantu meluruskan benang kusut itu."
Aku berpikir agak lama, benang kusut antara siapa?
Aku merasa hubunganku dengan karyawan toko, petani di sawah, tetangga, dan orang rumah, sedang baik-baik saja. Aku sedang tidak berselisih dengan siapa pun.
"Kau ingat? Seusai aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi tentang aku, tentang Sena, dan sedikit tentang keluargaku, kau kuminta untuk libur sementara kau pergi selama seminggu. Salah satu tempat yang aku datangi adalah rumah komisaris yang dulu kau pernah bekerja dengannya."
"Mr. Arief?" Tanyaku pelan.
"Sebenarnya aku tidak terima saat mengerti kau dipecat, aku yang memasukkanmu ke sana, tapi ia malah memecatmu tanpa memberitahuku terlebih dulu. Maka dari itu aku akan mengajakmu ke sana malam ini."
Aku sedikit kaget dengan pernyataan barusan.
Aku sungguh sudah tidak memiliki perasaan apa-apa lagi tentang pemecatan itu, aku telah bisa menerima dan berdamai dengan hal itu.
Aku sudah tidak ingin mengungkit pengalamannya lagi, aku pun sudah biasa dipecat dan gonta-ganti pekerjaan, satu kisah tentang pemecatan dari Merpati Nusantara itu sungguh tidak akan menggangguku.
"Tidak... tidak usah Pak Bah, tidak perlu kita melakukan itu, aku sungguh sudah merasa baik-baik saja sekarang."
"Ikut saja, Dip. Ada hal yang ingin aku ketahui darinya yang mungkin salah satu caranya adalah dengan melibatkanmu."
Aku tidak tahu apakah ini pemaksaan atau bukan, tapi aku dengan sadar mengangguk dan mengiyakan perkataan Pak Bah meski separuh hatiku menolaknya.
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog